Pada tanggal 21 Agustus 2024, seorang perempuan, mantan mahasiswi, menjangkau saya via DM Instagram untuk mengucapkan simpati atas hal yang menimpa saya. Singkat cerita, kami berbincang di Whatsapp dan janjian untuk berjumpa tanggal 6 September 2024 di Jalan Braga. Tidak ada hal yang istimewa. Dia sudah punya pacar dan juga memiliki mungkin belasan teman kencan hasil bermain dating apps . NK baru saja bercerai dengan membawa satu anak lelaki. Dia adalah mahasiswi yang saya ajar pada sekitar tahun 2016 di sebuah kampus swasta. Dulu saya tidak punya perhatian khusus pada NK karena ya saya anggap seperti mahasiswa yang lainnya saja. Namun belakangan memang dia tampak lebih bersinar karena perawatan diri yang sepertinya intensif. Selain itu, bubarnya pernikahan selama sebelas tahun membuatnya lebih bebas dan bahagia. Sejak pertemuan di Jalan Braga itu, saya tertarik pada NK. Tentu saja NK tidak tertarik pada saya, yang di bulan-bulan itu masih tampak berantakan dan tak stabil (fisik, ...
Musik klasik adalah musik yang amat direkomendasikan sebagai dasar bagi segala jenis musik. Kita diberinya pelajaran tentang penjarian, ritem, melodi, harmoni, dinamika, penghayatan, kalimat musik, dan lain-lain secara lengkap dan komprehensif. Saya belajar musik klasik sejak sekitar lima belas tahun yang lalu dan bisa dibilang secara formal dan tersertifikasi, pengetahuan-pengetahuan yang disebutkan di atas sudah saya kuasai. Namun apakah dengan demikian saya sudah mengerti apa itu musik? Ternyata tidak sama sekali.
Misalnya, saya belajar untuk mempelajari tanda-tanda dinamika dalam rangka mencapai satu penghayatan yang maksimal. Saya mengetahui segala rambu-rambu musikal mulai dari pelan, keras, semi-pelan, semi-keras, hingga gradasi dari pelan ke keras ataupun sebaliknya. Namun ketika saya main dengan musisi bermusikalitas tinggi semisal Kang Ammy Kurniawan, pengetahuan tentang tanda dinamika yang canggih itu mendadak hilang. Saya bingung luar biasa dan seperti anak baru belajar doremifasol. Begitupun ketika diminta berimprovisasi baik lewat melodi maupun akor, berbagai pengetahuan saya tentang tangga nada dan akor yang hapal mati menguap begitu saja entah kemana. Adakah saya gagal dalam mengartikulasikan arti musik dalam "kehidupan"?
Memang iya, saya gagal. Berbelas tahun belajar musik klasik dengan segala tetek bengeknya, ternyata saya sadari itu belum musik. Saya masih digelayuti awan hitam eksklusifitas, formalisme, saintifikasi seni, dan dikotomi-dikotomi antara musik tinggi dengan musik praktis. Dalam ajaran Kang Ammy, musik itu sederhana seperti halnya kehidupan. Tapi kehidupan menjadi tidak sederhana oleh sebab awan hitam yang kadang-kadang kita ciptakan sendiri juga.
Jadi sekarang saya belajar musik lagi dari nol. Saya mencapainya bukan lagi lewat teori-teori formal yang kaku dan malah justru "non-musikal". Saya belajarnya lewat membuka telinga lebih banyak pada kehidupan. Melodi, ritem, harmoni, dinamika, kalimat, hingga penghayatan itu jangan-jangan sangat natural dan sekaligus juga manusiawi -ia bukan suatu imitasi dari invisible world seperti yang diungkap oleh Giuseppe Mazzani-. Harusnya musik dan kehidupan itu sejalan karena keduanya sungguh adalah dua hal yang sama. Semoga pencarian saya berhasil suatu hari entah kapan.
Tetap semangat :)
ReplyDelete