Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Profesionalisme


Dalam Mahabharata, terdapat satu kisah yang cukup terkenal bernama Bhagavad Gita. Ini adalah cerita tentang bagaimana kegalauan Arjuna ketika akan berhadapan dengan saudara-saudaranya sendiri yaitu Kurawa. Arjuna kemudian mengadukan keluh kesahnya ini pada Dewa Krishna tentang dilema moral apakah ia sebaiknya berhenti atau meneruskan pertarungan walaupun dengan risiko membunuhi saudara-saudaranya. Jawaban Dewa Krishna adalah, "Kamu adalah prajurit, tugasmu berperang. Biarkan mencabut nyawa menjadi urusanku."

Etika yang ditawarkan Bhagavad Gita cukup jelas. Moralitas tertinggi dari bekerja adalah pekerjaan itu sendiri dan bukan konsekuensi dari pekerjaannya. Ini mungkin juga semacam seruan bagi kita yang kadangkala meremehkan pekerjaan orang lain yang gajinya kecil atau punya nilai status sosial rendah di mata masyarakat. Mengacu pada apa yang diucap oleh Dewa Krishna, mereka adalah mulia jika bekerja sepenuh hati.

Kemudian dunia modern mengenal konsep profesionalisme dalam pekerjaan yang juga mengandung etikanya tersendiri. Sekilas, etika dalam profesionalisme ini sejalan dengan apa yang digariskan dalam Bhagavad Gita, bahwa keduanya haruslah bekerja keras dalam bidangnya. Namun profesionalisme ini, jika kita perhatikan, basis dari bekerja kerasnya adalah terlebih dahulu setelah mengetahui konsekuensinya. Para profesional dapat didefinisikan sebagai mereka yang bekerja sesuai dengan apa yang sudah dibayarkan kepadanya. Jika ia dibayar satu juta, maka ia harus bekerja seharga satu juta itu. Jika ia dibayar seratus ribu, maka ia harus bekerja seharga seratus ribu itu. Jika ia bekerja di bawah harga yang dibayarkan kepadanya, maka ia gagal secara etis atau kita biasa menyematkan predikat kepadanya yaitu "tidak profesional".

Tapi agaknya dunia modern dengan profesionalismenya tidak memberi tempat bagi etika Bhagavad Gita. Bhagavad Gita justru berbicara tentang 'lupakanlah konsekuensi'. Manusia harus bekerja, karena bekerja adalah suatu kebaikan pada dirinya sendiri. Dewa Krishna seolah mau berkata tentang, "Jikapun tidak ada uang atau imbalannya, pekerjaan itu harus dilakukan sepenuh hati." Karena, iya, dalam Bhagavad Gita, konsekuensi dari pekerjaan kita bukanlah urusan kita, seperti halnya Dewa Krishna mengatakan tentang "nyawa adalah urusanku". 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1