Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Mengkreasi - Dikreasi



Pendapat bahwa yang membuat sesuatu adalah sekaligus pengendalinya adalah hal yang bagi saya sudah usang. Pembuat memang serba mengetahui seluk beluk tentang apa yang dibuatnya hingga sampai tahap menjadinya, tetapi ia bisa jadi tidak mampu mengantisipasi apa-apa yang terjadi sesudahnya atau katakanlah, pada tahap pasca-eksistensinya. 

Bersama teman-teman pada sekitar tahun 2004, kami pernah menginisiasi komunitas musik klasik bernama KlabKlassik. Iya kami membuat rencana tentang mesti seperti apa KlabKlassik ke depannya, tetapi hal yang lebih sering terjadi adalah sebaliknya: rencana kami disetir oleh "makhluk" yang kami ciptakan sendiri. KlabKlassik mungkin pernah berkembang dalam arti tertentu, tetapi hal yang kerap terjadi adalah kami yang dibuat berkembang oleh KlabKlassik. Kami belajar dari apa yang kami inisiasi sendiri. 

Belakangan hal yang sama terjadi saat kami membentuk Kelas Isolasi pada tahun 2020. Saya tidak tahu akan seperti apa Kelas Isolasi ke depannya dan waktu itu Nino dan saya tidak punya bayangan yang terlalu jauh tentang masa depan kami. Bahkan saat kami mengkreasi "makhluk" ini, kami hanya bermodalkan keberanian saja plus pengetahuan filsafat yang bisa dikatakan pas-pasan. Namun seiring berjalannya waktu, Kelas Isolasi ternyata tidak bubar-bubar dan malah dapat dikatakan terus berkembang: kami menjadi dipaksa olehnya untuk memperdalam filsafat secara lebih intens. Ini bukan perumpaan yang dibuat-buat, tapi benar bahwa kami menjadi dikendalikan oleh Kelas Isolasi. Hidup kami dikendalikan oleh Kelas Isolasi. 

Sekarang saya paham kenapa pernyataan bahwa teknologi itu tergantung dari orang yang menggunakannya adalah pernyataan yang sudah tidak laku. Pernyataan antroposentris tersebut mengandaikan bahwa segala-galanya selalu dalam pengaruh pikiran dan kesadaran kita. Seolah-olah pikiran dan kesadaran ini mampu mengontrol dan memprediksi apapun. Dalam arti tertentu boleh saja kita optimis akan kemampuan daya pikir kita sendiri, tetapi kenyataannya tidak pernah sesederhana itu. Saya memiliki ponsel, tapi sekaligus ponsel itu memiliki saya; saya membuat kurikulum untuk mengajar di kelas, tetapi kurikulum itu kemudian yang menata jadwal dan kegiatan saya; saya menciptakan teknologi untuk menyelesaikan masalah lingkungan, tapi teknologi itu membuat masalah lain yang tidak sempat saya pikirkan. Pada pokoknya, saya bisa menghasilkan banyak hal sebagai produk dari pikiran saya, tapi produk tersebut kemudian yang "memproduksi saya". 

Dengan demikian, dalam arti motivasional (juga sekaligus demotivasional), proses kreasi bukanlah proses yang dalam sendirinya sudah final. Kita selalu menciptakan embrio yang pertumbuhannya selalu punya dua sisi: sisi yang bisa kita antisipasi dan sisi yang tidak bisa kita antisipasi. Entah pada akhirnya dia akan mati bahkan sebelum menjadi dewasa, jangan lupa, ia setidaknya pernah membuat kita berpikir tentangnya, ia pernah mengajari kita sesuatu tentang kematian yang terlalu cepat. 

Saya kira begitulah Tuhan saat mengkreasi. Ia punya sisi tahu dan sisi tidak tahu. Tapi Ia tahu sesuatu yang pasti: bahwa Ia mencipta dalam rangka untuk terus menjadi. Bahwa lewat ciptaan-Nya Ia sedang bertumbuh bersama ciptaan-Nya, supaya Ia sendiri bisa terus relevan bersama peradaban.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me