Skip to main content

Pengintip

  Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").  Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya

Pikiran - Tubuh dan Makanan - Minuman


Meski tidak berangkat dari pengamatan yang dikatakan sahih, tetapi saya punya simpulan bahwa untuk bisa berpikir agak keras, seseorang mesti makan atau minum sesuatu yang tidak sehat-sehat amat. Misalnya, sejumlah filsuf digambarkan sebagai perokok dan peminum, pun di antara kita kalau sedang berdiskusi filsafat, biasanya sambil ngopi, ngebir, atau minum alkohol. Meski ada, tapi agak jarang: orang berkegiatan filsafat sambil minum-minuman sehat. Entah kenapa terdapat kecenderungan seperti itu dan fenomena semacam ini tentu tidak memuaskan jika hanya dijawab dengan "urusan selera masing-masing". Padahal secara umum tentu kita tahu: alkohol, kopi, rokok, adalah sesuatu yang tidak sehat, yang cepat atau lambat akan menjadi penyakit dalam tubuh kita. Namun mengapa, terutama saat berdiskusi filsafat, seseorang bisa mengonsumsinya dengan gembira, dengan perasaan yang "adil" bahwa memang itu semualah yang diperlukan bagi proses pemerasan pikiran? 

Mungkin problem ini bisa dimasukkan ke dalam problem pikiran - tubuh. Pertanyaannya, mengapa pikiran yang digunakan untuk berpikir filosofis, tidak dihasilkan dari tubuh yang prima, bugar dan sehat? Mengapa malah cenderung sebaliknya? Semacam tubuh itu "dirusak" supaya pikiran jernihlah yang kemudian menyembul. Jadinya bisa sekaligus dikatakan, bahwa pikiran yang jernih merupakan "kompensasi" dari pengrusakan tubuh. Hal-hal semacam ini sebenarnya sudah biasa dipraktikkan dalam agama: misalnya, praktik hidup asketik untuk mencapai tingkat spiritualitas tertentu. Contoh paling mudahnya tentu berpuasa. Berpuasa dan minum alkohol mungkin bisa dianggap dua hal yang berbeda, tetapi keduanya terdapat kesamaan: membuat diri sendiri menjadi sakit, meski berbeda rentang waktunya, meski berbeda kadar sakitnya. 

Ternyata demikian halnya dengan berolahraga. Olahraga adalah kegiatan yang menyakitkan, bikin badan pegal-pegal meski efek berikutnya adalah segar. Namun ada pola yang sama dengan ngopi dan berfilsafat: untuk menghasilkan kejernihan, diperlukan suatu kegiatan yang "kotor" dan "sakit". Namun dari seluruh contoh-contoh yang random tersebut, terdapat sesuatu yang bisa ditarik kesamaannya: bahwa kita sama-sama meyakini ada kondisi yang lebih absolut dan meyakinkan sebagai balasan atas segala penderitaan yang telah dilalui. 

Aku tahu dengan merokok dan minum kopi saat berfilsafat, aku akan menderita sakit suatu hari nanti, tetapi setidaknya ada yang jernih, ada yang lebih abadi dari tubuhku yang akan rusak ini: yaitu pikiran yang membumbung ke langit, hasil membicarakan kebenaran semalam suntuk. Aku tahu dengan berolahraga, tubuhku akan sakit-sakit dan pegal-pegal, tetapi ada yang lebih abadi dari tubuhku yang sakit dan pegal-pegal ini, yaitu kebahagiaan menikmati perasaan sehat suatu hari nanti. Aku tahu dengan berpuasa, perutku akan merasa lapar, kebebasanku untuk melampiaskan hawa nafsu terkekang oleh suatu peraturan yang tidak boleh dilanggar. Mengapa aku mau melakukannya? Karena aku yakin bahwa tubuh yang disakiti ini akan membawaku pada kebahagiaan batiniah yang kekal.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1