Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Penuh Waktu di Kelas Isolasi


Mengelola Kelas Isolasi semestinya adalah semacam hobi, hal yang dikerjakan di waktu-waktu luang alias di luar jam kerja (meski saya tidak punya pemisahan yang tegas tentang mana jam kerja dan mana non jam kerja). Namun terutama sejak kehadiran para relawan mulai sebulan lalu, mengurusi Kelas Isolasi menjadi hal yang mesti dikerjakan penuh waktu. Mengapa demikian? Bukankah keberadaan 32 relawan yang membantu Kelas Isolasi membuat kami bisa lebih santai-santai? Ternyata sebaliknya, perhatian yang lebih besar justru dibutuhkan akibat lebih banyaknya konten yang diproduksi. 

Konten-konten yang diproduksi tersebut tidak semuanya bisa langsung diposting, melainkan mesti dibaca kembali, direvisi tipis-tipis, bahkan dalam beberapa kasus, harus dirombak habis-habisan. Konten yang melimpah juga membuat kami mesti mengatur jadwal supaya frekuensi kemunculannya menjadi rapi sekaligus estetik. Hal-hal demikian, mau tidak mau, memerlukan semacam sistem, supaya segalanya agak-agak otomatis dan tidak terganggu oleh kondisi-kondisi eksternal (maksudnya, meskipun kami sedang tidak mood, postingan tersebut akan terbit dengan sendirinya karena telah terjadwal). 

Memasuki tahun ketiga Kelas Isolasi, yang kami sendiri tidak mengira akan berkiprah sejauh ini, banyak hal yang mesti dibenahi, termasuk program dan konten yang lebih sering dan tentu saja, kian bermutu. Mengapa demikian? Bukankah lebih enak jika semuanya seperti awal pendiriannya: santai dan tanpa beban? Hal demikian pada dasarnya merupakan pilihan saja. Tentu saja kami bisa-bisa saja untuk mengerjakan semuanya "sesuai mood" atau tergantung "musim", tetapi di sisi lain, kami juga bisa membayangkan Kelas Isolasi yang lebih "melembaga", memiliki sistem, dan hal tersebut, secara tidak langsung, membantah stereotip terhadap orang-orang filsafat yang umumnya dianggap "semaunya", "cuma asyik sendiri", dan "cuma bisa berteori tapi buruk dalam implementasi". 

Memang jadinya memilih pilihan terakhir akan membuat Kelas Isolasi terkesan tak sejalan dengan prinsip yang saya seringkali kritik yakni motivasi. Kelas Isolasi menjadi terlampau bersemangat untuk mengejar sesuatu yang besar, yang ideal, dan berupaya mencapainya dengan ambisius. Ada benarnya, tetapi ada kelirunya: Kelas Isolasi dibangun oleh gairah kami sendiri, kecintaan kami terhadap filsafat, hal yang tumbuh dari keinginan pribadi, yang mudah-mudahan, bukan berlandaskan kesadaran palsu, bukan karena terpaksa karena tiada jalan lain. Kami semua kelihatannya selalu punya pilihan untuk lebih banyak mengerjakan hal lain, yang lebih berduit, yang lebih punya jalan menuju kesuksesan material, tetapi rasa-rasanya, hampir semua dari kami memilih untuk ikut merawat Kelas Isolasi, yang dananya belum jelas, yang segalanya serba swadaya, yang entah akan menjanjikan suatu kejayaan atau malah bubar di tengah jalan. 

Dengan demikian, apa yang dikerjakan di Kelas Isolasi masihlah memiliki unsur demotivasi, karena kami bersemangat, bergairah, untuk hal-hal yang bukan disuntikkan oleh aspek eksternal sebagai cita-cita palsu tentang kesuksesan. Dalam Kelas Isolasi, tidak ada hal-hal jauh yang disiapkan, karena memang kami tidak tahu apakah ada atau tidak hal-hal jauh (yang menggiurkan) itu. Hal yang lebih penting adalah kami mencintai apa yang disebut filsafat itu, dan kami mengerjakan sebisa-bisa untuk mewujudkan kecintaan tersebut. 

Memang terdengar romantis, tapi lama-lama apalah arti justifikasi semacam itu. Setidaknya sekarang ini kami punya sesuatu untuk dirawat dan ditumbuhkan, karena tidakkah hal demikian yang menjadi salah satu keindahan dari hidup di dunia? Di surga, konon segalanya bisa diperoleh tanpa berusaha, sehingga alih-alih menyenangkan, saya membayangkan surga sebagai proyek yang membosankan.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k