Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Pertaruhan


Apakah Heidegger tahu bahwa Nazi nantinya akan melakukan kejahatan kemanusiaan? Apakah Sartre tahu bahwa Uni Soviet ujung-ujungnya akan bubar? Apakah Cioran tahu bahwa gerakan yang ia bela, Garda de Fier, membantai orang-orang Yahudi dalam perebutan kekuasaan? Bukan maksudnya memaklumi langkah-langkah mereka, tapi apakah mereka sudah tahu sejak awal bahwa pilihannya tersebut adalah pilihan historis yang keliru? 

Dosa-dosa mereka akan terus diingat dalam sejarah. Heidegger terbilang "beruntung" karena pemikirannya terlalu canggih sehingga sebagian orang tetap mempelajarinya. Mereka tahu bahwa Heidegger berdosa, tetapi memilih untuk memisahkan pemikirannya dari aktivitas politiknya. Bukan maksud membenarkan Heidegger, tetapi mumpung menjelang tahun politik, kita akan lebih mudah membayangkan hal ini: mungkin kita sedang dihadapkan pada pilihan presiden, caleg, dan partai untuk berkuasa di pemerintahan. Beberapa dari kita tidak cuma memberikan dukungan dari luar, tapi ada juga yang diajak ke dalam. Motifnya tentu beragam, ada yang memang benar-benar bersimpati, haus kekuasaan, atau sedang perlu uang. 

Dalam kondisi demikian, maka pilihan-pilihan politik tidak selalu jernih. Baik Heidegger, Sartre, atau Cioran, di masa saat terlibat gerakan-gerakan itu, sudah dikenal sebagai pemikir dan penulis jempolan. Tentu mereka diajak bicara, diberitahu soal visi misi yang pasti terdengar bagus-bagus, dan dijanjikan iming-iming yang bisa jadi besar. Hal ini tentu menggiurkan, apalagi bagi Cioran, yang pekerjaannya waktu itu cuma penulis (Sartre dan Heidegger mending, sudah jadi dosen). Coba bayangkan: Cioran lahir tahun 1910 dan Garda de Fier aktif antara tahun 1927 sampai tahun 1941. Kalaupun Cioran banyak terlibat di sekitar tahun 1930-an, maka usianya sekitar 20 atau maksimal 30 tahun. Masih tergolong muda. Mungkin ia memilih gerakan tersebut dengan naif dan tanpa pikir panjang (terbukti, Cioran di usia tuanya menyesal pernah bersimpati pada Garda de Fier). 

Sartre kelihatannya juga sukar untuk tahu yang sebenar-benarnya. Di era Perang Dingin, rasanya menjadi pilihan keren untuk menjadi intelektual yang pro Blok Timur. Sartre mencitrakan dirinya sebagai pemikir antikolonialisme dan menuding Amerika sebagai negara yang menuju "pra-fasisme". Begitu bersemangatnya Sartre, sampai-sampai Merleau-Ponty menjulukinya sebagai "ultra-Bolshewik". Sartre wafat tahun 1980 atau satu dekade sebelum Uni Soviet akhirnya bubar. Amerika "menang" Perang Dingin dan wajah dunia tidak pernah lagi ramah terhadap komunisme - sosialisme. Untung Sartre sudah meninggal, sehingga ia tidak perlu menanggung malu akibat pernah begitu aktif menangkal segala kritik bagi Uni Soviet. 

Bayangkan kita sekarang dihadapkan beberapa pilihan, entah itu tim Ganjar, tim Anies, tim Prabowo. Saat berada di luar, mungkin kita mudah untuk bersikap sinis terhadap mereka dan segenap sistem politik. Namun saat mulai dirayu, diberitahu kebaikan-kebaikan dari si capres, caleg, dan sebagainya, apalagi diberitahu jumlah uang yang bisa diperoleh, mungkin kita langsung berpikir: oh, tidak ada salahnya juga ya, mungkin mereka akan membawa perubahan ke arah lebih baik. Saat terlibat dan berada di dalam, mana terpikir bagi kita jika salah satu pemimpin tersebut, ternyata, amit-amit, menyimpan nafsu keji untuk membantai ras tertentu, atau memperkuat angkatan perang supaya bisa menginvasi seluruh Asia. 

Sekali lagi bukan membenarkan Heidegger dan filsuf sejenis lainnya yang ternyata memilih opsi keliru secara historis. Kenyataannya, ada pemikir-pemikir yang waras yang tidak memilih untuk terlibat bersama gerakan-gerakan yang pada akhirnya menjadi blunder kemanusiaan tersebut. Kropotkin misalnya, sudah sejak awal tidak setuju dengan Uni Soviet dan ternyata ia banyak benarnya. Camus akhirnya pisah jalan dengan Sartre salah satunya karena Camus tidak percaya akan Uni Soviet dan ternyata Camus benar. Namun seberapa besar mereka Heidegger dan Sartre punya niat jahat dalam keterlibatan bersama gerakan-gerakan itu, sepertinya perlu diperiksa ulang atau bahkan kita tidak pernah bisa tahu yang sebenar-benarnya. 

Hal yang bisa kita refleksikan adalah hal apa yang kita lakukan jika dihadapkan pada pilihan untuk berpartisipasi pada politik (praktis). Para pemikir, secerdas apapun, juga manusia, yang bisa tergiur dan bahkan tertipu oleh janji-janji manis, apalagi uang besar yang bisa mengatasi kesusahannya dalam menyambung hidup. Filsuf tidak sekadar tentang alam fikirnya yang seolah steril dari kedagingan. Filsuf justru selalu ada dalam pertaruhan, apakah pilihannya dalam hidup akan dikenang atau dicemooh oleh sejarah. Tapi jika ia tidak mengambil langkah apapun, pikiran-pikirannya akan tetap berada di sebuah alam yang tenang, alam yang tanpa pertaruhan, yang tidak teruji oleh zaman.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me