Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Tentang Guru


Beberapa minggu lalu, saya memoderatori sebuah diskusi di UPI dengan Guru Gembul sebagai salah satu pembicaranya. Dalam forum tersebut, Guru Gembul mengritik guru di Indonesia sebagai kurang kompeten. Saya agak kurang ingat persisnya kritik tersebut seperti apa, yang pasti besok atau lusanya viral dimana-mana dan menimbulkan kemarahan sejumlah guru sampai-sampai Guru Gembul disomasi. Selang beberapa hari kemudian, diadakan semacam diskusi (lebih tepatnya debat) antara Guru Gembul dan empat orang lain yang kelihatannya semuanya adalah guru-guru. Diskusi ini dapat ditonton via YouTube. 

Sebelum mengomentari muatan debatnya, saya terlebih dahulu mengritik posisi duduknya yang begitu buruk. Dalam debat, tidak mungkin orang didudukkan secara sejajar dan berdekatan. Edward T. Hall sudah lama memikirkan ini, bahwa jarak fisik dan komunikasi adalah saling berkaitan. Tidak mungkin kita bisa berjarak sangat intim dengan orang yang kita benci. Sebaliknya, pada orang yang kita rindukan, kita tidak mungkin hanya mau menatapnya dari kejauhan (kecuali memang dipisahkan oleh faktor lain). Artinya, secara layout pun acara ini sudah keliru. 

Isinya ternyata sama buruknya. Saya menonton sebagian besar dan menyimpulkan bahwa guru-guru ini, yang marah-marah pada Guru Gembul, rata-rata tidak punya alasan yang cukup kokoh dalam membantah pernyatan Guru Gembul. Sebagai contoh, salah satu guru, yang paling vokal, dan kelihatannya yang paling tua, beralasan bahwa pernyataan Guru Gembul tentang inkompetensi guru tersebut mengganggu usaha dia yang sedang mempromosikan guru-guru supaya aktif terlibat dalam politik praktis dan menjadi caleg. Artinya, tuduhan tidak kompeten terhadap guru akan menimbulkan ketidakpercayaan publik pada guru-guru yang sedang mencalonkan diri. 

Selain itu, si guru itu juga mengemukakan bagaimana kritik Guru Gembul terhadap guru harusnya tidak berlaku untuk semua guru, melainkan pada sebagian guru saja. Hal ini ditekankan karena ia tidak termasuk pada kategori guru yang dikritik Guru Gembul. Misalnya, Guru Gembul mengkritik guru itu gajinya kecil, sementara si guru tua mengatakan gajinya sendiri besar. Lalu pada guru lain, yang paling kanan, yang katanya mengajukan somasi, diberikan alasan bahwa guru adalah profesi sakral. Setelah itu bisa ditebak, khotbah moral bertebaran dari mulutnya. 

Tidak perlu analisis berlebihan untuk mengatakan bahwa debat tersebut kurang bermutu, karena yang dibela pada akhirnya bukan perkara profesi guru semata-mata, melainkan pada predikat guru yang melekat pada ego lawan debat Guru Gembul. Si guru tua itu mungkin ada benarnya bahwa tidak semua guru punya masalah yang dituduhkan oleh guru gembul. Namun apa poin dari kritik jika cuma menyasar sebagian anggota kelas? Justru problemnya terletak pada siapa yang "oknum" dan siapa yang bukan. Jangan-jangan si guru tua itulah "oknum"-nya, populasi kecil yang justru bergaji besar dan punya kekuasaan. Sementara kategori "guru" yang disasar Guru Gembul adalah hampir seluruh, yang mungkin bisa merepresentasikan "ke-guru-an". 

Filsafat terbiasa mengkritik konsep-konsep besar seperti sains, filsafat, agama, sejarah, peradaban, politik, masyarakat, dan banyak lagi, yang justru membedakan dirinya dari penelitian saintifik yang memerlukan data-data lebih terperinci. Kemampuan filsafat justru terletak pada kapasitasnya dalam melakukan "ekstraksi" dari kumpulan realitas, sehingga dapat menunjuk hal yang lebih mendasar, lebih abstrak, ketimbang penampakan yang tak stabil. Hal ini sudah dijelaskan panjang lebar sebagai pembelaan Romo Magnis dalam buku Filsafat Jawa yang mengacu pada pendapat Weber. 

