Skip to main content

Kesendirian

Meski aku sering kemana-mana sendiri, konsep kesendirian bukanlah hal yang akrab denganku. Maksudnya, dalam kesendirian, aku selalu terdistraksi, untuk nge- scroll Twitter, cari teman ngobrol di Whatsapp, atau apa sajalah yang penting jangan sampai jatuh pada kesunyian, jangan sampai sendiri banget . Tentu saja, seorang pengkaji filsafat harus punya waktu-waktu sendiri, untuk membaca teks secara intens, untuk berefleksi, aku butuh itu, tetapi sekali lagi, konsepnya bukan dalam kesendirian, tetapi lebih tepatnya: dalam sebuah lingkungan yang aku nyaman di dalamnya. Aku mesti membangun sekelilingku dulu, enjoy dengan itu, baru aku bisa menulis dan membaca dengan khidmat.    Apa bedanya konsep semacam itu dengan kesendirian? Beda. Kesendirian adalah kenyamanan akan diri, dalam diri, tanpa perlu sibuk menyiapkan lingkungan eksternal. Kesendirian adalah buah dari pergulatan batin yang sibuk, untuk kemudian tak lagi menganggap lingkungan eksternal sebagai sesuatu yang krusial, karena kit

Sasaran


Tidak berapa lama setelah saya mengetikkan kata "makanan kucing" di pesan WhatsApp untuk istri, di YouTube tiba-tiba muncul iklan Whiskas. Tidak berapa lama saya membicarakan soal pizza bersama teman lewat WhatsApp, di YouTube muncul juga iklan pizza. Di kendaraan saat mendengarkan Spotify, sedang asyik-asyiknya mendengarkan albumnya Michael Franks, iklan selalu menyela, yang mengarahkan kita pada playlist atau siaran lain (maklum, bukan premium). Saya tidak tahu, tapi pastilah dunia algoritma ini sudah canggih, mereka sudah mencatat tempat-tempat yang sering saya kunjungi di GMaps sehingga iklan-iklannya pun pasti menyesuaikan. Iya, iklan kopi. 

Hampir setiap saat kita dibombardir iklan. Iklan-iklan tersebut tidak lagi seperti era media massa yang tembakannya membabibuta seperti machine gun. Iklan-iklan hari ini menembakkan sasarannya seperti sniper. Mengeceng dengan hati-hati, tapi tembakannya diusahakan langsung sekali mati. Lucunya, kita bukan benar-benar dicari oleh sniper, tapi kita sendirilah yang menyodorkan diri pada si penembak jitu. Kita sendirilah yang mengumbar informasi tentang siapa diri kita, termasuk apa yang kita suka, apa yang kita cari, siapa pasangan kita, bahkan dimana kita tinggal. Mungkin kita tidak benar-benar vulgar menginformasikan dimana kita tinggal via media sosial, tapi masa sih, tidak pernah bagi-bagi alamat via fitur chat pada orang terdekat? Bahkan kita pun sering diminta persetujuan lokasi setiap akan mengakses aplikasi atau situs tertentu. 

Teman saya bahkan pernah melakukan tindakan bodoh. Ia dengan bangganya mengetes password-nya sendiri di sebuah aplikasi "pengecek kekuatan password" dan mengaku bahwa password-nya tidak dapat dijebol hingga jutaan tahun cahaya. Di mata platform yang berkuasa, teman saya itu tidak sedang mengecek kekuatan password-nya, melainkan sedang menjebol keamanannya sendiri. Belum lagi fitur-fitur di media sosial seperti Instagram Story atau cuitan di Twitter / X yang memungkinkan kita melaporkan apa yang sedang kita lakukan di waktu dan lokasi yang spesifik. Kita lagi-lagi menyerahkan diri sendiri sebagai sasaran tembak bagi sniper-sniper bernama advertiser (bahkan mungkin juga orang-orang jahat!). 

Menariknya, seolah-olah tidak ada yang dirugikan di sana. Semua dibuat seolah-olah konsekuensi atas putusan kita sendiri. Salah sendiri tidak bayar premium, dibombardir iklan deh. Salah sendiri isi profilnya lengkap, disasar iklan deh. Salah sendiri kegiatannya diceritain via story, ketahuan deh lagi apa dan dimana. Namun di sisi lain kita tidak benar-benar punya pilihan: tidak bayar premium karena mungkin tidak ada uang; kita mengisi profil selengkap mungkin karena percaya bahwa semakin lengkap data, semakin tinggi kredibilitas seseorang; kita rajin update story atau cuitan supaya terlihat senantiasa aktual dan banyak kegiatan. Semua yang dilakukan itu hampir seperti standar kebaikan sekaligus cara bertahan hidup di masa sekarang. Pada pokoknya, kita dibuat "normal" atas segala yang kita perbuat di media sosial. 

Problem sasaran lainnya adalah perkontenan. Saat ini tidak semua perbuatan baik menjadi tulus dan mengharap ridho ilahi untuk dibalas berlipat ganda. Ridho ilahi diterjemahkan menjadi monetisasi lewat konten. Saya mau memberikan informasi pada kalian secara gratis, tapi dengan kalian menontonnya, saya mendapat uang dari sana. Saya mau memberi uang pada pengemis, tapi mereka harus mau direkam dan menjadi konten yang menggugah bagi netijen. Saya mau menghibur kalian dengan adegan berbahaya, tapi mesti sekalian menggenjot traffic. Lagi-lagi orang-orang menjadi sasaran untuk pengemasan sedemikian rupa demi konten digital, untuk ditonton oleh sasaran lainnya. 

Dengan demikian, privasi adalah omong kosong karena segala bentuk kegiatan privat, pertama, bisa jadi kita sendirilah yang menyebarluaskannya menjadi konten dan yang kedua, kemanapun kita bersembunyi atas nama kegiatan privat, selama terhubung dengan internet, maka kita sekaligus sasaran empuk oleh berbagai iklan. Kita bisa saja memutus hubungan dengan internet dan hidup melebur bertatap muka secara luring kemana-mana. Namun ingat, para pembuat konten tetap mengintai, mengobjektivikasi kita untuk menjadi tontonan dunia.

Comments

Popular posts from this blog

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1