Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Public Relation


Waktu saya dikontak Pak Bambang Sugiharto untuk mengajar di Fakultas Filsafat UNPAR empat tahun lalu, saya tidak diberi mata kuliah yang katakanlah, "khas filsafat". Saya diminta untuk mengajar mata kuliah Public Relation, yang mungkin lebih sesuai dengan gelar S2 saya di bidang ilmu komunikasi. Keberadaan mata kuliah tersebut di FF memang agak aneh. Namun saya tidak banyak bertanya-tanya karena kira-kira tahu maksudnya, yakni supaya anak-anak filsafat lebih gaul, bisa berkomunikasi lebih luas, dan tidak terjebak dalam menara gading. 

Kaprodi FF, Pak Djunatan, ternyata juga tidak banyak memberi rambu-rambu atau arahan bagi materi kelas ini. Sepertinya dibebaskan saja, yang penting luarannya "jelas". Waktu itu murid di kelas hanya ada empat, yang mana salah satunya adalah Nino, yang kelak menjadi mitra pendiri Kelas Isolasi. Saya juga sebenarnya bingung apa yang harus diajarkan. Terkadang saya mengacu pada public relation sebagai sebuah profesi, terkadang saya membicarakan tentang bagaimana menghubungkan filsafat dan orang-orang awam, tapi pada pokoknya, mereka semua, murid-murid, harus presentasi di depan publik sebagai tugas akhir. 

Untungnya, waktu tugas akhir angkatan pertama kelas Public Relation, pandemi sudah melanda sehingga mereka bisa melakukan presentasi secara daring (jadinya tidak seberapa menakutkan karena tidak perlu menghadapi publik secara tatap muka). Kegiatan presentasi daring tersebut juga berlangsung hingga dua angkatan setelahnya. Baru di angkatan ini, anak-anak Public Relation melakukan presentasi luring, tepatnya di Ruang Dini. Mereka membawakan tema "filsuf-filsuf kurang terkenal". 

Tidak keliru jika mata kuliah Public Relation ini berjasa melahirkan Kelas Isolasi. Di kelas itu, saya dipertemukan dengan Nino, dan juga karena memerlukan semacam luaran untuk terhubung dengan publik, kami kemudian "terpaksa" membuat platform Kelas Isolasi ini. Namun dalam perjalanannya, Kelas Isolasi tidak bisa dikatakan berafiliasi dengan FF UNPAR, karena kami banyak menjalani kegiatan-kegiatan secara mandiri dan berhubungan dengan lebih banyak orang-orang non FF UNPAR. 

Selesai tahun keempat, kelas Public Relation kelihatan sebagai kelas yang "tidak jelas prosesnya, tapi jelas hasilnya". Saya kerap memodifikasi materi ajar tiap tahunnya. Namun yang pasti ada adalah anak-anak harus menganalisis berbagai jenis penampilan public speaking, mencoba menuliskan gagasan filsuf dengan sesederhana mungkin, dan mendiskusikan bagaimana seharusnya seorang pengkaji filsafat mempresentasikan materi filsafat di hadapan publik.

Namun pada akhirnya, bukan menjadi hal penting apakah yang dibawakannya tersebut, kelak, adalah materi filsafat atau bukan. Hal yang lebih pokok adalah apa yang dipresentasikan depan orang-orang itu adalah sesuatu yang menarik atau dibuat menarik. Dari mana asalnya kemenarikan, orang-orang komunikasi biasa menitikberatkan perkara retorika (ini juga mereka pelajari melalui teks-teks Aristoteles dan Cicero). 

Namun kemenarikan bukan melulu soal "jago bacot", tapi juga koherensi berpikir. Nah, soal yang terakhir ini yang semestinya menjadi salah satu keunggulan anak-anak filsafat. Itulah sebabnya, saya paling tidak setuju jika lulusan filsafat susah cari kerja. Justru mereka itu bisa bekerja sebagai apapun. Literally sebagai apapun. Kemampuannya dalam koherensi berpikir sudah semestinya dibutuhkan di banyak lapangan pekerjaan. Poin pentingnya tinggal bagaimana siapapun itu, dengan kebijaksanaannya, bisa berjejaring dengan manusia lain supaya bisa bertahan dan menghasilkan. Mata kuliah Public Relation, pada dasarnya, mengajarkan itu.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me