Bahwa jelas yang dimaksud "Orang Jawa" ini beraneka ragam, ada yang tinggal di perkotaan, ada yang di pedesaan, ada yang beraliran Kejawen, ada yang Kristen, Islam, dan sebagainya. Tetapi menjadi suatu keharusan untuk menunjuk "Orang Jawa", setidaknya sebagai suatu permulaan (dengan berhati-hati tentunya), supaya kemudian menjadi titik pijak untuk melakukan kritik-kritik lanjutan, atau mungkin dalam bahasa Popperian disebut falsifikasi. Betul, kritik balasan adalah poin yang lebih sehat dan dialektis, ketimbang mengajukan somasi yang jelas menunjukkan kelemahan berpikir dari para pendebat Guru Gembul. 

Alangkah lemahnya filsafat, jika terlampau eksistensialis dengan hanya berbicara "Filsafat Jawa Islam Perkotaan" misalnya. Justru dalam sejarah, filsafat ampuh karena mampu mengabstraksi realitas yang berantakan, dan menunjuk problem-problem di dalam abstraksinya itu. Hegel mengkritik sejarah dengan bombastis, Kant melakukan penilaian cermat terhadap akal budi, Marx melakukan perhitungan teliti terhadap kapitalisme. Detail-detailnya, kasus per kasusnya, bukan urusan mereka, biar itu jadi mainan keilmuan lain saja yang lebih fetish terhadap hal-hal spesifik. Guru Gembul memang tidak mengklaim dirinya telah melakukan kritik secara filsafat, tetapi saya paham poinnya, bahwa ia justru mengritik "guru" sebagai sebuah profesi, yang problemnya begitu sistemik dan bukan diselesaikan oleh masalah orang per orang seperti cara si guru tua itu. 

Hal lain yang bisa direnungkan adalah soal guru sebagai "jabatan moral". Sebegitu sakralkah guru itu, sebagaimana diungkapkan oleh orang-di-paling-kanan, sampai-sampai kelihatannya tidak bisa dikritik? Saya bisa katakan bahwa semua orang bisa jadi guru, jika guru diartikan sebagai orang yang bisa mengajarkan sesuatu. Memang tidak semua orang bisa mendidik, yang diartikan sebagai mengajarkan sesuatu sesuai dengan moral masyarakat (apa itu moral masyarakat juga tidak jelas). Namun mengajar atau mendidik, tidak benar-benar suatu kompetensi yang spesifik. Sama halnya ketika lulusan S2 mengajar mahasiswa S1, lulusan S3 mengajar mahasiswa S2, semua itu terjadi karena ada kelebihan ilmu saja secara administratif dari S2 pada S1, dan dari S3 pada S2. 

Kemudian sering kita dengar juga perkara "panggilan", bahwa menjadi guru adalah suatu desakan moral yang muncul dari dalam. Dengan alasan tersebut, justru semakin kuatlah bahwa guru bukanlah suatu kompetensi. Seorang akademisi keguruan bisa belajar beraneka ilmu pedagogi, tetapi mereka belum tentu bisa jadi Guru (dengan G besar). Sama halnya dengan orang bisa belajar ilmu filsafat dari Thales hingga Derrida, tetapi mereka belum tentu bisa menjadi Filsuf (dengan F besar). Soal "panggilan" ini malah menempatkan siapapun menjadi eksklusif, padahal tujuan pendidikan justru untuk menyamaratakan, membubarkan pendapat bahwa orang bisa memiliki keahlian karena mendapat semacam "wahyu kenabian". 

Artinya, argumen guru-guru konyol ini tidak ada yang mumpuni karena pertama, kritik Guru Gembul terhadap "guru" sebagai sebuah konsep abstrak tidak bisa diatasi dengan hanya mengacu pada kasus orang per orang. Alasannya, orang per orang tersebut malah justru menjadi bagian minor, atau "oknum" dari guru. Kedua, mengatakan bahwa guru adalah sakral sehingga tidak bisa dikritik dan mengekslusifkan diri dengan mengatakan "tidak semua orang bisa menjadi guru" justru kian menunjukkan kegagalan sistem yang menghasilkan guru kompeten. Guru menempatkan dirinya seolah-olah "orang suci" yang "tidak semua orang bisa mencapainya". Pada titik ini, kritik Guru Gembul terhadap kompetensi guru ditanggapi dengan sepenuhnya salah alamat. Hal yang terjadi justru pertunjukkan kebodohan para guru, yang hanya bermodal "lebih lama hidup dan belajar", tanpa punya kemampuan spesial.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me