Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Terlalu Berduka Sehingga Sukar untuk Menuliskannya

Sebulan lalu, Papap wafat. Hanya tepat beberapa jam setelah saya menuliskan tulisan berjudul Selisih. Entah pertanda atau bukan, tapi saya menuliskan Selisih dalam keadaan galau, seperti membayangkan kematian dan imajinasi historis yang timbul daripadanya. Peran Papap bagi saya terlalu mendalam, sehingga menuliskan hal-hal seperti ini sangat saya hindari supaya tidak terlampau baper, membuat hari-hari menjadi gloomy. Namun rasanya perlu dituliskan juga, supaya berjarak, supaya renungan-renungan tentang Papap menjadi teks, menjadi suatu monumen yang bisa saya baca lagi, orang lain juga baca, dan menjadi perasaan yang mungkin relate bagi lebih banyak orang. 

Supaya tidak terlalu sedih, untuk sementara ini saya hanya akan menuliskan bagian pengalaman saya bersama Papap saat awal-awal belajar filsafat. Waktu itu sekitar tahun 2006 atau 2007, saya mulai rajin mengikuti kelas Extension Course Filsafat UNPAR yang sering diisi oleh Prof. Bambang Sugiharto. Setiap pulang dari sesi kelas yang diadakan setiap Jumat itu, saya selalu berlari menemui Papap, menceritakan apa-apa saja yang baru dipelajari. Papap waktu itu menanggapi sambil tiduran saja depan televisi, setengah sadar mungkin ya, sembari semacam "menetralisir" pemahaman saya yang mungkin masih prematur. Segala pendapat yang aneh-aneh, termasuk tentang Tuhan, agama, tidak membuat beliau melarang saya belajar filsafat. Bahkan Papap mendukung dan membiayai saya dalam mengikuti kelas tersebut. 

Dalam hal itu, Papap memang unik. Saat mulai muncul pertanyaan-pertanyaan dalam diri saya tentang Tuhan dan agama, Papap malah terlihat girang dan menyuruh saya mendalami filsafat. Tidak seperti Mamah yang tampak khawatir, Papap justru seolah menanti-nanti anaknya punya pertanyaan semacam ini. Juga bukannya distop atau disuruh hati-hati, saya malah disuruh tancap gas untuk bertanya-tanya sekalian hingga mentok. Seolah-olah Papap menaati kata-kata Kierkegaard, bahwa nalar harus dipakai hingga ujung supaya tahu keterbatasannya. Papap mengajak saya melakukan itu, dengan segala risiko, dengan kekhawatiran Mamah yang takut anaknya tidak sholat dan tidak lagi mendoakan kedua orang tua. 

Setelah direnung-renungkan, cara Papap yang seperti itulah yang membuat saya menghayati arti filsafat sebagai sebuah penyengat. Papap senang saat nalar kritis saya mulai berdenyut, begitupun cara saya melihat murid-murid atau orang yang pikiran kritisnya mulai berdenyut. Saya akan dengan senang hati mengajaknya bicara, memfasilitasi kegundahannya, dan menjaganya agar selalu dalam tegangan: jangan terlalu semangat, juga jangan sampai patah semangat. Mereka yang baru punya ketertarikan tipis-tipis harus digas sampe mentok, sementara yang terlampau kritis mesti agak diredam untuk ditunjukkan bahwa "filsafat gak usah segitunya". 

Hal demikian yang menjadi modal bagi saya untuk menulis buku tentang mengajarkan filsafat bagi anak-anak. Papap lah inspirasinya, yang membuat saya merasa bahwa beliau adalah model yang ideal tentang bagaimana harusnya orang tua mengajarkan anak-anaknya dalam berpikir kritis. Papap tidak bisa dikatakan menguasai filsafat sebagai sebuah disiplin, tetapi cara berpikirnya sudah sedemikian filosofis dan mendalam, sehingga mampu untuk mengatasi beragam pertanyaan khas filsafat sampai yang tersulit sekalipun. Beliau hanya tidak mengacu pada nama-nama filsuf dan istilah teknis filsafat saja, sisanya pada pokoknya Papap paham dengan problem-problem filosofis. Itu juga yang saya tulis dalam Seni Berfilsafat Bersama Anak, supaya fasilitator tidak perlu menyebut nama-nama filsuf dan istilah teknis filsafat, tetapi langsung pada problem yang bisa diajukan untuk ditanggapi anak-anak. 

Saya masih terlalu berduka untuk menuliskan lebih banyak. Saya masih merasa-rasa: dimana sekarang Papap sebenarnya? Apa dia ada di sebuah tempat dengan segenap kesadaran, atau melebur bersama tawa dan tangis kita di sini?



Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me