Skip to main content

Pembebasan

Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya?  Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.

Terlalu Berduka Sehingga Sukar untuk Menuliskannya

Sebulan lalu, Papap wafat. Hanya tepat beberapa jam setelah saya menuliskan tulisan berjudul Selisih. Entah pertanda atau bukan, tapi saya menuliskan Selisih dalam keadaan galau, seperti membayangkan kematian dan imajinasi historis yang timbul daripadanya. Peran Papap bagi saya terlalu mendalam, sehingga menuliskan hal-hal seperti ini sangat saya hindari supaya tidak terlampau baper, membuat hari-hari menjadi gloomy. Namun rasanya perlu dituliskan juga, supaya berjarak, supaya renungan-renungan tentang Papap menjadi teks, menjadi suatu monumen yang bisa saya baca lagi, orang lain juga baca, dan menjadi perasaan yang mungkin relate bagi lebih banyak orang. 

Supaya tidak terlalu sedih, untuk sementara ini saya hanya akan menuliskan bagian pengalaman saya bersama Papap saat awal-awal belajar filsafat. Waktu itu sekitar tahun 2006 atau 2007, saya mulai rajin mengikuti kelas Extension Course Filsafat UNPAR yang sering diisi oleh Prof. Bambang Sugiharto. Setiap pulang dari sesi kelas yang diadakan setiap Jumat itu, saya selalu berlari menemui Papap, menceritakan apa-apa saja yang baru dipelajari. Papap waktu itu menanggapi sambil tiduran saja depan televisi, setengah sadar mungkin ya, sembari semacam "menetralisir" pemahaman saya yang mungkin masih prematur. Segala pendapat yang aneh-aneh, termasuk tentang Tuhan, agama, tidak membuat beliau melarang saya belajar filsafat. Bahkan Papap mendukung dan membiayai saya dalam mengikuti kelas tersebut. 

Dalam hal itu, Papap memang unik. Saat mulai muncul pertanyaan-pertanyaan dalam diri saya tentang Tuhan dan agama, Papap malah terlihat girang dan menyuruh saya mendalami filsafat. Tidak seperti Mamah yang tampak khawatir, Papap justru seolah menanti-nanti anaknya punya pertanyaan semacam ini. Juga bukannya distop atau disuruh hati-hati, saya malah disuruh tancap gas untuk bertanya-tanya sekalian hingga mentok. Seolah-olah Papap menaati kata-kata Kierkegaard, bahwa nalar harus dipakai hingga ujung supaya tahu keterbatasannya. Papap mengajak saya melakukan itu, dengan segala risiko, dengan kekhawatiran Mamah yang takut anaknya tidak sholat dan tidak lagi mendoakan kedua orang tua. 

Setelah direnung-renungkan, cara Papap yang seperti itulah yang membuat saya menghayati arti filsafat sebagai sebuah penyengat. Papap senang saat nalar kritis saya mulai berdenyut, begitupun cara saya melihat murid-murid atau orang yang pikiran kritisnya mulai berdenyut. Saya akan dengan senang hati mengajaknya bicara, memfasilitasi kegundahannya, dan menjaganya agar selalu dalam tegangan: jangan terlalu semangat, juga jangan sampai patah semangat. Mereka yang baru punya ketertarikan tipis-tipis harus digas sampe mentok, sementara yang terlampau kritis mesti agak diredam untuk ditunjukkan bahwa "filsafat gak usah segitunya". 

Hal demikian yang menjadi modal bagi saya untuk menulis buku tentang mengajarkan filsafat bagi anak-anak. Papap lah inspirasinya, yang membuat saya merasa bahwa beliau adalah model yang ideal tentang bagaimana harusnya orang tua mengajarkan anak-anaknya dalam berpikir kritis. Papap tidak bisa dikatakan menguasai filsafat sebagai sebuah disiplin, tetapi cara berpikirnya sudah sedemikian filosofis dan mendalam, sehingga mampu untuk mengatasi beragam pertanyaan khas filsafat sampai yang tersulit sekalipun. Beliau hanya tidak mengacu pada nama-nama filsuf dan istilah teknis filsafat saja, sisanya pada pokoknya Papap paham dengan problem-problem filosofis. Itu juga yang saya tulis dalam Seni Berfilsafat Bersama Anak, supaya fasilitator tidak perlu menyebut nama-nama filsuf dan istilah teknis filsafat, tetapi langsung pada problem yang bisa diajukan untuk ditanggapi anak-anak. 

Saya masih terlalu berduka untuk menuliskan lebih banyak. Saya masih merasa-rasa: dimana sekarang Papap sebenarnya? Apa dia ada di sebuah tempat dengan segenap kesadaran, atau melebur bersama tawa dan tangis kita di sini?



Comments

Popular posts from this blog

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1