Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Tentang Ta'aruf

Lewat sejumlah postingan teman-teman di postingan di FB, saya tertarik untuk membaca lebih jauh berita tentang pernikahan Rey Mbayang dan Dinda Hauw. Siapakah mereka? Saya sama sekali tidak tahu siapa mereka, namanya pun baru dengar - padahal mereka ini katanya orang sangat terkenal -. Apa yang menarik? Mereka (dan juga media, tentu saja) melabeli pernikahannya dilakukan dalam format ta'aruf, yang kira-kira menunjukkan bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuai syari'at Islam, yaitu "pacaran setelah menikah". 

Sumber gambar: Instagram @dindahw

Artinya, Rey dan Dinda, tidak seperti muda-mudi pada umumnya, yang terlebih dahulu menjalin hubungan dalam rangka saling mengenal - yang biasa disebut pacaran -. Mereka langsung menikah, bermodalkan pengetahuan satu sama lain yang "sedikit", dan lebih banyak berlandaskan keimanan. Pengenalan satu sama lain secara mendalam dilakukan dalam domain pernikahan, dan menjadi sesuai syari'at Islam karena sejalan dengan ajaran untuk "menghindari zina".

Pada sekitar bulan Februari lalu, saya menjadi moderator di acara berjudul Buka Tutup Kepala yang diadakan oleh Komuji Indonesia. Acara tersebut kebetulan mengangkat tema tentang ta'aruf dan narasumber yang dihadirkan merepresentasikan dua perspektif yang berbeda, yaitu Dian Siti Nurjannah (dosen, praktisi terapi) yang mengambil posisi pro ta'aruf dan Dede Muhammad Multazam (pengelola Yayasan Santri Progresif) yang mengambil posisi kontra ta'aruf. Dari diskusi tersebut saya mendapat pencerahan. Pertama, dari argumentasi Dian yang melihat bahwa pacaran itu lebih banyak menimbulkan masalah, dari mulai kemungkinan timbulnya kekerasan, potensi hubungan seksual yang kurang sehat, hingga menyebabkan konsentrasi terpecah dalam studi dan pekerjaan. Dian melihat bahwa dengan ta'aruf, hubungan menjadi lebih sehat dan "terlindungi", baik dari sisi negara maupun agama.

Dede punya pandangan yang berbeda, meski juga setuju bahwa agama memang menyuruh kita untuk menghindari zina. Namun, menurut Dede, sebagai dasar, Al-Qur'an sendiri menyebutkan istilah li-ta'arofu dalam konteks "saling mengenal", yang lengkapnya adalah sebagai berikut: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal." Jadi, tidak ada anjuran atau suruhan secara tegas untuk melakukan ta'aruf, setidaknya dari segi istilah, hal tersebut tidak disebutkan di Al-Qur'an dalam konteks yang dimaksud hari ini. Dede hendak mengatakan, ta'aruf mungkin baik, tapi dasar keagamaannya kurang kuat. Atau, bisa jadi, ta'aruf lebih erat kaitannya dengan kebudayaan tertentu saja, yang memang melihat pernikahan bukan berdasarkan kehendak pasangan yang menjalani saja, melainkan unsur-unsur eksternal lain yang dianggap "lebih paham" (dalam hal ini, misalnya, orangtua atau pemuka agama).

Pertanyaan yang lebih besar, terlepas dari dua pandangan yang berbeda di atas itu tadi, adalah ini: Apakah ta'aruf selalu menghasilkan pernikahan yang baik? Baik dalam artian, langgeng dan bahagia (meski soal bahagia, tentu sulit mengukurnya). Karena jikapun ada diantara pernikahan dengan format ta'aruf ini yang ternyata kurang bahagia dan malah berujung perceraian, apakah data atau informasinya akan kita publikasikan? Mungkin bisa jadi ada hambatan (untuk mempublikasikannya), karena jika sebuah pernikahan dengan format ta'aruf ini gagal, maka yang tercoreng bukan terkait pada pasangan yang mengalami perceraian, melainkan pada ideologi agama itu sendiri.

Selain itu juga, faktor psikologis menjadi hal yang tidak bisa diabaikan. Bagaimana jika keputusan ta'aruf dilakukan atas dasar hasrat yang menggebu-gebu, dan tidak lewat pertimbangan yang lebih rasional? Bagaimana jika keputusan ta'aruf dilakukan dalam usia yang masih sangat muda, ketika masih dipenuhi ambisi terhadap suatu cita-cita, serta masih kurang matang dalam soal pengalaman hidup secara keseluruhan? Pada titik ini, ta'aruf juga mesti mempertimbangkan aspek-aspek keilmuan lainnya, yang ada di luar agama. Bisa saja, menikah dengan format ta'aruf, tapi kemudian mengalami ketidakbahagiaan karena masalah-masalah yang ditimbulkan oleh sebab kekurangmatangan berpikir dan hasrat-hasrat yang belum selesai. Menghindari zina, dengan menikah muda, di sisi lain, bisa jadi bumerang.

Jadi, kembali ke soal pernikahan Rey Mbayang dan Dinda Hauw. Itu urusan mereka untuk berta'aruf, meski kemudian berimplikasi pada konten Instagram yang menggelikan karena mengumbar adaptasi mereka satu sama lain (yang seolah-olah hendak mengatakan pada warganet: "Ta'aruf itu asyik loh! saling menyingkap misteri pelan-pelan!"). Tapi jika oleh sebab perilaku selebgram semacam itu, kemudian ta'aruf menjadi populer di kalangan anak muda, mohon pertimbangkan dulu tulisan singkat ini, karena ada bahaya mengintip di balik ta'aruf.


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me