Meski aku sering kemana-mana sendiri, konsep kesendirian bukanlah hal yang akrab denganku. Maksudnya, dalam kesendirian, aku selalu terdistraksi, untuk nge- scroll Twitter, cari teman ngobrol di Whatsapp, atau apa sajalah yang penting jangan sampai jatuh pada kesunyian, jangan sampai sendiri banget . Tentu saja, seorang pengkaji filsafat harus punya waktu-waktu sendiri, untuk membaca teks secara intens, untuk berefleksi, aku butuh itu, tetapi sekali lagi, konsepnya bukan dalam kesendirian, tetapi lebih tepatnya: dalam sebuah lingkungan yang aku nyaman di dalamnya. Aku mesti membangun sekelilingku dulu, enjoy dengan itu, baru aku bisa menulis dan membaca dengan khidmat. Apa bedanya konsep semacam itu dengan kesendirian? Beda. Kesendirian adalah kenyamanan akan diri, dalam diri, tanpa perlu sibuk menyiapkan lingkungan eksternal. Kesendirian adalah buah dari pergulatan batin yang sibuk, untuk kemudian tak lagi menganggap lingkungan eksternal sebagai sesuatu yang krusial, karena kit
Awal Maret kemarin, saya membaca salah satu cerpen dari Anton Chekhov yang berjudul Riwayat yang Membosankan. Seperti halnya Ruang Inap no. 6 –cerpen Chekhov lain yang kebetulan sudah saya tamatkan-, Riwayat yang Membosankan adalah cerpen yang tidak pendek (sekitar sembilan puluh halaman). Diseling berbagai kesibukan di kampus yang membuat waktu untuk membaca menjadi sedikit, cerpen tersebut berhasil saya tamatkan dengan susah payah ketika bulan berganti menjadi Mei.
Setelah membaca Riwayat yang Membosankan, ada perasaan hening panjang yang tidak mengenakkan. Alasannya adalah ini: Isi dari cerpen tersebut adalah tentang kisah hidup seorang profesor kedokteran bernama Nikolai Stepanich, yang amat jemu dengan hidupnya, dan memandang segala sesuatu dengan pesimistis. Apa yang membuatnya muak, salah satunya, adalah kehidupan akademik dengan segala intelektualisme (bukan intelektualitas)-nya. Ini tentu saja menjadi teguran untuk saya yang menunda-nunda membaca cerpen ini karena alasan akademik –dan juga segala intelektualismenya-. Apa yang saya lakukan setiap hari kurang lebih adalah seperti apa yang Stepanich pikirkan tentang seorang doktor yang datang ke rumahnya, “Ia menulis karya ilmiah yang tidak berguna bagi siapapun, kemudian lulus lewat perdebatan yang membosankan, untuk mendapatkan gelar sarjana yang tidak ia perlukan.”
Stepanich sendiri merupakan akademisi yang jauh dari kata gagal. Sebaliknya, justru ia sangat gemilang. Bahkan mungkin dapat dikatakan terlalu gemilang. Kegemilangannya tersebut membawanya pada kedudukan sosial yang luar biasa. Setiap harinya, ia dikunjungi oleh banyak tamu dengan beragam keperluan. Kemanapun ia pergi, ada saja awak media yang mengikutinya. Bahkan Stepanich mengatakan bahwa kegiatan mengajar sudah tidak menarik lagi karena apapun yang ia katakan, selalu memukau bagi orang lain. Sementara di balik itu semua, Stepanich mengalami kehidupan yang ia rasakan buruk, mulai dari istrinya yang ia sebut sebagai “Varya yang membosakan dan tidak lagi secantik dulu” sampai kesehatannya yang terus menerun sehingga detik demi detik ia merasakan bahwa setengah kakinya sudah berada di kuburan. Stepanich, meski berusaha tidak peduli dengan kematiannya, tetap gelisah karena kenyataan bahwa selama ini ia terus menerus memikirkan ilmu –sampai mengatakan bahwa ia sendiri adalah milik ilmu- tanpa tahu absurditas apa yang menanti di balik kematian.
Riwayat yang Membosankan ditulis dengan gaya yang menarik. Chekhov membuat pembacanya merasa sedang didongengi sebuah cerita sukses yang diulang-ulang sehingga akhirnya malah terasa seperti sebuah kisah yang memuakkan. Terutama bagi saya pribadi, cerpen ini menohok berulang-ulang karena kenyataan bahwa saya, meski tidak segemilang Stepanich, berkubang di lingkungan yang sama. Dunia pikir memikir kadang memang terasa absurd karena apa yang ada di pikiran –yang bersifat abstrak- tidak punya hubungan dengan kenyataan. Hal tersebut diperparah dengan legitimasi institusional dan juga sosial bahwa kaum yang bergerak di dunia abstrak ini, justru adalah kaum yang terpandang dan layak diberi kedudukan tinggi. Walhasil, para intelektual berlomba-lomba menulis karya ilmiah –seperti doktor yang disindir oleh Stepanich-, mengajarkan ilmu-ilmu yang mungkin tidak ia pahami, dan mengabdi pada masyarakat yang ia sendiri tidak tahu apakah dengan demikian, ia betul-betul akan dikenang oleh masyarakat itu atau tidak. Semua itu memperkuat apa yang disebut oleh Antonio Gramsci sebagai intelektual tradisional. Intelektual tradisional adalah kaum yang berkutat di menara gading dan sibuk dengan teori-teorinya sendiri tanpa peduli apakah yang dipikirkannya berkesuaian dengan kenyataan atau tidak. Menjadi intelektual tradisional mungkin adalah hidup yang aman dan nyaman –duduk di ruangan ber-AC, gaji berlimpah, untuk kemudian meneliti tentang masyarakat miskin bermodalkan browsing- karena tidak pernah bersentuhan dengan kondisi yang sebenarnya. Kemudian, ketika perjalanan hidup seorang intelektual tradisional diurai dengan kata-kata, seperti halnya seorang Stepanich, mungkin hasilnya adalah sebuah riwayat yang membosankan.
Dilihat dari ulasannya, rasa pesimis milik Stephanic juga saya rasakan dalam kehidupan saya sehari-hari sebagai mahasiswa Sastra Inggris. Melihat banyak orang, terutama teman-teman saya yang lulus terlebih dahulu dan amat sangat bangga dengan apa yang telah mereka capai membuat saya selalu bertanya dan kebingungan akan hal tersebut.
ReplyDeleteSaya setuju dengan frase yang disematkan oleh Gramsci, 'intelektual tradisional', kepada banyak orang di kehidupan sosial kita dewasa ini.