Skip to main content

Kesendirian

Meski aku sering kemana-mana sendiri, konsep kesendirian bukanlah hal yang akrab denganku. Maksudnya, dalam kesendirian, aku selalu terdistraksi, untuk nge- scroll Twitter, cari teman ngobrol di Whatsapp, atau apa sajalah yang penting jangan sampai jatuh pada kesunyian, jangan sampai sendiri banget . Tentu saja, seorang pengkaji filsafat harus punya waktu-waktu sendiri, untuk membaca teks secara intens, untuk berefleksi, aku butuh itu, tetapi sekali lagi, konsepnya bukan dalam kesendirian, tetapi lebih tepatnya: dalam sebuah lingkungan yang aku nyaman di dalamnya. Aku mesti membangun sekelilingku dulu, enjoy dengan itu, baru aku bisa menulis dan membaca dengan khidmat.    Apa bedanya konsep semacam itu dengan kesendirian? Beda. Kesendirian adalah kenyamanan akan diri, dalam diri, tanpa perlu sibuk menyiapkan lingkungan eksternal. Kesendirian adalah buah dari pergulatan batin yang sibuk, untuk kemudian tak lagi menganggap lingkungan eksternal sebagai sesuatu yang krusial, karena kit

Reuni


Beberapa waktu lalu, di grup WA sekolah saya dulu (entah SMP entah SMA atau bisa jadi keduanya), muncul ajakan untuk reuni. Tentu saja saya tidak tertarik menghadirinya. Dan ternyata benar, dari foto pasca reuni, yang datang ya itu lagi-itu lagi: mereka yang mungkin tidak kesulitan untuk memasuki ring pergaulan mainstream pada masa sekolah. Namun kita tahu tidak semua orang bisa seperti itu. Ada orang-orang yang sepanjang sekolah begitu tertutup sehingga sukar sekali bergaul. Bahkan beberapa diantaranya menjadi korban perundungan. Bagi mereka, reuni yang sifatnya besar-besaran bisa jadi merupakan mimpi buruk, semacam panggilan atas kenangan lama yang tidak mau diingat-ingat lagi. 

Tentu saja orang-orang tereksklusi ini bisa jadi melakukan reuni, tetapi antar mereka sendiri. Bagi mereka yang melabeli diri sebagai outcast atau "orang-orang buangan", undangan "reuni akbar" bisa jadi tidak pernah terdengar benar-benar "akbar", karena yang terjadi adalah "reuni para pemenang", "reuni pergaulan mainstream" atau malah sebutan yang lebih buruk: "reuni para perundung". Jadi, apa motif reuni akbar jika tidak pernah benar-benar akbar? Bisa jadi hanya mengulang perasaan pernah berkuasa antara orang yang itu-itu juga. Lucunya, saat obrolan-obrolan mulai awkward(karena memang beberapa sudah tidak nyambung), mereka mulai mempraktikkan kekuasaan lamanya: berlaku sok kuasa, mengingat-ingat ejekan lama terhadap para outcast. Dengan kecenderungan semacam itu, para outcast mana mau hadir dalam reuni akbar? 

Mungkin terdengar menyulitkan, tetapi bisakah acara reuni akbar tidak berhenti pada sekadar hura-hura? Nostalgia memang menyenangkan, tetapi bagi orang-orang yang melalui masa sekolah dengan pergaulan yang buruk, bisa jadi tidak banyak hal yang ingin diingat-ingat. Maksudnya, bisakah acara reuni akbar juga memiliki misi rekonsiliasi? Semacam acara maaf-maafan satu sama lain, tetapi diadakan serius dan mendalam, bukan selebrasi seperti halnya halal bi halal. Jika demikian adanya, reuni akbar bisa lebih bermakna, karena siapa tahu: ada orang-orang yang begitu membenci masa lalunya akibat kesulitan bergaul, dan membawa luka tersebut hingga dewasa. Memang semuanya sudah telanjur, tetapi sebuah permaafan tidak pernah terlambat. Setidaknya kenangan tentangnya tidak lagi terlalu menyakitkan, karena si pelaku atau siapapun itu, telah menyadari kekeliruannya di masa lampau. 

Maka konsep reuni atau "bersatu kembali" juga adalah konsep yang unik. Bagi sebagian orang, lebih indah jika membayangkan surga sebagai reuni dengan orang-orang yang disayang, ketimbang bergaul dengan bidadari-bidadari yang baru dikenal. Bahkan pertemuan dengan Tuhan bisa jadi dibayangkan sebagai reuni: bahwa kita pernah berjumpa dengan-Nya, lalu berjumpa kembali, seperti nostalgia dengan "sahabat lama". Begitupun saat ada saudara atau teman dekat meninggal, kita kerap mengucap: sampai jumpa lagi. Ungkapan tersebut adalah keyakinan akan terjadinya sebuah reuni. 

Maka reuni adalah semacam kepulangan. Reuni adalah pergi menuju masa lalu. Saat saya mengatakan: saya pulang. Saya sebenarnya sedang mengatakan: saya kembali pada mereka yang menerima saya. Maka itu juga konsep reuni mesti diperbaiki dari pengertian filosofisnya: ia harus menjadi tempat orang-orang diterima, dan juga disayang.

Comments

Popular posts from this blog

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1