Bermula dari pertemuan dengan Pak Awal Uzhara tahun 2013 hingga wafatnya beliau tahun 2016, cara pandang saya terhadap ideologi yang melekat pada seseorang menjadi begitu berbeda. Mungkin perlu diceritakan kembali, bahwa Pak Awal adalah mantan eksil yang pernah tinggal enam puluh tahun di Rusia karena alasan politik. Pergi ke Moskow tahun 1958 untuk sekolah film di Institut Sinematografi Gerasimov (dulu namanya VGIK), paspornya dicabut akibat pergolakan politik tahun 1965 di tanah air. Kita tahu bahwa orang-orang yang pergi ke negara-negara Eropa Timur atau negara-negara sosialis pada masa itu adalah "orang-orang utusan Soekarno" yang perlu disingkirkan oleh rezim orde baru, termasuk salah satunya adalah Pak Awal. Pak Awal berhasil pulang tahun 2011 ke Indonesia dan tinggal di Bandung hingga akhir hayatnya.
Meski sering ketakutan bahwa ia masih "diincar" selama di Indonesia, Pak Awal, di usianya yang kepala delapan, tidak kehilangan keyakinannya atas ideologi yang ia anut. Puluhan tahun di Uni Soviet membuat dirinya lekat dengan ajaran kekirian, meski kadarnya mungkin tidak sekental dulu (saya tidak tahu dulunya Pak Awal bagaimana). Misalnya, setiap kami menonton film bersama, Pak Awal selalu menyelipkan kekesalannya pada film-film Hollywood. Bisa dimaklumi, sebagai lulusan salah satu sekolah film paling bergengsi di dunia, Pak Awal langsung diajar oleh para dosen yang hebat-hebat dari Uni Soviet, yang pada masa itu sangat berseberangan dengan Amerika dan segala produknya. Pak Awal mungkin tidak tahu, bahwa dunia hari ini sudah tidak dipecah berdasarkan ideologi sebagaimana Barat - Timur sewaktu Perang Dingin, tetapi cara pandang dikotomis tersebut masih menempel dan kelihatannya tidak mungkin hilang.
Begitupun saat saya berjumpa orang lainnya, yang mungkin tidak perlu saya sebutkan namanya. Meski sudah sepuh dan telah merasakan represi begitu berat di era orde baru, ideologi yang mereka anut tidak pernah luntur. Mungkin di masa-masa tertentu, mereka pernah sangat menyembunyikannya (demi keselamatan diri), tetapi menyembunyikan tidak berarti menghilangkan. Malah bisa jadi akibat disembunyikan itulah, ideologi yang ditahan-tahan menjadi semakin menggumpal, dan menunggu momentum untuk meledak. Perasaan kuat terhadap ideologi tersebut membuat saya yakin bahwa lingkungan, sebagaimanapun memaksanya, tidak bisa begitu saja mengubah pendirian seseorang.
Sebagai contoh, jika ajaran Marxisme dengan materialisme historisnya menganggap agama hanya sekadar produk material yang bertalian dengan sejarah (bukan turun dari langit), maka orang-orang yang saya temui juga rasanya masih punya pandangan demikian (meski tentu menjadi agak kompromis karena usia). Dulu pikiran naif saya mengatakan: orang semakin tua pasti semakin dekat pada agama. Alasannya tentu, mereka takut akan mati, sehingga lambat laun mulai bertaubat, atau bahkan hijrah. Ternyata tidak selalu demikian. Mereka yang sedari muda telah ditanamkan ajaran bahwa agama tidak lebih dari sekadar produk material masyarakat, mungkin akan tetap menganggapnya demikian, meski lingkungan di sekelilingnya beragama, meski ia dikepung adzan lima kali dalam sehari, meski ia dicekoki doktrin bahwa komunis itu bahaya laten karena salah satunya, tidak percaya Tuhan!
Semakin tua, orang belum tentu kian beragama dan kian percaya Tuhan. Orang semakin tua, kemungkinannya ada dua: entah ia bermanuver dari kepercayaannya yang lama karena sudah tidak relevan dengan usianya, atau apa yang ia percayai sejak lama semakin mengeras, mengkristal dalam tubuhnya. Pada opsi yang kedua, orang sudah tidak bisa diapa-apakan lagi, mereka sudah benar dalam konteks pikirannya sendiri. Meski kita mampu membongkar kekeliruan jalan pikirnya, hal tersebut bisa saja ditolak karena keyakinan yang telah mengakar dalam memori dan tindakannya. Itulah ideologi.
Comments
Post a Comment