Skip to main content

Pengintip

  Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").  Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya

Kegaduhan


Sesekali, jika sedang luang, saya menonton pertandingan NBA. NBA selalu menarik. Tidak hanya tentang aksi dari para pemainnya, tetapi juga bagaimana pertandingan-pertandingannya kerap dikemas layaknya pertunjukan dengan teknik kamera yang "hidup". Bagi saya, NBA adalah "keberhasilan" kapitalisme. NBA bukan hanya berhasil menjual olahraga basket, tetapi juga membuat mutu basket di Amerika juga menjadi terdepan. Intinya, NBA bukan hanya menjual bungkus, citra, tetapi juga kualitas. 

Ada hal menarik dalam setiap pembukaan pertandingan NBA, yakni MC yang selalu meneriakkan, "Make some noise!" sebagai tanda bagi penonton untuk membuat keriuhan. MC tersebut juga akan memprovokasi penonton untuk meneriakkan "defense!" saat tim tuan rumah diserang, atau memprovokasi penonton untuk memberikan dukungan lebih gaduh jika dirasa tim tuan rumah sedang lesu atau justru tengah mengejar poin. Intinya, ada usaha membuat gaduh, membuat berisik keadaan. Supaya apa? Tentu saja supaya ramai, supaya kehadiran massa menjadi terasa. Namun hal ini bukan hanya terjadi pada NBA saja, melainkan pada hampir setiap kegiatan hiburan. MC manapun kerap meminta audiens untuk tepuk tangan dengan riuh. Lebih gaduh, lebih baik. 

Ada apa dengan kegaduhan? Mengapa orang senang dengan kegaduhan, terutama dalam konteks hiburan? Apakah dalam konteks hiburan, suasana gaduh menjadi dirindukan setelah sehari-harinya manusia berusaha mencari ketenangan? Karena mungkin, suasana gaduh yang tidak diharapkan, di sisi lain, adalah polusi, bahkan neraka. Orang stres dengan kegaduhan di jalanan dalam bentuk deru knalpot dan klakson mobil; orang stres dengan bunyi pembangunan gedung atau tetangga yang tertawa terbahak-bahak oleh topik yang tidak dipahami oleh orang yang merasa terganggu. Manusia senang dengan kegaduhan, selama berada dalam konteks yang sudah diantisipasi, selama ia sendiri yang menginginkannya. Yakni, hiburan itu. 

Namun jika hendak dicari-cari, mana yang lebih "kodrati" bagi manusia: kesunyian atau kegaduhan? Dalam kesunyian, seseorang bisa tetap merasa bising, setidaknya oleh pikirannya sendiri, oleh suara-suara yang muncul dari dalam diri. Dalam kesunyian, orang bisa mengingat apa saja, termasuk hal-hal yang menimbulkan kecemasan, seperti misalnya: kematian. Kematian adalah bayangan tentang kesunyian yang panjang. Hal yang jika direnung-renungkan, begitu menakutkan. Sementara dalam kegaduhan, orang menenggelamkan pikiran berlebihannya, ia disibukkan oleh perasaan terganggu, atau juga perasaan euforia. Dalam kegaduhan, orang-orang untuk sejenak mengabaikan hal-hal yang mencemaskan. Dalam kegaduhan: orang lupa akan mati. 

Dengan demikian, kegaduhan juga sekaligus representasi kehidupan, tentang hidup yang masih bersama-sama dengan yang lain. Karena seperti kata Pramoedya Ananta Toer dalam Bukan Pasar Malam, kita hidup beramai-ramai, tetapi mati sendiri-sendiri. Saat tahu bahwa dunia masih gaduh, kita tahu bahwa kita masih hidup. Kita, dalam arti tertentu juga, masih merayakan kehidupan.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1