Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Tentang Sistem


Entah berapa tahun silam, saya pernah ngobrol dengan teman saya, lulusan psikologi, yang memutuskan untuk bekerja sebagai Satpol PP. Tanpa saya menanyakan, ia langsung merasa harus menjelaskan pilihannya tersebut, "Saya melamar pada pekerjaan ini supaya jatah orang yang tadinya kurang kompeten, diberikan pada saya, lulusan S1 yang mungkin lebih kompeten." Maklum, imej Satpol PP selama ini, sependek yang saya tahu, lekat dengan penertiban yang tidak jarang berujung pada kekerasan. Wajah Satpol PP adalah wajah yang ditakuti oleh para pedagang dan pencari nafkah yang melapak di tempat yang katanya tidak boleh. Satpol PP akan mengejar mereka yang nakal, mengangkut gerobak dagangannya, dan memastikan lokasi itu tetap steril. Cita-cita teman saya ini mungkin mulia, supaya Satpol PP lebih baik, lebih lunak, lebih "beradab", lewat pengaruh ilmu psikologi dari seorang lulusan yang rajin. 

Saya tidak punya penelitian atau pengamatan serius tentang Satpol PP. Saya juga tidak bertanya kabar lagi dengan teman saya itu. Tapi katakanlah saya menyimpulkan seperti ini: bahwa tidak ada perubahan serius yang terjadi pada Satpol PP, meski teman saya berada di dalamnya. Teman saya itu memang, setahu saya, "bukan siapa-siapa" di institusi tersebut. Mungkin ia setingkat lebih tinggi dari staf biasa, tetapi tidak dapat juga dikatakan "atasan". Meski ia "mengambil jatah" dari orang yang katanya tidak kompeten, itu tidak berarti bahwa ia sendiri bisa merombak sistem dalam Satpol PP. Masalahnya adalah teman saya itu berada pada sebuah sistem, sistem yang dibuat sedemikian rupa supaya individu tidak sedemikian menonjol kecuali terkait kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan oleh sistem tersebut. 

Sebagai contoh, seseorang melamar menjadi pelayan di restoran. Ia sebenarnya bisa musik, suka sastra, dan jago sepakbola. Namun kemampuan-kemampuannya yang terakhir ini tidak akan dipandang karena yang diperlukan adalah kecekatannya sebagai pelayan, kemampuannya dalam beramah tamah, dan sebagainya. Mungkin kemampuan musiknya akan menopang ia dalam hal tertentu, misalnya, membuat dirinya lebih santai dalam melayani karena selalu sambil menikmati musik di sekitarnya. Selain itu, ia juga dapat memberi masukan terkait musik yang diputar. Sepakbolanya mungkin penting, tetapi lebih pada urusan menjaga fisiknya saat menjadi pelayan. Intinya, bakat dan kemampuan seseorang menjadi diperlukan selama ada hubungannya dengan sistem, supaya menunjang sistem. 

Teman saya itu punya keilmuan psikologi. Saya yakin ilmunya ini digunakan, tetapi untuk kepentingan sistem, untuk membenarkan sistem. Mungkin ia diajak rapat, diminta pertimbangan keilmuannya untuk misalnya, membuat orang-orang yang digusur ini langsung merasa terintimidasi dan pergi sendiri sebelum diusir oleh para petugas. Saya agak ragu jika ilmu psikologinya tersebut digunakan untuk misalnya, melunakkan hati atasannya sendiri supaya tindakan gusur menggusur tidak perlu dilakukan, dan yang lebih ditekankan adalah dialog untuk mencari solusi bersama. Mengapa? Sederhana saja: atasannya tersebut lebih berkuasa, dan ia adalah orang yang menggaji teman saya itu. Mungkin setiap teman saya hendak melontarkan kritik tajam atau berusaha melakukan perombakan, sistem selalu mengingatkan: dia di sini karena butuh uang, bukan untuk bertindak macam-macam mengubah apa yang telah mapan. 

Pada akhirnya, yang terjadi adalah "selemah-lemahnya iman": yang penting sudah berusaha, yang penting sudah sempat mengingatkan, yang penting tetap berkarya sebisa-bisa. Hal yang lebih bahaya, ia jatuh ke dalam ilusi bahwa ia benar-benar telah berkarya, benar-benar telah berguna, padahal apa yang telah dihasilkannya sudah direduksi untuk kebaikan sistem. Ini adalah gelembung yang mengkhawatirkan: ia yang berada di dalam sistem merasa sudah berbuat yang terbaik untuk orang luar (melalui sistem tersebut), tapi bisa jadi orang yang berada di luar, melihat ia tidak berbuat apa-apa (di dalam gelembung sistem tersebut). 

Namun saya juga tidak menampik bahwa orang-di-dalam-sistem tidak melulu tak berdaya. Ia bisa melakukan persuasi, memberikan usulan dengan hati-hati, atau bekerja keras supaya jadi atasan dan merombak semuanya. Dalam hal tertentu, perbaikan itu mungkin. Namun pasti akan sangat terjal jalannya karena suatu sistem, biasanya juga terhubung dengan sistem lain yang lebih besar. Usaha-usaha perombakan adalah usaha-usaha super heroik yang mengandalkan keimanan Kantian untuk taat pada prinsip yang dianggapnya benar (yang ia yakini juga benar secara universal). Orang-orang dengan mental semacam itu kemungkinan besar dijegal sejak awal. Jadi, apakah kita harus selalu berharap agar ada individu yang maha-Kantian untuk bisa mengubah sistem, atau bersikap selamanya membenci sistem, dan menganggap sistem adalah produk gagal umat manusia yang bertentangan dengan usaha mengawetkan keunikan individu?

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1