Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Sasaran


Tidak berapa lama setelah saya mengetikkan kata "makanan kucing" di pesan WhatsApp untuk istri, di YouTube tiba-tiba muncul iklan Whiskas. Tidak berapa lama saya membicarakan soal pizza bersama teman lewat WhatsApp, di YouTube muncul juga iklan pizza. Di kendaraan saat mendengarkan Spotify, sedang asyik-asyiknya mendengarkan albumnya Michael Franks, iklan selalu menyela, yang mengarahkan kita pada playlist atau siaran lain (maklum, bukan premium). Saya tidak tahu, tapi pastilah dunia algoritma ini sudah canggih, mereka sudah mencatat tempat-tempat yang sering saya kunjungi di GMaps sehingga iklan-iklannya pun pasti menyesuaikan. Iya, iklan kopi. 

Hampir setiap saat kita dibombardir iklan. Iklan-iklan tersebut tidak lagi seperti era media massa yang tembakannya membabibuta seperti machine gun. Iklan-iklan hari ini menembakkan sasarannya seperti sniper. Mengeceng dengan hati-hati, tapi tembakannya diusahakan langsung sekali mati. Lucunya, kita bukan benar-benar dicari oleh sniper, tapi kita sendirilah yang menyodorkan diri pada si penembak jitu. Kita sendirilah yang mengumbar informasi tentang siapa diri kita, termasuk apa yang kita suka, apa yang kita cari, siapa pasangan kita, bahkan dimana kita tinggal. Mungkin kita tidak benar-benar vulgar menginformasikan dimana kita tinggal via media sosial, tapi masa sih, tidak pernah bagi-bagi alamat via fitur chat pada orang terdekat? Bahkan kita pun sering diminta persetujuan lokasi setiap akan mengakses aplikasi atau situs tertentu. 

Teman saya bahkan pernah melakukan tindakan bodoh. Ia dengan bangganya mengetes password-nya sendiri di sebuah aplikasi "pengecek kekuatan password" dan mengaku bahwa password-nya tidak dapat dijebol hingga jutaan tahun cahaya. Di mata platform yang berkuasa, teman saya itu tidak sedang mengecek kekuatan password-nya, melainkan sedang menjebol keamanannya sendiri. Belum lagi fitur-fitur di media sosial seperti Instagram Story atau cuitan di Twitter / X yang memungkinkan kita melaporkan apa yang sedang kita lakukan di waktu dan lokasi yang spesifik. Kita lagi-lagi menyerahkan diri sendiri sebagai sasaran tembak bagi sniper-sniper bernama advertiser (bahkan mungkin juga orang-orang jahat!). 

Menariknya, seolah-olah tidak ada yang dirugikan di sana. Semua dibuat seolah-olah konsekuensi atas putusan kita sendiri. Salah sendiri tidak bayar premium, dibombardir iklan deh. Salah sendiri isi profilnya lengkap, disasar iklan deh. Salah sendiri kegiatannya diceritain via story, ketahuan deh lagi apa dan dimana. Namun di sisi lain kita tidak benar-benar punya pilihan: tidak bayar premium karena mungkin tidak ada uang; kita mengisi profil selengkap mungkin karena percaya bahwa semakin lengkap data, semakin tinggi kredibilitas seseorang; kita rajin update story atau cuitan supaya terlihat senantiasa aktual dan banyak kegiatan. Semua yang dilakukan itu hampir seperti standar kebaikan sekaligus cara bertahan hidup di masa sekarang. Pada pokoknya, kita dibuat "normal" atas segala yang kita perbuat di media sosial. 

Problem sasaran lainnya adalah perkontenan. Saat ini tidak semua perbuatan baik menjadi tulus dan mengharap ridho ilahi untuk dibalas berlipat ganda. Ridho ilahi diterjemahkan menjadi monetisasi lewat konten. Saya mau memberikan informasi pada kalian secara gratis, tapi dengan kalian menontonnya, saya mendapat uang dari sana. Saya mau memberi uang pada pengemis, tapi mereka harus mau direkam dan menjadi konten yang menggugah bagi netijen. Saya mau menghibur kalian dengan adegan berbahaya, tapi mesti sekalian menggenjot traffic. Lagi-lagi orang-orang menjadi sasaran untuk pengemasan sedemikian rupa demi konten digital, untuk ditonton oleh sasaran lainnya. 

Dengan demikian, privasi adalah omong kosong karena segala bentuk kegiatan privat, pertama, bisa jadi kita sendirilah yang menyebarluaskannya menjadi konten dan yang kedua, kemanapun kita bersembunyi atas nama kegiatan privat, selama terhubung dengan internet, maka kita sekaligus sasaran empuk oleh berbagai iklan. Kita bisa saja memutus hubungan dengan internet dan hidup melebur bertatap muka secara luring kemana-mana. Namun ingat, para pembuat konten tetap mengintai, mengobjektivikasi kita untuk menjadi tontonan dunia.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me