Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Generasi


Sentimen antar generasi adalah hal yang umum terjadi dalam peradaban. Mereka yang menyebut dirinya sebagai "generasi muda", biasanya lekat dengan keinginan untuk mengubah keadaan yang diklaimnya sebagai "status quo". Sementara generasi di atasnya, atau sebut saja "generasi tua", antara ingin mempertahankan kedudukannya dengan terus menerus mengglorifikasi keberhasilannya di masa lampau, atau ada juga yang sadar bahwa mereka akan tergantikan, sehingga dengan sekuat tenaga merangkul yang muda-muda. Kadang dalam melakukan glorifikasi, "generasi tua" ini bisa jadi menjadikan keberhasilannya bertahan hidup sebagai bukti bahwa pikiran dan tindakannya memang benar. Memang benar, misalnya, ia sudah dididik keras dengan gaya militer oleh orang tuanya, buktinya sekarang dirinya sukses. Pola pikir semacam itu yang membentuk persepsi "generasi tua" ini dalam menuduh generasi di bawah-bawahnya sebagai lembek dan payah. 

Namun ada juga yang tidak perlu bersusah payah mempertahankan dirinya karena tahu bahwa pertama, masa depan memerlukan suksesi, tongkat estafet dari tua ke muda. Kedua, apapun yang terjadi pada generasi muda dengan segala plus minusnya, sedikit banyak dipengaruhi atau terjadi atas andil generasi di atasnya. Jadi, sebutan lembek, payah, atau apapun itu, bisa jadi lahir akibat produk didikan generasi tua juga. Mungkin si generasi tua ini merasa orang tua mereka dulu mendidik mereka dengan terlalu keras, lalu ingin mengubah tradisi itu dengan mendidik anak-anaknya dengan cara yang berbeda atau bahkan berlawanan. Kalau anak-anaknya kemudian ternyata menjadi "lembek" dan "payah", tidakkah itu adalah konsekuensi dari generasi tua itu sendiri? 

Jika begitu, apakah sudah seharusnya anak-anak dididik dengan cara yang sama dari masa ke masa, supaya tidak terjadi apalah yang disebut sebagai "anomali"? Pemikiran semacam itu rasanya juga kurang tepat. Masalahnya, generasi tidak hanya dipengaruhi oleh orang tuanya secara tertutup, tetapi juga lingkungannya secara lebih luas. Apalagi dalam kasus Generasi Z belakangan ini, mereka sudah terbiasa mengakses internet sejak kecil, sehingga sudah dibanjiri informasi dari seluruh dunia, yang bahkan bisa melampaui pengetahuan orang tuanya. Sehingga memang sudah menjadi semacam "hukum alam", bahwa generasi tua perlu untuk melakukan penyesuaian berbasis perubahan zaman sekaligus kritik terhadap didikan generasi atas-atasnya. 

Maka itu saat melihat di media sosial bermunculan persepsi buruk terhadap generasi Z yang dirasa begitu lembek dalam bekerja, terlalu fokus pada urusan mental health, dan malah dipandang terdegradasi secara moral, yang mana umumnya pandangan tersebut berasal dari sebagian generasi millenials, sikap semacam ini di satu sisi tampak wajar sebagai wujud dari romantisisme generasinya sendiri (yang memang biasa terjadi dari masa ke masa), di sisi lain, pandangan tersebut juga perlu dipermasalahkan, karena itu tadi: generasi Z adalah penerus, dan generasi Z adalah produk dari generasi sebelumnya, termasuk terdapat andil millenials di dalamnya. Jadi, kenapa mereka harus dihina-hina? 

Justru bagi saya, generasi Z adalah generasi yang menarik karena mereka punya saluran untuk menyuarakan dirinya secara unik. Mereka bisa main media sosial sendiri dan curhat tentang apapun yang mungkin juga menjadi keresahan generasi atasnya (tetapi generasi atasnya ini tidak punya saluran atau keburu disuruh diam karena dilarang baper oleh orang tuanya). Saat generasi Z mengeluh soal mental health, soal relasi, soal kesulitan cari kerja, ini bukan ekspresi lembek dan payah, tapi ekspresi yang bisa jadi disuarakan oleh setiap generasi, tetapi kebetulan generasi Z inilah yang memiliki akses untuk mengabarkannya pada dunia. Itulah sebabnya mereka terasa lebih caper. 

Padahal, generasi mana yang koar-koar membela keterbukaan media? Generasi mana yang ingin setiap individu dihargai? Bukankah generasi di atasnya yang mengupayakan itu semua, dan generasi Z yang menikmatinya? Ketahuilah bahwa masalah generasi ini sebaiknya tidak ditempatkan dalam kerangka persaingan. Malah kita harus lebih kritis menyikapinya: jangan-jangan pemilahan antar generasi hanya jual-jualan kapitalisme saja, seolah identifikasi-identifikasi itu nyata, padahal cuma main-mainan target pasar.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k