Sentimen antar generasi adalah hal yang umum terjadi dalam peradaban. Mereka yang menyebut dirinya sebagai "generasi muda", biasanya lekat dengan keinginan untuk mengubah keadaan yang diklaimnya sebagai "status quo". Sementara generasi di atasnya, atau sebut saja "generasi tua", antara ingin mempertahankan kedudukannya dengan terus menerus mengglorifikasi keberhasilannya di masa lampau, atau ada juga yang sadar bahwa mereka akan tergantikan, sehingga dengan sekuat tenaga merangkul yang muda-muda. Kadang dalam melakukan glorifikasi, "generasi tua" ini bisa jadi menjadikan keberhasilannya bertahan hidup sebagai bukti bahwa pikiran dan tindakannya memang benar. Memang benar, misalnya, ia sudah dididik keras dengan gaya militer oleh orang tuanya, buktinya sekarang dirinya sukses. Pola pikir semacam itu yang membentuk persepsi "generasi tua" ini dalam menuduh generasi di bawah-bawahnya sebagai lembek dan payah.
Namun ada juga yang tidak perlu bersusah payah mempertahankan dirinya karena tahu bahwa pertama, masa depan memerlukan suksesi, tongkat estafet dari tua ke muda. Kedua, apapun yang terjadi pada generasi muda dengan segala plus minusnya, sedikit banyak dipengaruhi atau terjadi atas andil generasi di atasnya. Jadi, sebutan lembek, payah, atau apapun itu, bisa jadi lahir akibat produk didikan generasi tua juga. Mungkin si generasi tua ini merasa orang tua mereka dulu mendidik mereka dengan terlalu keras, lalu ingin mengubah tradisi itu dengan mendidik anak-anaknya dengan cara yang berbeda atau bahkan berlawanan. Kalau anak-anaknya kemudian ternyata menjadi "lembek" dan "payah", tidakkah itu adalah konsekuensi dari generasi tua itu sendiri?
Jika begitu, apakah sudah seharusnya anak-anak dididik dengan cara yang sama dari masa ke masa, supaya tidak terjadi apalah yang disebut sebagai "anomali"? Pemikiran semacam itu rasanya juga kurang tepat. Masalahnya, generasi tidak hanya dipengaruhi oleh orang tuanya secara tertutup, tetapi juga lingkungannya secara lebih luas. Apalagi dalam kasus Generasi Z belakangan ini, mereka sudah terbiasa mengakses internet sejak kecil, sehingga sudah dibanjiri informasi dari seluruh dunia, yang bahkan bisa melampaui pengetahuan orang tuanya. Sehingga memang sudah menjadi semacam "hukum alam", bahwa generasi tua perlu untuk melakukan penyesuaian berbasis perubahan zaman sekaligus kritik terhadap didikan generasi atas-atasnya.
Maka itu saat melihat di media sosial bermunculan persepsi buruk terhadap generasi Z yang dirasa begitu lembek dalam bekerja, terlalu fokus pada urusan mental health, dan malah dipandang terdegradasi secara moral, yang mana umumnya pandangan tersebut berasal dari sebagian generasi millenials, sikap semacam ini di satu sisi tampak wajar sebagai wujud dari romantisisme generasinya sendiri (yang memang biasa terjadi dari masa ke masa), di sisi lain, pandangan tersebut juga perlu dipermasalahkan, karena itu tadi: generasi Z adalah penerus, dan generasi Z adalah produk dari generasi sebelumnya, termasuk terdapat andil millenials di dalamnya. Jadi, kenapa mereka harus dihina-hina?
Justru bagi saya, generasi Z adalah generasi yang menarik karena mereka punya saluran untuk menyuarakan dirinya secara unik. Mereka bisa main media sosial sendiri dan curhat tentang apapun yang mungkin juga menjadi keresahan generasi atasnya (tetapi generasi atasnya ini tidak punya saluran atau keburu disuruh diam karena dilarang baper oleh orang tuanya). Saat generasi Z mengeluh soal mental health, soal relasi, soal kesulitan cari kerja, ini bukan ekspresi lembek dan payah, tapi ekspresi yang bisa jadi disuarakan oleh setiap generasi, tetapi kebetulan generasi Z inilah yang memiliki akses untuk mengabarkannya pada dunia. Itulah sebabnya mereka terasa lebih caper.
Padahal, generasi mana yang koar-koar membela keterbukaan media? Generasi mana yang ingin setiap individu dihargai? Bukankah generasi di atasnya yang mengupayakan itu semua, dan generasi Z yang menikmatinya? Ketahuilah bahwa masalah generasi ini sebaiknya tidak ditempatkan dalam kerangka persaingan. Malah kita harus lebih kritis menyikapinya: jangan-jangan pemilahan antar generasi hanya jual-jualan kapitalisme saja, seolah identifikasi-identifikasi itu nyata, padahal cuma main-mainan target pasar.
Comments
Post a Comment