Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Agaknya setiap orang, dalam dirinya sendiri, ada keinginan untuk memperbaiki dunia agar menjadi lebih baik. Namun niat tersebut sering jatuh pada godaan utilitarian, yaitu keinginan agar orang banyak langsung mendapat manfaat secara instan dari apa yang kita pikirkan maupun lakukan. Hal ini bukannya buruk, tapi kita bisa lihat contoh bagaimana "produksi massal kebaikan" biasanya hanya akan menguap begitu saja seiring dengan histeria yang juga selesai. Seminar motivasi, parpol yang mengadakan dangdutan atau bagi-bagi sembako, Koin Prita, gerakan ribuan orang entah apa untuk meraih rekor MURI, semuanya adalah contoh betapa utilitarianisme sering ditafsirkan secara keliru.
Saya sekarang akan memberi contoh dari teman-teman saya sendiri: Ada Mas Yunus yang mengajar dari SMA ke SMA sebagai guru seni rupa; Ada Ping yang juga sama-sama guru seni rupa tapi ia mengajar untuk anak-anak SD; Ada Diecky yang jadi dosen di Kalimantan; Ada Bilawa yang tinggal di Jerman, di sebuah kota kecil bernama Oldenburg; Ada Kang Trisna yang tinggal di Subang; dan lain-lainnya. Mereka membawa satu semangat yang mungkin secuilnya didapat dari kegiatan yang tidak utilitarian sama sekali seperti misalnya diskusi kelompok kecil atau bahkan ngobrol personal.
Saya ingat bagaimana Mas Yunus dan Diecky mengambil satu metode yang biasa kami lakukan ketika di KlabKlassik yaitu Edisi Playlist. Edisi Playlist adalah metode mengenal emosi musik lewat mendengarkan bersama-sama musik yang menjadi kesukaan orang lain. Kita belajar empati, belajar menerima selera orang lain, dan juga belajar menerima beragam musik. Kegiatan ini ditebar kembali oleh Mas Yunus di SMA-SMA tempat dia mengajar, begitupun Diecky di kampusnya di Kalimantan. Saya yakin mungkin teman-teman saya yang lain seperti Ping, Bil, ataupun Kang Trisna, merekapun pernah mendapatkan satu hikmah dari kegiatan di kelompok kami untuk disebar ke orang lebih banyak di habitatnya sendiri-sendiri.
Tulisan ini seperti pemikiran sepele yang kalian-semua-sudah-tahu-bahwa-iya-memang-begitu. Tapi sebagaimana khutbah Idul Adha yang topiknya selalu sama, terkadang memang harus ada sesuatu yang klise untuk disampaikan berulang-ulang sebagai cara untuk menyegarkan "keimanan" kita kembali. Bagi mereka yang "cuma" berjuang di kelompok kecil, keluarga, atau bahkan diri sendiri, ketahuilah bahwa itu sudah lebih dari cukup untuk membuat dunia lebih baik. Lebih dari cukup daripada orang-orang yang merasa diri bagaikan Yesus yang sedang khutbah di bukit dan mencerahkan orang dalam sekali ucap.
Mulai dari hal yang kecil, bukan isapan jempol ya, Rif :)
ReplyDelete