Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Tentang Sistem


Entah berapa tahun silam, saya pernah ngobrol dengan teman saya, lulusan psikologi, yang memutuskan untuk bekerja sebagai Satpol PP. Tanpa saya menanyakan, ia langsung merasa harus menjelaskan pilihannya tersebut, "Saya melamar pada pekerjaan ini supaya jatah orang yang tadinya kurang kompeten, diberikan pada saya, lulusan S1 yang mungkin lebih kompeten." Maklum, imej Satpol PP selama ini, sependek yang saya tahu, lekat dengan penertiban yang tidak jarang berujung pada kekerasan. Wajah Satpol PP adalah wajah yang ditakuti oleh para pedagang dan pencari nafkah yang melapak di tempat yang katanya tidak boleh. Satpol PP akan mengejar mereka yang nakal, mengangkut gerobak dagangannya, dan memastikan lokasi itu tetap steril. Cita-cita teman saya ini mungkin mulia, supaya Satpol PP lebih baik, lebih lunak, lebih "beradab", lewat pengaruh ilmu psikologi dari seorang lulusan yang rajin. 

Saya tidak punya penelitian atau pengamatan serius tentang Satpol PP. Saya juga tidak bertanya kabar lagi dengan teman saya itu. Tapi katakanlah saya menyimpulkan seperti ini: bahwa tidak ada perubahan serius yang terjadi pada Satpol PP, meski teman saya berada di dalamnya. Teman saya itu memang, setahu saya, "bukan siapa-siapa" di institusi tersebut. Mungkin ia setingkat lebih tinggi dari staf biasa, tetapi tidak dapat juga dikatakan "atasan". Meski ia "mengambil jatah" dari orang yang katanya tidak kompeten, itu tidak berarti bahwa ia sendiri bisa merombak sistem dalam Satpol PP. Masalahnya adalah teman saya itu berada pada sebuah sistem, sistem yang dibuat sedemikian rupa supaya individu tidak sedemikian menonjol kecuali terkait kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan oleh sistem tersebut. 

Sebagai contoh, seseorang melamar menjadi pelayan di restoran. Ia sebenarnya bisa musik, suka sastra, dan jago sepakbola. Namun kemampuan-kemampuannya yang terakhir ini tidak akan dipandang karena yang diperlukan adalah kecekatannya sebagai pelayan, kemampuannya dalam beramah tamah, dan sebagainya. Mungkin kemampuan musiknya akan menopang ia dalam hal tertentu, misalnya, membuat dirinya lebih santai dalam melayani karena selalu sambil menikmati musik di sekitarnya. Selain itu, ia juga dapat memberi masukan terkait musik yang diputar. Sepakbolanya mungkin penting, tetapi lebih pada urusan menjaga fisiknya saat menjadi pelayan. Intinya, bakat dan kemampuan seseorang menjadi diperlukan selama ada hubungannya dengan sistem, supaya menunjang sistem. 

Teman saya itu punya keilmuan psikologi. Saya yakin ilmunya ini digunakan, tetapi untuk kepentingan sistem, untuk membenarkan sistem. Mungkin ia diajak rapat, diminta pertimbangan keilmuannya untuk misalnya, membuat orang-orang yang digusur ini langsung merasa terintimidasi dan pergi sendiri sebelum diusir oleh para petugas. Saya agak ragu jika ilmu psikologinya tersebut digunakan untuk misalnya, melunakkan hati atasannya sendiri supaya tindakan gusur menggusur tidak perlu dilakukan, dan yang lebih ditekankan adalah dialog untuk mencari solusi bersama. Mengapa? Sederhana saja: atasannya tersebut lebih berkuasa, dan ia adalah orang yang menggaji teman saya itu. Mungkin setiap teman saya hendak melontarkan kritik tajam atau berusaha melakukan perombakan, sistem selalu mengingatkan: dia di sini karena butuh uang, bukan untuk bertindak macam-macam mengubah apa yang telah mapan. 

Pada akhirnya, yang terjadi adalah "selemah-lemahnya iman": yang penting sudah berusaha, yang penting sudah sempat mengingatkan, yang penting tetap berkarya sebisa-bisa. Hal yang lebih bahaya, ia jatuh ke dalam ilusi bahwa ia benar-benar telah berkarya, benar-benar telah berguna, padahal apa yang telah dihasilkannya sudah direduksi untuk kebaikan sistem. Ini adalah gelembung yang mengkhawatirkan: ia yang berada di dalam sistem merasa sudah berbuat yang terbaik untuk orang luar (melalui sistem tersebut), tapi bisa jadi orang yang berada di luar, melihat ia tidak berbuat apa-apa (di dalam gelembung sistem tersebut). 

Namun saya juga tidak menampik bahwa orang-di-dalam-sistem tidak melulu tak berdaya. Ia bisa melakukan persuasi, memberikan usulan dengan hati-hati, atau bekerja keras supaya jadi atasan dan merombak semuanya. Dalam hal tertentu, perbaikan itu mungkin. Namun pasti akan sangat terjal jalannya karena suatu sistem, biasanya juga terhubung dengan sistem lain yang lebih besar. Usaha-usaha perombakan adalah usaha-usaha super heroik yang mengandalkan keimanan Kantian untuk taat pada prinsip yang dianggapnya benar (yang ia yakini juga benar secara universal). Orang-orang dengan mental semacam itu kemungkinan besar dijegal sejak awal. Jadi, apakah kita harus selalu berharap agar ada individu yang maha-Kantian untuk bisa mengubah sistem, atau bersikap selamanya membenci sistem, dan menganggap sistem adalah produk gagal umat manusia yang bertentangan dengan usaha mengawetkan keunikan individu?

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat