Skip to main content

Kesendirian

Meski aku sering kemana-mana sendiri, konsep kesendirian bukanlah hal yang akrab denganku. Maksudnya, dalam kesendirian, aku selalu terdistraksi, untuk nge- scroll Twitter, cari teman ngobrol di Whatsapp, atau apa sajalah yang penting jangan sampai jatuh pada kesunyian, jangan sampai sendiri banget . Tentu saja, seorang pengkaji filsafat harus punya waktu-waktu sendiri, untuk membaca teks secara intens, untuk berefleksi, aku butuh itu, tetapi sekali lagi, konsepnya bukan dalam kesendirian, tetapi lebih tepatnya: dalam sebuah lingkungan yang aku nyaman di dalamnya. Aku mesti membangun sekelilingku dulu, enjoy dengan itu, baru aku bisa menulis dan membaca dengan khidmat.    Apa bedanya konsep semacam itu dengan kesendirian? Beda. Kesendirian adalah kenyamanan akan diri, dalam diri, tanpa perlu sibuk menyiapkan lingkungan eksternal. Kesendirian adalah buah dari pergulatan batin yang sibuk, untuk kemudian tak lagi menganggap lingkungan eksternal sebagai sesuatu yang krusial, karena kit

Generasi


Sentimen antar generasi adalah hal yang umum terjadi dalam peradaban. Mereka yang menyebut dirinya sebagai "generasi muda", biasanya lekat dengan keinginan untuk mengubah keadaan yang diklaimnya sebagai "status quo". Sementara generasi di atasnya, atau sebut saja "generasi tua", antara ingin mempertahankan kedudukannya dengan terus menerus mengglorifikasi keberhasilannya di masa lampau, atau ada juga yang sadar bahwa mereka akan tergantikan, sehingga dengan sekuat tenaga merangkul yang muda-muda. Kadang dalam melakukan glorifikasi, "generasi tua" ini bisa jadi menjadikan keberhasilannya bertahan hidup sebagai bukti bahwa pikiran dan tindakannya memang benar. Memang benar, misalnya, ia sudah dididik keras dengan gaya militer oleh orang tuanya, buktinya sekarang dirinya sukses. Pola pikir semacam itu yang membentuk persepsi "generasi tua" ini dalam menuduh generasi di bawah-bawahnya sebagai lembek dan payah. 

Namun ada juga yang tidak perlu bersusah payah mempertahankan dirinya karena tahu bahwa pertama, masa depan memerlukan suksesi, tongkat estafet dari tua ke muda. Kedua, apapun yang terjadi pada generasi muda dengan segala plus minusnya, sedikit banyak dipengaruhi atau terjadi atas andil generasi di atasnya. Jadi, sebutan lembek, payah, atau apapun itu, bisa jadi lahir akibat produk didikan generasi tua juga. Mungkin si generasi tua ini merasa orang tua mereka dulu mendidik mereka dengan terlalu keras, lalu ingin mengubah tradisi itu dengan mendidik anak-anaknya dengan cara yang berbeda atau bahkan berlawanan. Kalau anak-anaknya kemudian ternyata menjadi "lembek" dan "payah", tidakkah itu adalah konsekuensi dari generasi tua itu sendiri? 

Jika begitu, apakah sudah seharusnya anak-anak dididik dengan cara yang sama dari masa ke masa, supaya tidak terjadi apalah yang disebut sebagai "anomali"? Pemikiran semacam itu rasanya juga kurang tepat. Masalahnya, generasi tidak hanya dipengaruhi oleh orang tuanya secara tertutup, tetapi juga lingkungannya secara lebih luas. Apalagi dalam kasus Generasi Z belakangan ini, mereka sudah terbiasa mengakses internet sejak kecil, sehingga sudah dibanjiri informasi dari seluruh dunia, yang bahkan bisa melampaui pengetahuan orang tuanya. Sehingga memang sudah menjadi semacam "hukum alam", bahwa generasi tua perlu untuk melakukan penyesuaian berbasis perubahan zaman sekaligus kritik terhadap didikan generasi atas-atasnya. 

Maka itu saat melihat di media sosial bermunculan persepsi buruk terhadap generasi Z yang dirasa begitu lembek dalam bekerja, terlalu fokus pada urusan mental health, dan malah dipandang terdegradasi secara moral, yang mana umumnya pandangan tersebut berasal dari sebagian generasi millenials, sikap semacam ini di satu sisi tampak wajar sebagai wujud dari romantisisme generasinya sendiri (yang memang biasa terjadi dari masa ke masa), di sisi lain, pandangan tersebut juga perlu dipermasalahkan, karena itu tadi: generasi Z adalah penerus, dan generasi Z adalah produk dari generasi sebelumnya, termasuk terdapat andil millenials di dalamnya. Jadi, kenapa mereka harus dihina-hina? 

Justru bagi saya, generasi Z adalah generasi yang menarik karena mereka punya saluran untuk menyuarakan dirinya secara unik. Mereka bisa main media sosial sendiri dan curhat tentang apapun yang mungkin juga menjadi keresahan generasi atasnya (tetapi generasi atasnya ini tidak punya saluran atau keburu disuruh diam karena dilarang baper oleh orang tuanya). Saat generasi Z mengeluh soal mental health, soal relasi, soal kesulitan cari kerja, ini bukan ekspresi lembek dan payah, tapi ekspresi yang bisa jadi disuarakan oleh setiap generasi, tetapi kebetulan generasi Z inilah yang memiliki akses untuk mengabarkannya pada dunia. Itulah sebabnya mereka terasa lebih caper. 

Padahal, generasi mana yang koar-koar membela keterbukaan media? Generasi mana yang ingin setiap individu dihargai? Bukankah generasi di atasnya yang mengupayakan itu semua, dan generasi Z yang menikmatinya? Ketahuilah bahwa masalah generasi ini sebaiknya tidak ditempatkan dalam kerangka persaingan. Malah kita harus lebih kritis menyikapinya: jangan-jangan pemilahan antar generasi hanya jual-jualan kapitalisme saja, seolah identifikasi-identifikasi itu nyata, padahal cuma main-mainan target pasar.

Comments

Popular posts from this blog

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1