Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Reuni


Beberapa waktu lalu, di grup WA sekolah saya dulu (entah SMP entah SMA atau bisa jadi keduanya), muncul ajakan untuk reuni. Tentu saja saya tidak tertarik menghadirinya. Dan ternyata benar, dari foto pasca reuni, yang datang ya itu lagi-itu lagi: mereka yang mungkin tidak kesulitan untuk memasuki ring pergaulan mainstream pada masa sekolah. Namun kita tahu tidak semua orang bisa seperti itu. Ada orang-orang yang sepanjang sekolah begitu tertutup sehingga sukar sekali bergaul. Bahkan beberapa diantaranya menjadi korban perundungan. Bagi mereka, reuni yang sifatnya besar-besaran bisa jadi merupakan mimpi buruk, semacam panggilan atas kenangan lama yang tidak mau diingat-ingat lagi. 

Tentu saja orang-orang tereksklusi ini bisa jadi melakukan reuni, tetapi antar mereka sendiri. Bagi mereka yang melabeli diri sebagai outcast atau "orang-orang buangan", undangan "reuni akbar" bisa jadi tidak pernah terdengar benar-benar "akbar", karena yang terjadi adalah "reuni para pemenang", "reuni pergaulan mainstream" atau malah sebutan yang lebih buruk: "reuni para perundung". Jadi, apa motif reuni akbar jika tidak pernah benar-benar akbar? Bisa jadi hanya mengulang perasaan pernah berkuasa antara orang yang itu-itu juga. Lucunya, saat obrolan-obrolan mulai awkward(karena memang beberapa sudah tidak nyambung), mereka mulai mempraktikkan kekuasaan lamanya: berlaku sok kuasa, mengingat-ingat ejekan lama terhadap para outcast. Dengan kecenderungan semacam itu, para outcast mana mau hadir dalam reuni akbar? 

Mungkin terdengar menyulitkan, tetapi bisakah acara reuni akbar tidak berhenti pada sekadar hura-hura? Nostalgia memang menyenangkan, tetapi bagi orang-orang yang melalui masa sekolah dengan pergaulan yang buruk, bisa jadi tidak banyak hal yang ingin diingat-ingat. Maksudnya, bisakah acara reuni akbar juga memiliki misi rekonsiliasi? Semacam acara maaf-maafan satu sama lain, tetapi diadakan serius dan mendalam, bukan selebrasi seperti halnya halal bi halal. Jika demikian adanya, reuni akbar bisa lebih bermakna, karena siapa tahu: ada orang-orang yang begitu membenci masa lalunya akibat kesulitan bergaul, dan membawa luka tersebut hingga dewasa. Memang semuanya sudah telanjur, tetapi sebuah permaafan tidak pernah terlambat. Setidaknya kenangan tentangnya tidak lagi terlalu menyakitkan, karena si pelaku atau siapapun itu, telah menyadari kekeliruannya di masa lampau. 

Maka konsep reuni atau "bersatu kembali" juga adalah konsep yang unik. Bagi sebagian orang, lebih indah jika membayangkan surga sebagai reuni dengan orang-orang yang disayang, ketimbang bergaul dengan bidadari-bidadari yang baru dikenal. Bahkan pertemuan dengan Tuhan bisa jadi dibayangkan sebagai reuni: bahwa kita pernah berjumpa dengan-Nya, lalu berjumpa kembali, seperti nostalgia dengan "sahabat lama". Begitupun saat ada saudara atau teman dekat meninggal, kita kerap mengucap: sampai jumpa lagi. Ungkapan tersebut adalah keyakinan akan terjadinya sebuah reuni. 

Maka reuni adalah semacam kepulangan. Reuni adalah pergi menuju masa lalu. Saat saya mengatakan: saya pulang. Saya sebenarnya sedang mengatakan: saya kembali pada mereka yang menerima saya. Maka itu juga konsep reuni mesti diperbaiki dari pengertian filosofisnya: ia harus menjadi tempat orang-orang diterima, dan juga disayang.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me