Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Musik 15



Beberapa bulan ke belakang, Kang Ammy (Ammy Kurniawan, pemain biola), mengontak saya via Whatsapp. Katanya, “Saya ingin membuat pertunjukkan rutin di kafe, tapi hanya lima belas menit saja per penampilan.” Waktu itu, saya tidak begitu menggubris ide tersebut. Apa yang bisa diharapkan dari pertunjukkan cuma lima belas menit? Tidakkah orang-orang yang datang ke sebuah kafe, berharap ada live music yang durasinya cukup panjang untuk menemani mereka berbicang-bincang sambil bersantai? 

Lima belas menit tentu saja terlalu pendek. Lima belas menit adalah durasi yang dibutuhkan bagi orang untuk menunggu pesanannya datang. Setelah pesanan itu datang, mereka akan bersantap kurang lebih setengah jam. Kemudian, sehabisnya hidangan, orang-orang di kafe akan mengobrol hingga lama, tergantung suasana sekitar yang mendukung. Artinya, live music yang “ideal” tentu saja tidak kurang dari satu setengah jam. 

Namun, Kang Ammy tetap bersikeras akan ide pertunjukkan berdurasi lima belas menit tersebut. Ia mulai menyusun jadwal penampil yang akan mengisi panggung seminggu tiga kali. Panggung yang dipilih adalah di Java Preanger Coffee House -yang memang sudah sejak dua tahun ke belakang, menjadi “homebase” bagi Kang Ammy dan sekolah musiknya, yaitu Ammy Alternative Strings-. Penampil demi penampil menaiki panggung nyaris dua kali sehari. Diawali oleh Kang Ammy dan beberapa penampil yang rutin mengisi panggung di Java Preanger Coffee House –seperti gitaris Hilman Patria dan pemain suling, Abah Aspara-, gaung acara yang dinamakan “Musik 15” tersebut semakin besar. Satu per satu musisi profesional seperti Ray Jeffryn, Mojang String Quartet, Nissan Fortz, Tesla Manaf Effendi, Ary Juliyant, Muktimukti hingga 4 Peniti, tidak lagi ditawari, melainkan malah menawarkan diri untuk mengisi panggung. Bahkan entah dua atau tiga kali, “Musik 15” mendapat perhatian dari media massa. Para wartawan tertarik tentang mengapa, acara dengan durasi sependek ini, dapat menyedot sejumlah musisi untuk hadir dan mengisi. Padahal, tiada satupun dari mereka yang mendapat bayaran. 

Apakah yang membuat “Musik 15” menarik minat, baik dari musisi dan juga penonton? Ammy pernah mengatakan, bahwa fokus orang terhadap sesuatu, paling banter hanya lima belas menit. Selebihnya, konsentrasi itu tidak mungkin sebaik sebelumnya. Artinya, durasi lima belas menit yang terkandung dalam “Musik 15” tidak lepas dari sebuah pertimbangan ilmiah. Kemudian juga, apa kira-kira respon seorang musisi ketika dia tahu bahwa penampilannya hanya diberi waktu lima belas menit? Ada dua kemungkinan: Pertama, ia akan setengah hati bermain, karena tahu bahwa lima belas menit tidak akan cukup baginya untuk mencuri perhatian penonton manapun. Kedua, bisa saja seorang musisi akan menjadi semakin bersemangat untuk memanfaatkan waktu yang singkat tersebut, demi mencuri perhatian penonton. Untungnya, kemampuan kuratorial Kang Ammy sudah sangat baik sehingga hanya musisi yang masuk ke dalam kategori kedua saja yang naik panggung di “Musik 15”. 

Walhasil, lagu-lagu yang ditampilkan tidak ada yang basa-basi. Nyaris semuanya punya gimmick yang kuat sehingga dalam durasi lima belas menit itu, tiada penonton yang meninggalkan tempat duduknya. Tentu saja, oleh sebab kuatnya kesan yang ditinggalkan, rata-rata penonton selalu meminta musisi menampilkan encore. Atas permintaan tersebut, Kang Ammy selalu menekankan, “Musik hanya berdurasi lima belas menit saja, tidak lebih dan tidak kurang.” Mendapat jawaban seperti itu, penonton tentu saja kecewa. Tapi mereka yang penikmat sejati akan datang kembali, untuk menikmati lima belas menit berikutnya. 

“Musik 15” berakhir 17 Maret 2015 kemarin (setelah kurang lebih dua bulan berjalan) karena ada semacam perubahan manajemen di Java Preanger Coffee House. Sedihkah Kang Ammy, karena idenya tersebut mesti diakhiri? Ternyata tidak. Katanya, segala yang hidup, harus mati. Segala kematian itu pun, harus di waktu yang tepat ketika segala sesuatu tengah di puncak. Filosofi yang sama ia terapkan pada penampilan dalam “Musik 15” itu sendiri. Ketika penonton tengah terpesona dan terpukau; ketika penonton belum ingin beranjak dari tempat duduk dan masih mau memberikan decak kagumnya; hentikan. Lantas biarkan notasi demi notasi tinggal dalam hati setiap orang yang penasaran. Seperti kata pujangga Chairil Anwar, “Sekali berarti, sudah itu mati.”

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat