Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Jakarta


Sembilan bulan sudah kami tinggal di Jakarta. Sepanjang hidup, memang sudah cukup sering saya pergi ke Jakarta, tapi tidak untuk tinggal dalam waktu yang lumayan lama. Ini adalah kali pertama saya tinggal agak lama di luar kota kelahiran dan tempat saya bertumbuh, Bandung. Saya memilih untuk mengiyakan pindah ke Jakarta karena istri diterima kerja di sana. Oke lah, kenapa enggak untuk nyoba tinggal di luar Bandung? Di Jakarta, saya lebih banyak berdiam di apartemen atau nongkrong di kafe untuk menulis. Sepanjang itu, saya memang ingin lebih fokus menulis sembari mengajar atau mengisi forum di beberapa kesempatan (umumnya masih online). Karena tidak punya kegiatan yang dikatakan rutin (meski menulis itu ya termasuk rutin), saya punya cukup waktu luang untuk bertemu beberapa kawan. 

Apa yang bisa dikatakan tentang Jakarta? Dibandingkan dengan umumnya orang-orang yang saya temui di Bandung, orang-orang di sekitaran apartemen tempat kami tinggal bukanlah orang yang terlalu senang beramah tamah. Mereka tampak fokus pada kesibukannya dan kelihatannya malas berurusan dengan orang yang berada di luar kepentingannya. Tempat kerja istri saya berada dalam sebuah mal dan saya cukup sering nongkrong di sekitar sana sambil menungguinya pulang. Kesan saya tentang orang-orang di tempat itu ya sama: mereka kelihatan begitu sibuk. Memang banyak di antara mereka juga bersantai, tetapi bersantai dalam kesibukannya. Mereka nongkrong, hang out, dalam tempo yang bagi kami orang-orang Bandung, terasa begitu cepat dan agak terburu-buru. 

Namun istilah saya - mereka, kami - mereka, dalam arti tertentu, agak terdengar aneh. Pembagian semacam itu mensyaratkan adanya keterpisahan antara saya, kami, dan mereka, dalam suatu kategori entah apa. Secara eksistensi tentu cukup jelas, bahwa saya, dia, si itu, si ini, orang-orang itu, adalah individu-individu yang berbeda satu sama lain. Tetapi letak permasalahannya adalah ini: jika individu-individu itu berbeda satu sama lain, mengapa saya berani menyatakan individu-individu tersebut dalam himpunan "mereka"? Artinya, kurang lebih, saya menyamakan individu-individu itu, dan individu-individu yang saya anggap "sama" tersebut, adalah berbeda dari saya. Pertanyaannya, apakah "saya" dan apakah "mereka"? 

Saya mengatakan di atas, bahwa "mereka" adalah "sekumpulan orang yang fokus pada kesibukannya dan kelihatannya malas berurusan dengan orang yang berada di luar kepentingannya", "mereka" adalah "sekumpulan orang yang bersantai, tapi bersantai dalam kesibukannya". Namun bagaimana kemungkinan "mereka" melihat "saya"? Mungkin sama saja: "Mereka" (yang di dalamnya ada "saya"), adalah "sekumpulan orang yang fokus pada kesibukannya dan kelihatannya malas berurusan dengan orang yang berada di luar kepentingannya" and so on and so on. Apa artinya? Penilaian saya tentang mereka, bisa jadi sama dengan penilaian mereka tentang saya, yang memang ada di dalam himpunan yang sama, ada-bersama-mereka. 

Poinnya, saya datang ke Jakarta, pada mulanya, dengan dibekali sejumlah teori tentang budaya urban, anti-kapitalisme, dan macam-macam amunisi kritis lainnya, berharap tetap waras dan terbebaskan di tengah kehidupan kota besar yang mengalienasi. Hal semacam itu bisa saja diterapkan, tetapi akan jatuh pada masalah lain: saya justru yang terasing dari sekitar, dengan menjadi "si paling sadar", "si paling kritis", dan lain-lain seolah-olah saya bukanlah seperti "mereka" yang tenggelam dalam rutinitas. Pada akhirnya, sikap solipsis semacam itu tidak melulu dibutuhkan dalam menjalani keseharian yang saya lalui di Jakarta. Saat berada di tengah-tengah orang-orang, letakkan sejenak praduga-praduga tentang masyarakat kontemporer, karena sebelum pikiran kita memikirkannya, kita telah, dan selalu menjadi bagian dari orang-orang itu. Kita adalah orang-orang itu

Jakarta, dengan segala pengalaman teralienasinya, sangat menantang untuk saya. Tapi kelihatannya kami tidak akan berlama-lama di sini. Bandung memanggil, kami mesti pulang. Dari pengalaman teralienasi satu, ke pengalaman teralienasi lainnya. Dalam terang kehidupan kota, kadang hidup berkesadaran hanyalah ilusi. Kehendak bebas hanyalah angan-angan.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1