Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Mengapresiasi Mercusuar Merah: Ikhtiar akan Teater Perubahan




Di sebuah acara bernama Malam Ide yang diselenggarakan oleh Pusat Kebudayaan Prancis di Bandung, saya dengan semangat mengundang Mercusuar Merah untuk mengisi salah satu mata acara dengan menampilkan teater. Teaternya seperti apa, saya tidak benar-benar tahu. Saya hanya kenal baik sosok di baliknya: Mohamad Chandra Irfan, pribadi yang progresif, revolusioner, dan kritis terhadap bentuk-bentuk teater yang terlampau konvensional. 

Lalu saya, kami semua, pengunjung Malam Ide, benar-benar menantikan apa yang akan ditampilkan Chandra dan kawan-kawan. Properti mereka sederhana sekali: hanya kursi-kursi yang memang sudah ada, baju-baju yang digantung, serta mikrofon. Lalu lagu berjudul Internationale diputar pertanda pertunjukan dimulai. Para pemain tidak langsung tampil di atas panggung. Mereka menyalami semua hadirin dulu dengan berkeliling seperti sedang halal bi halal. 

Chandra kemudian mengendalikan mikrofon. Ia bicara tidak dengan dramatisasi vokal yang biasa kita temukan dalam teater umumnya. Ia bicara biasa saja seperti moderator seminar dan memanggil beberapa orang untuk bicara. Yang pertama ada anak berpakaian SMA yang bicara tentang bagaimana ia direpresi di sekolahnya yang diajar oleh para tentara. Yang kedua ada orang yang pernah dipukul oleh ormas intoleran. Lalu yang ketiga, ada orang yang berbicara lucu dengan logat Sunda. Sayang, saya tidak bisa menangkap isu apa yang dia bawa. 

Tiba-tiba maju ke depan sosok perempuan. Ia memimpin senam aerobik! Para hadirin mengikuti gerakannya dengan antusias sekaligus bertanya-tanya, "Ini kok jadi senam?" Setelah senam, suasana menjadi kembali seperti forum seminar. Chandra berusaha mengajak orang-orang untuk bertanya, namun hanya satu yang merespon. 

Pertanyaan besarnya: Sebelah mana teaternya? Aktornya tampak tidak terlatih, suasananya tidak dramatik, dan latarnya tidak estetik. Namun pertanyaan "sebelah mana teaternya?" hanyalah dimungkinkan jika teater itu dikotakkan pada teater Stanislavskian yang memang dibuat sedemikian rupa agar dramatis dan menggugah. Persepsi penonton yang menginginkan teater Brechtian pun kemungkinan gagal memahami Mercusuar Merah. Karena meski sama-sama mengangkat teater realis yang dengan demikian para penonton menjadi tidak terpisah dari kenyataan, tetap teater Chandra kemarin terlalu "tawar" untuk dapat digolongkan Brechtian - dalam arti kata lain, Mercusuar Merah terlalu terlihat tanpa latihan -. 

Namun saya kemudian menerka-nerka. Dalam beberapa kesempatan, seperti misalnya dalam diskusi ringan, Chandra kerap menyebut-nyebut nama dramawan, aktor, penyair, dan aktivis Augusto Boal. Saya membaca Boal bolak balik tapi tidak pernah benar-benar paham sampai melihatnya sendiri via Mercusuar Merah. Boal menjadikan teater sebagai panggung untuk latihan revolusi. Teater a la Boal adalah semacam forum yang membuat setiap orang bisa bicara dengan panduan seorang moderator (dalam pertunjukan kemarin, diperankan oleh Chandra) yang dilarang mengintervensi konten. Boal agaknya terinspirasi kompatriotnya asal Brasil, Paulo Freire, yang menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah membuat siswa mengerti dari dalam dirinya sendiri. Guru adalah fasilitator saja dan ia dilarang melakukan dogmatisasi ilmu pengetahuan.  

Para aktor yang kemarin tampil, saya duga, memang menceritakan sesuatu yang benar-benar menjadi pengalamannya. Dalam arti kata lain, mereka tidak sedang berakting. Mereka justru menjadi dirinya sendiri. Mereka menyuguhkan persoalan ke hadapan audiens yang ironisnya, barangkali berharap dapat melarikan diri dari persoalan dengan menonton teater. Seni dilarang menjadi ilusi dan membuat audiens melupakan kenyataan di sekelilingnya. 

Lalu apa arti keberadaan perempuan yang memimpin aerobik? Soal ini, Chandra menjelaskannya sendiri: "Ini juga persoalan, yaitu objektivikasi perempuan. Kita ikut senam aerobik bukan karena kesehatan, tapi bisa jadi karena melihat perempuan yang menarik secara fisik." 

Mercusuar Merah mengakhiri penampilan dengan menyisakan hal-hal yang mengganggu di benak para hadirinnya. Saya yakin ada saja diantara mereka yang menilai teater tersebut tidak bagus dan tidak jelas. Namun tidak apa-apa, karena Chandra pasti tidak sedang menghamba pada tepuk tangan yang panjang dan puja puji yang berhamburan. Ia sedang mengikhtiarkan suatu bentuk teater yang masih jarang: teater untuk perubahan.

Informasi nama-nama aktor:
Abdul Azis
Ridwan Kamaludin
Ugi 
Haadiriot
Dhe
Fajar Bintang

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat