Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Tukang Gorengan


Selepas membeli kelapa muda, saya mendadak ingin sejenak menepi di tukang gorengan itu. Tukang gorengan yang pernah berbincang dengan saya setahun lalu tentang apa-apa yang tidak saya mengerti. Sekarang saya memutuskan untuk duduk di tempat itu lagi dengan terlebih dahulu mengatakan bahwa saya akan membeli gorengannya sebanyak lima buah untuk dimakan di tempat. 

Saya mengatakan sesuatu untuk memancing dirinya bicara, yaitu kabar tentang anaknya. Dia bilang anaknya sekarang sudah ada dua yang hampir bekerja, satu hampir lulus STM, satu lagi sedang magang menjadi akuntan di satu kantor. Oh, memang anak bapak berapa? Dia jawab lima dan semuanya bersekolah. Lalu saya bertanya dengan sebuah keimplisitan a la orang modern yang selalu ingin tahu tentang "Dari mana kamu dapat uang untuk semua itu?" dengan dibungkus pertanyaan, "Oh, istri kerja, Pak?" Tukang gorengan itu menjawab, "Tidak, kalau istri bekerja, bagaimana bisa mengurus anak yang jumlahnya lima?"

Tapi tukang gorengan itu seolah tahu bahwa saya hendak bertanya soal darimana dirinya dapat biaya untuk itu semua. Ia berbicara panjang lebar tentang kenyataan bahwa meskipun ia berprofesi sebagai pedagang gorengan, ia tetap memprioritaskan anak-anaknya untuk sekolah. "Saya pernah ditawari berkali-kali untuk menyicil motor, tapi saya selalu mengutamakan sekolah anak-anak. Sampai sekarang saya tidak pernah punya motor. Mau mudik? Tinggal pinjam sama tukang ojek." Ia juga berbicara tentang zakat mal yang rajin ditunaikannya setiap tiga bulan yang entah kenapa ia percayai memberi keselamatan bagi hidupnya hingga hari ini. 

Kemudian dia juga berbicara tentang ketenangannya dalam menjalani hidup dan juga menjalani mati, "Ah, untuk apa berpusing-ria. Hidup ya begini, jalani saja. Ujung-ujungnya kita akan telanjang, tak punya apa-apa, dan kembali ke tanah." Perkataan semacam itu tentu saja meruntuhkan prinsip kemodernan saya yang apa-apa harus terencana. Segala sesuatu bisa dihitung dan matematika adalah suatu kepastian yang harus dilibatkan dalam setiap gerak-gerik kehidupan. Namun matematika tercanggih sekalipun agaknya sulit untuk menghitung bagaimana seorang tukang gorengan bisa menghidupi lima orang anak dan menyekolahkannya secara layak. 

Hal-hal semacam ini tentu saja bukan sesuatu yang baru saya dengar untuk pertama kali: Cerita tentang perjuangan dalam keluarga, tentang hitung-hitungan magis dalam kehidupan, serta bagaimana agama dan kepercayaan -meskipun jika dinalar seringkali absurd- mampu memberi kekuatan bagi orang untuk hidup dan juga untuk mati. Seiring dengan nalar yang semakin rumit dan kedewasaan yang membawa pada kompleksitas, maka cerita-cerita semacam itu makin seperti dongeng ataupun mitos. Seolah itu adalah cerita dari orang-orang jaman dulu yang tidak punya relevansi dengan dunia hari ini yang kapitalistik. 

Saya bukan hendak menghimbau orang-orang untuk beranak banyak dalam rangka memenuhi kepercayaan tentang "banyak anak, banyak rejeki". Tapi saya sedang merenungkan dalam-dalam tentang bagaimana seorang tukang gorengan sedang bertindak seperti Sisifus yang tengah dikutuk untuk mendorong batu sepanjang hidupnya. Meski hidupnya berat, ia tetap menjalaninya dengan santai, gembira, dan sadar bahwa yang absolut akan menghadangnya hanyalah kematian. Saya menemukan pemikiran semacam ini hanya pada literatur Albert Camus dan menganggap bahwa yang mungkin mencapainya hanyalah kaum yang membaca bacaan-bacaan filosofis yang sejenis. Tapi anggapan itu runtuh ketika saya berjumpa dengan si tukang gorengan. Ia berlaku bak Sisifus meski mungkin tak pernah tahu siapa Sisifus itu. Hidupnya penuh keberanian, penuh heroisme, sekaligus juga penuh oleh kepasrahan. Ia sudah tahu siapa Sang Maha Absurd itu dan mengklaim diri sebagai kekasihnya yang sejati. 

Saya malu. Karena saya takut untuk hidup, juga takut untuk mati. 


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me