Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Toleransi


Toleransi adalah kata yang indah. Tapi iyakah? Tidak adakah masalah sama sekali dalam konsep toleransi? Toleransi mungkin secara sederhana bisa diartikan sebagai sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan supaya dapat hidup bersama dan berdampingan. Tidak ada masalah, mungkin, tetapi bisa saja dipermasalahkan: apakah toleransi bersifat eksklusif hanya pada mereka yang juga toleran? Jika toleransi hanya terbatas pada mereka yang punya sikap toleran, tidakkah artinya toleransi juga punya sisi intoleran terhadap mereka yang intoleran? Permasalahan ini pernah disinggung oleh Karl Popper dalam gagasannya tentang paradoks toleransi. Bagi Popper, mereka yang intoleran tidak perlu ditoleransi karena jika diberi panggung, si intoleran nantinya akan menyingkirkan mereka yang toleran. 

Popper mungkin ada benarnya, tapi juga bisa dipermasalahkan: tidakkah boleh-boleh saja bagi seseorang atau kelompok tertentu memandang perbedaan sebagai sesuatu yang menyusahkan bagi prinsip yang dianutnya? Di sisi lain, tidakkah juga "kodrati" bagi seseorang atau sebuah kelompok untuk hidup dengan memandang orang lain sebagai "yang lain" supaya dirinya dan kelompoknya tidak "tercemari"? Pandangan semacam itu mungkin menjadi seperti ancaman bagi prinsip toleransi, tetapi bukankah kita sebaiknya juga toleran terhadap hal demikian? Tidakkah mereka yang punya prinsip toleransi juga enggan "dicemari" oleh mereka-mereka yang dianggap intoleran? 

Menghargai perbedaan memang perlu, tetapi aku juga merasa Kwame Anthony Appiah, si pemikir kosmopolitanisme ada benarnya soal problem dari pluralisme: aku dan kamu berbeda, lalu selesai. "Menerima perbedaan" dalam arti demikian sebenarnya bisa jadi bukan benar-benar "menerima perbedaan", tetapi hanya mengiyakan bahwa antara satu kelompok dan kelompok lain memang berbeda, dan mari lanjutkan kesibukan kita masing-masing asal tidak saling ganggu. Terdapat kesan bahwa toleransi juga demikian, bahwa yang terjadi hanyalah selebrasi atas perbedaan, suatu penerimaan demi tujuan yang satu: "hidup damai dan rukun" Tapi apakah itu "hidup damai dan rukun", apakah tentang mampu mengejar apa yang kita inginkan dan cita-citakan? Tapi apakah yang kita inginkan dan cita-citakan itu? Apakah kesejahteraan dan kesuksesan? Jika iya, adakah yang dikorbankan dalam usaha-usaha itu? Nah, jika ada, bisakah toleransi mendamaikan semua itu, menghargai "perbedaan" dalam hal ketimpangan? 

Dalam pengertian demikian, toleransi bisa jadi semacam justifikasi untuk "tidak saling mencampuri urusan". Toleransi menjadi sebatas "aku dan kamu berbeda" jadi tidak usah saling mengganggu: padahal perbedaan itu bisa sesuatu yang "kodrati", bisa juga konstruksi, perbedaan yang "disengaja". Jika memang toleransi adalah pembenaran bagi perbedaan yang dikonstruksi sedemikian rupa, maka toleransi adalah sekaligus nama lain dari sikap "masa bodoh" dan "tidak peduli", semacam istilah halus bagi individualisme atau bahkan egoisme. Seorang kawan bahkan mengomentari dengan sinis, bahwa toleransi adalah situasi yang dibutuhkan sebagai prasyarat bagi investasi ekonomi. 

Tentu saja toleransi tidak selalu seperti itu. Toleransi ada juga yang penting, yang memang dibutuhkan untuk mengatasi perbedaan yang "kodrati", yang memang tidak mungkin diubah karena sifatnya yang niscaya. Misalnya, perbedaan antar agama mau tidak mau mesti ditoleransi karena hal-hal tersebut biasanya ada unsur terberi dan kerap tidak perlu alasan rasional untuk memeluknya (sehingga tidak selalu bisa diajak berdiskusi). Hal-hal tentang agama juga malah kadang perlu semacam "ketertutupan" supaya bisa fokus terhadap apa yang diyakininya masing-masing. Bahkan sikap terlampau toleran kerapkali jatuh pada pembenaran atas keengganan untuk mendalami keyakinan sendiri dan malah menjadi oportunisme sempit: soal keimanan menjadi tidak penting, yang penting "kebersamaan". 

Hal yang-penting-"kebersamaan" ini juga bisa dikritisi sebagai selebrasi permukaan: toleransi menjadi jargon, sesuatu yang dibesar-besarkan seperti slogan politik. Toleransi menjadi pertunjukkan kekuatan sebagaimana halnya parade militer, semacam kampanye penuh kemeriahan padahal mengandung sisi yang berbahaya: keinginan untuk menghancurkan si intoleran. Hal yang lebih buruk adalah apa yang dimaksud intoleran ini definisinya tidak jelas. Siapa si intoleran itu jadinya hanya diukur berdasarkan barometernya si paling toleran: ia yang berbeda dengan kami, itulah si intoleran. 

Maka itu ketimbang kian sinis memandang jargon toleransi, lebih baik sama sekali tidak menjadikannya jargon atau bahan kampanye. Saat hal-hal tentang toleransi itu diterima dalam pikiran, seketika itu juga dicerna melalui tindakan. Toleransi hanyalah menjadi toleransi saat dipraktikkan, saat berhenti diperkatakan, melainkan mewujud dalam perbuatan. Mari diam saja tentang toleransi, dan bertindaklah yang toleran, tanpa perlu dirayakan.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1