Skip to main content

Kesendirian

Meski aku sering kemana-mana sendiri, konsep kesendirian bukanlah hal yang akrab denganku. Maksudnya, dalam kesendirian, aku selalu terdistraksi, untuk nge- scroll Twitter, cari teman ngobrol di Whatsapp, atau apa sajalah yang penting jangan sampai jatuh pada kesunyian, jangan sampai sendiri banget . Tentu saja, seorang pengkaji filsafat harus punya waktu-waktu sendiri, untuk membaca teks secara intens, untuk berefleksi, aku butuh itu, tetapi sekali lagi, konsepnya bukan dalam kesendirian, tetapi lebih tepatnya: dalam sebuah lingkungan yang aku nyaman di dalamnya. Aku mesti membangun sekelilingku dulu, enjoy dengan itu, baru aku bisa menulis dan membaca dengan khidmat.    Apa bedanya konsep semacam itu dengan kesendirian? Beda. Kesendirian adalah kenyamanan akan diri, dalam diri, tanpa perlu sibuk menyiapkan lingkungan eksternal. Kesendirian adalah buah dari pergulatan batin yang sibuk, untuk kemudian tak lagi menganggap lingkungan eksternal sebagai sesuatu yang krusial, karena kit

Sesuatu di Yogya



Pada tanggal 30 Mei lalu, saya berangkat ke Yogya untuk memenuhi ajakan penerbit Edisi Mori. Ajakan tersebut adalah berupa bedah buku karya Muhammad al-Fayyadl berjudul Derridean. Perjalanan ini begitu istimewa karena forum ini diisi oleh, selain Gus Fayyadl tentunya, Martin Suryajaya dan Hizkia Yosie Polimpung. Ketiga pembicara tersebut adalah pembicara top yang mungkin terbaik di generasinya. Saya senang bisa "nyempil" di tengah-tengah mereka, meski sadar bahwa saya tidak bisa dikatakan pantas karena baik Gus Fayyadl, Bung Martin, dan Bung Yosie, ketiganya sudah jauh lebih lama menekuni filsafat dan bergulat dalam perdebatan-perdebatannya. Mungkin di masa-masa saya masih menekuni musik dan sepakbola, mereka sudah duluan berkutat dengan teks-teks filsafat yang rumit-rumit. 

Acara yang diadakan di Langgeng Art Foundation tersebut berjalan lancar dengan jumlah peserta yang banyak, terutama jika dibandingkan dengan umumnya peserta diskusi di Bandung. Mungkin ada seratusan orang yang datang dan mereka rasa-rasanya menyimak dengan antusias. Saya tidak perlu menceritakan jalannya diskusi karena rekamannya bisa ditonton di Instagram @edisimori. Hal yang saya rasa perlu diceritakan di sini adalah kesan tentang suasana diskusi di Yogya yang entah kenapa, begitu hidup. Selain bedah buku Derridean tersebut, saya mengikuti beberapa diskusi lainnya yaitu bedah buku Penyair Sebagai Mesin-nya Bung Martin di Kedai JBS, launching buku Seni Berfilsafat Bersama Anak di Bawabuku dan diskusi tentang demotivasi di Theotrapi. Tidak ada diantara diskusi-diskusi tersebut yang bisa dikatakan sepi. Orang-orang berdatangan dan tidak hanya datang, mereka juga mengajukan pertanyaan yang sulit-sulit. 

Diantara rangkaian diskusi tersebut juga saya berkesempatan mengunjungi Buku Akik, toko buku paling hits di Yogya yang bisa dibilang sudah menjadi objek wisata. Kami datang bukan di jam-jam biasa, melainkan pukul 12 malam! Bung Martin dan saya kemudian melakukan book signing sekitar jam 2.30 pagi, yang menurut Mas Tomi, pemiliknya, adalah waktu paling larut dalam sejarah penandatangan buku di Buku Akik. Sebelumnya, kami juga mengunjungi Fakultas Filsafat UGM dan bertemu banyak orang di sana, baik mahasiswa maupun dosen. Intinya, kami selalu bertemu banyak orang dan jika tidak pintar-pintar mencari alasan, bisa jadi kami nongkrong selama hampir non-stop! 

Selama di sana, saya menginap di "Wisma Cantrik", sebutan bagi kantor Cantrik Pustaka, penerbit yang menerbitkan buku Seni Berfilsafat Bersama Anak. Tidak hanya saya diperbolehkan untuk menginap di kantor mereka, saya juga dijamu dan dikenalkan dengan sejumlah jaringan perbukuan di Yogya. Bahkan oleh Mas Farisi saya diperkenalkan dengan rokok Gajah Baru yang rasanya seperti garpit dengan harga lebih murah. Oh ya, Mas Farisi ini adalah salah satu punggawa Cantrik yang baik sekali. Ia menemani saya sepanjang di sana, mengantar sambil foto-foto, plus cerita tentang kehidupan pesantren. Selain Mas Farisi, ada juga Mas Mawai, Mas Naufil, dan Bung Taufiq, yang semuanya membuat saya punya kesan manis tentang Yogya. Memang begitulah adanya: kesan atas sebuah tempat tergantung pada dengan siapa kita bertemu di sana. 

Satu hal yang saya renungkan adalah perkara habitat. Entah bagaimana, saya merasa disambut lebih banyak orang saat di Yogya, bahkan ketimbang di Bandung sendiri, kota tempat saya lahir dan besar selama lebih dari tiga puluh tahun. Saya teringat bagaimana Sixto Rodriguez, seorang musisi yang pernah menelurkan album di tahun 70-an, tidak diterima sama sekali di negerinya sendiri dan salah satu albumnya bahkan cuma terjual empat keping! Namun berpuluh tahun kemudian ia baru tahu bahwa di Afrika Selatan, ternyata banyak orang menggemari karya-karyanya. Sebagaimana bibit tertentu yang bisa tumbuh dalam kondisi tanah tertentu, mungkin demikian juga hidup manusia dan habitatnya.

Comments

Popular posts from this blog

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1