Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Filsafat Politik dan Kotak Pandora Abad ke-21

ULAS BUKU: FILSAFAT POLITIK DAN KOTAK PANDORA ABAD KE-21

 

Kata “politik” itu memang terdengar seperti sesuatu yang kotor, penuh intrik, dan urusannya selalu soal kekuasaan dan kekuasaan saja. Dengan citranya yang demikian buruk, ramai-ramai orang menghindari berurusan dengan politik, seolah-olah ada kehidupan manusia di luar sana yang tidak terhubung dengan politik. Padahal, Pericles, negarawan Yunani Kuno, sudah mengingatkan, “Hanya karena kita tidak punya minat dengan politik, bukan berarti politik tidak punya minat terhadap kita.”

Prof. Budiono Kusumohamidjojo, lewat bukunya yang berjudul “Filsafat Politik dan Kotak Pandora Abad ke-21”, menunjukkan bahwa politik secara hakikat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah peradaban manusia. Bagaimana bisa menghindari politik, jika hidup dalam entitas bernama negara? Bagaimana bisa menghindari politik, jika membenci kekuasaan tertentu, tapi diam-diam mendambakan kekuasaan jenis lainnya? Bagaimana bisa menghindari politik, jika senantiasa membentuk ragam kategori dalam masyarakat, yang kemudian lewat kategori tersebut, kita bisa melihat bahwa masing-masingnya punya kepentingan yang berbeda? Dengan demikian, jelas mengapa Aristoteles menyebut manusia sebagai “zoon politikon”.

Istilah “filsafat politik”, dalam buku ini, diuraikan dengan jelas – termasuk perbedaannya dengan ilmu politik -, yang seolah menjawab pertanyaan, “Politik kan ‘gitu-gitu aja’, untuk apa difilsafatkan lagi?” Filsafat politik menunjukkan bahwa politik tidak “gitu-gitu aja” dalam arti, mengandung kompleksitas yang menyertakan renungan tentang apa itu negara, apa itu kekuasaan, apa itu idelogi, apa itu konstitusi, hingga apa itu hak asasi manusia. Namun di sisi lain, filsafat politik juga ingin memperlihatkan bahwa di sisi lain, politik adalah “gitu-gitu aja” karena dalam rentang sejarah peradaban manusia, yang dibicarakan adalah perkara yang kurang lebih sama, namun dalam konteks historis yang berbeda – bukankah demikian hakikat mempelajari filsafat: mempelajari pemikiran lampau untuk dicari benang merahnya dengan masa sekarang? -.

Ke-masa-sekarang-an tersebut ditunjukkan penulis dengan tidak hanya berusaha merangkum pemikiran politik dari masa Yunani Kuno hingga masa modern, melainkan juga meletakkan kontekstualisasinya dengan persoalan kontemporer di abad ke-21. Sehingga dengan demikian, buku ini terasa lengkap dan bergizi, oleh sebab kita tidak dibiarkan hidup dalam bayangan romantisme politik di masa silam (yang cukup komprehensif disajikan), melainkan ditarik untuk berdiskusi perihal hakikat masyarakat yang semakin tidak terikat secara spasial dan temporal, kemajuan teknologi informasi yang memberi keuntungan tapi sekaligus juga persoalan baru, serta kemungkinan berakhirnya globalisasi dalam waktu dekat.

Meski demikian, dengan segala kelengkapan isinya yang memukau, buku yang diterbitkan bulan Agustus 2020 ini (yang dengan begitu, sedang berada di masa pandemi Covid-19), akan lebih dahsyat jika turut menyertakan sebuah analisis tentang kondisi politik dan masyarakat pasca pandemi, yang kemungkinan besar akan mengalami perubahan drastis pada kondisi yang sukar dibayangkan. Penulis beberapa kali menyebut perihal pandemi Covid-19 ini dalam beberapa kesempatan dalam buku, tapi kelihatannya tidak sempat membuat analisis tajam dan serius tentang kondisi yang diakibatkannya. Tentu saja, pemikiran yang bertalian dengan hal tersebut sangat dinanti, meski pada tulisan profesor Budiono yang lain.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat