Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Ideologi


Bermula dari pertemuan dengan Pak Awal Uzhara tahun 2013 hingga wafatnya beliau tahun 2016, cara pandang saya terhadap ideologi yang melekat pada seseorang menjadi begitu berbeda. Mungkin perlu diceritakan kembali, bahwa Pak Awal adalah mantan eksil yang pernah tinggal enam puluh tahun di Rusia karena alasan politik. Pergi ke Moskow tahun 1958 untuk sekolah film di Institut Sinematografi Gerasimov (dulu namanya VGIK), paspornya dicabut akibat pergolakan politik tahun 1965 di tanah air. Kita tahu bahwa orang-orang yang pergi ke negara-negara Eropa Timur atau negara-negara sosialis pada masa itu adalah "orang-orang utusan Soekarno" yang perlu disingkirkan oleh rezim orde baru, termasuk salah satunya adalah Pak Awal. Pak Awal berhasil pulang tahun 2011 ke Indonesia dan tinggal di Bandung hingga akhir hayatnya. 

Meski sering ketakutan bahwa ia masih "diincar" selama di Indonesia, Pak Awal, di usianya yang kepala delapan, tidak kehilangan keyakinannya atas ideologi yang ia anut. Puluhan tahun di Uni Soviet membuat dirinya lekat dengan ajaran kekirian, meski kadarnya mungkin tidak sekental dulu (saya tidak tahu dulunya Pak Awal bagaimana). Misalnya, setiap kami menonton film bersama, Pak Awal selalu menyelipkan kekesalannya pada film-film Hollywood. Bisa dimaklumi, sebagai lulusan salah satu sekolah film paling bergengsi di dunia, Pak Awal langsung diajar oleh para dosen yang hebat-hebat dari Uni Soviet, yang pada masa itu sangat berseberangan dengan Amerika dan segala produknya. Pak Awal mungkin tidak tahu, bahwa dunia hari ini sudah tidak dipecah berdasarkan ideologi sebagaimana Barat - Timur sewaktu Perang Dingin, tetapi cara pandang dikotomis tersebut masih menempel dan kelihatannya tidak mungkin hilang. 

Begitupun saat saya berjumpa orang lainnya, yang mungkin tidak perlu saya sebutkan namanya. Meski sudah sepuh dan telah merasakan represi begitu berat di era orde baru, ideologi yang mereka anut tidak pernah luntur. Mungkin di masa-masa tertentu, mereka pernah sangat menyembunyikannya (demi keselamatan diri), tetapi menyembunyikan tidak berarti menghilangkan. Malah bisa jadi akibat disembunyikan itulah, ideologi yang ditahan-tahan menjadi semakin menggumpal, dan menunggu momentum untuk meledak. Perasaan kuat terhadap ideologi tersebut membuat saya yakin bahwa lingkungan, sebagaimanapun memaksanya, tidak bisa begitu saja mengubah pendirian seseorang. 

Sebagai contoh, jika ajaran Marxisme dengan materialisme historisnya menganggap agama hanya sekadar produk material yang bertalian dengan sejarah (bukan turun dari langit), maka orang-orang yang saya temui juga rasanya masih punya pandangan demikian (meski tentu menjadi agak kompromis karena usia). Dulu pikiran naif saya mengatakan: orang semakin tua pasti semakin dekat pada agama. Alasannya tentu, mereka takut akan mati, sehingga lambat laun mulai bertaubat, atau bahkan hijrah. Ternyata tidak selalu demikian. Mereka yang sedari muda telah ditanamkan ajaran bahwa agama tidak lebih dari sekadar produk material masyarakat, mungkin akan tetap menganggapnya demikian, meski lingkungan di sekelilingnya beragama, meski ia dikepung adzan lima kali dalam sehari, meski ia dicekoki doktrin bahwa komunis itu bahaya laten karena salah satunya, tidak percaya Tuhan! 

Semakin tua, orang belum tentu kian beragama dan kian percaya Tuhan. Orang semakin tua, kemungkinannya ada dua: entah ia bermanuver dari kepercayaannya yang lama karena sudah tidak relevan dengan usianya, atau apa yang ia percayai sejak lama semakin mengeras, mengkristal dalam tubuhnya. Pada opsi yang kedua, orang sudah tidak bisa diapa-apakan lagi, mereka sudah benar dalam konteks pikirannya sendiri. Meski kita mampu membongkar kekeliruan jalan pikirnya, hal tersebut bisa saja ditolak karena keyakinan yang telah mengakar dalam memori dan tindakannya. Itulah ideologi.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1