Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Kepemilikan



Mungkin tidak ada orang yang menginginkan seluruh dunia bagi dirinya sendiri. Setiap orang rasa-rasanya memikirkan juga soal keadilan dan distribusi. Namun keadilan dan distribusi tersebut harus melalui sebuah syarat: kepemilikan. Orang mesti memiliki dulu, baru memikirkan keadilan dan distribusi. Supaya apa? Entah, karena mungkin masing-masing orang punya versinya sendiri tentang apa yang adil. 

Contoh ekstremnya, pemerintah. Pemerintah pada prinsipnya adalah pihak yang (merasa) berhak menyimpan kekayaan negara dan mendistribusikannya. Saat kekayaan itu hendak didistribusikan, mereka tentu tidak langsung membagikannya pada rakyat, melainkan lewat beberapa tahapan administratif. Pada setiap tahapan-tahapan tersebut, perpindahan kepemilikan terjadi dari satu institusi ke institusi yang lain. Lalu pada masing-masing institusi yang katakanlah di Indonesia, hampir pasti terjadi korupsi atau semacamnya, supaya kepemilikan menjadi lebih spesifik ke tangan tertentu. Mereka yang korupsi itu kemudian akan membagikannya kembali pada orang-orang yang berjasa pada terjadinya penguasaan atas uang tersebut. Namun pada pokoknya, distribusi kekayaan pasti terjadi asal itu tadi: melewati suatu kepemilikan terlebih dahulu. 

Entah mengapa sesuatu harus dimiliki terlebih dahulu baru memikirkan keadilan tentangnya. Kelihatannya kepemilikan adalah syarat juga bagi sikap moral tertentu: kalau sesuatu aku miliki dan aku yang bagikan, maka akulah yang bermoral, akulah yang mendapat ganjaran akan kegiatan memberi itu. Maka saya teringat ceramah-ceramah agama bertemakan "teologi kemakmuran": "Kalau kita tidak kaya, maka bagaimana kita bisa bersedekah?" Menurut saya pertanyaan tersebut menunjukkan kepemilikan sebagai prasyarat bagi moral. Padahal jika kita coba lebih kritis, bisa saja yang terjadi sebaliknya: bukankah kegiatan sedekah ada akibat kepemilikan berlebihan dari si kaya? 

Jadi sebenarnya apa yang dicita-citakan secara ideal oleh masing-masing orang jangan-jangan bukanlah semata-mata tindakan baik, melainkan kepemilikan yang mengawali segala tindakan baik. Mereka tidak mau begitu saja melihat tindakan baik yang hanya dilakukan oleh negara, misalnya, melainkan juga ingin mencicipi kepemilikan untuk mendistribusikan tindakan baik itu dalam versinya sendiri. Apa yang baik memang secara normatif ditujukan untuk kepentingan komunal, tetapi mestilah berangkat dari motif-motif personal. 

Pada titik ini, rasa-rasanya saya mulai menyerah pada kebenaran egoisme etis. Bahwa setiap orang pada dasarnya hanya memikirkan kepentingannya sendiri untuk dipenuhi, sebelum kemudian mulai memikirkan kepentingan yang lain. Orang harus terpenuhi dulu tentang apa-apa yang ia inginkan, baru mulai beranjak pada urusan moral. Tanpa kepemilikan yang dikuasai dirinya sendiri, orang akan terus mencurigai kepemilikan orang lain sebagai praktik yang tidak adil: "Berikan padaku, aku tahu apa yang adil," begitulah kata semua orang di manapun. 

Maka patut kita curigai adakah yang benar-benar altruis di dunia ini? Kalaupun saya berkorban untuk seseorang, mungkin saya mesti memastikan terlebih dahulu: bahwa saya adalah pemilik dari pengorbanan ini dan bukan yang lain.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat