Skip to main content

Kesendirian

Meski aku sering kemana-mana sendiri, konsep kesendirian bukanlah hal yang akrab denganku. Maksudnya, dalam kesendirian, aku selalu terdistraksi, untuk nge- scroll Twitter, cari teman ngobrol di Whatsapp, atau apa sajalah yang penting jangan sampai jatuh pada kesunyian, jangan sampai sendiri banget . Tentu saja, seorang pengkaji filsafat harus punya waktu-waktu sendiri, untuk membaca teks secara intens, untuk berefleksi, aku butuh itu, tetapi sekali lagi, konsepnya bukan dalam kesendirian, tetapi lebih tepatnya: dalam sebuah lingkungan yang aku nyaman di dalamnya. Aku mesti membangun sekelilingku dulu, enjoy dengan itu, baru aku bisa menulis dan membaca dengan khidmat.    Apa bedanya konsep semacam itu dengan kesendirian? Beda. Kesendirian adalah kenyamanan akan diri, dalam diri, tanpa perlu sibuk menyiapkan lingkungan eksternal. Kesendirian adalah buah dari pergulatan batin yang sibuk, untuk kemudian tak lagi menganggap lingkungan eksternal sebagai sesuatu yang krusial, karena kit

Membela Young Lex dan Awkarin

 


 

Waktu Young Lex dan Awkarin merilis video musik berjudul Makan Bang, saya berang. Berang karena bagaimana bisa, video musik yang dibuat asal-asalan semacam ini dapat meraih views jutaan dan menempati peringkat atas trending? Di bagian prolog video tersebut, Oka Mahendra Putra, sang produser, terlebih dahulu memaparkan konsepnya, “Konsep video ini, adalah tanpa konsep. Kita hanya mengulang-ulang adegan makan di restoran.” Hasilnya mengejutkan! Meski nampak bahwa video musik ini adalah produk low budget, dengan konten berupa lirik yang dibuat asal-asalan –Young Lex mengaku membuatnya lima belas menit setelah main Dota 2-, dan dengan aktor, yang maaf-maaf saja, kelihatannya tidak ada kemampuan akting lain selain mengunyah makanan, tapi ada kenyataan pahit yang harus kita telan: toh, meski dicaci maki, video yang diunggah di Youtube tersebut tetap banyak yang menonton. Intinya, Young Lex, Awkarin, dan Oka Mahendra Putra hampir dapat dipastikan meraup untung besar dari Adsense. Seperti komentar seorang teman di media sosial saya, “Kalaupun puluhan tahun lagi tidak ada orang yang mengingat siapa Young Lex dan Awkarin, toh mereka sudah punya bekal puluhan juta rupiah.”

Dalam kacamata estetika modern, apa yang dilakukan Young Lex dan Awkarin termasuk ke dalam golongan “seni rendah”. Apa yang menjadi tolok ukurnya? Mengacu pada kata-kata filsuf Immanuel Kant di abad ke-18, sesuatu dapat dikatakan seni jika ia tidak punya manfaat sama sekali. Sebagai contoh: Jika sebuah meja kita masih gunakan untuk tempat belajar, maka meja tersebut bukanlah karya seni. Tapi jika meja tersebut tidak digunakan untuk apapun dan dipajang di galeri untuk sekadar diamati pengunjung, maka dengan sendirinya, dalam kacamata Kant, itu menjadi karya seni. Artinya, seni hanya dibuat untuk kepentingan keindahan semata. Tidak lebih daripada itu. Titik.

Kita bisa mengatakan bahwa Young Lex dan Awkarin baru saja memproduksi “seni rendah” –jika tidak bisa dikatakan sebagai “bukan seni”- dari asumsi bahwa mereka menciptakan karya bukan demi suatu keindahan, melainkan demi uang dan popularitas. Artinya, seni ditunggangi untuk manfaat lain di luar dirinya. Apakah yang demikian itu tidak boleh? Jelas, itu dosa besar, dalam pandangan estetika modern.

Tapi sekarang zaman sudah berubah. Pemikiran bisa dibalik: Apakah justru seni yang diproduksi Young Lex dan Awkarin adalah seni tinggi, karena malah punya kegunaan (menghasilkan uang)? Sebaliknya, lukisan yang dipajang di galeri atau musik klasik dengan segala kerumitan harmoninya, adalah seni rendah karena malah tidak ada manfaat (praktis) sama sekali? Jika akhirnya orang membuat karya seni yang adiluhung untuk kemudian dijual dan mendapat uang juga, apakah itu artinya Young Lex dan Awkarin sudah selangkah lebih maju karena pundi-pundi mereka sudah penuh meski membuat karya “asal-asalan”? Atau jangan-jangan, Young Lex dan Awkarin tidak se-asal-asal-an yang kita kira. Mereka punya insting yang tajam. Mengetahui secara psikologis apa yang membuat orang begitu tertarik untuk menyaksikan video mereka. Sudah bukan urusan dua artis itu lagi jika kemudian selesai melihatnya, orang malah eneg dan menekan tombol dislike. Yang penting videonya sudah dikunjungi. Dikunjungi, pada tingkat bawah sadar, mungkin menunjukkan kekaguman, kebanggaan, dan pemujaan secara diam-diam. 

Young Lex dan Awkarin sering mendapat sorotan karena tingkahnya yang kurang patut di mata masyarakat umum. Misalnya, Young Lex pernah memaki dengan kata-kata kasar pada penonton yang melemparinya dengan botol ketika hendak nge-rap di atas panggung. Ia juga berseteru dengan rapper legendaris Iwa K dengan mengatainya sebagai rapper yang kurang ber-skill. Young Lex, dalam lirik lagunya, umumnya hanya bercerita tentang kisah hidupnya sendiri atau memberi petatah-petitih agar orang zaman sekarang tak perlu banyak dengar kata orang lain. Lebih baik jadi diri sendiri, meskipun diremehkan. Meski demikian, Young Lex tak pernah kekurangan panggung. Ia malah kelihatan kian berkibar. Sementara Awkarin besar oleh instagram dan vlog. Tidak ada yang spesial darinya kecuali kenyataan bahwa ia sangat eksibisionis mempertontonkan kehidupan pribadinya mulai dari putus cinta hingga memberi makan hewan di Taman Safari. Di video-videonya tersebut, Awkarin tak jarang mengumpat dengan kata yang tak patut, atau bahkan mempertontonkan adegan mesra. “Prestasi”-nya tersebut membuat followers instagramnya mencapai lebih dari satu juta. Para produsen pun merapat, meminta Awkarin untuk memasarkan produknya. Lagi-lagi, ia dapat uang. 

Memang ini zaman yang kurang memberikan penghargaan terhadap konsistensi. Yang dielu-elukan justru yang memberikan sensasi. Entah berapa banyak masyarakat kita yang sudah menjadi korban sensasi, mulai dari fenomena “Keong Racun”, “Lahirnya Anak Kambing milik Jokowi”, sampai “Om Telolet Om”. Jika muncul pertanyaan: Apa yang menarik dari keseluruhan fenomena itu? Kita sendiri mungkin tidak bisa menjawab secara yakin. Bisa jadi karena sensasional, bisa jadi karena memang kita adalah bangsa voyeur atau tukang ngintip. Kita begitu senang mengamat-amati kehidupan orang lain dan menertawakannya –itu sebabnya infotainment tidak pernah ada habisnya untuk dikonsumsi-. Perilaku kita sendirilah yang membuat Young Lex dan Awkarin menjadi terkenal dan banyak uang. Kita sendirilah yang memelihara kebesaran nama mereka. Semakin kita memaki, semakin mereka bergembira. Artinya, mereka kian dibicarakan dan namanya kian ditorehkan di dalam keabadian.

Sementara itu, saya sedang memandangi Youtube saya sendiri yang tengah mempertontonkan keterampilan bermain gitar klasik di tengah konser yang dihadiri oleh paling dua ratus orang saja. Sudah empat tahun dan views-nya belum beranjak dari angka seratusan. Mungkin saya menulis ini, karena iri pada Awkarin dan Young Lex. Sehingga dengan terang-terangan saya mengatakan: Mereka, ya, hebat juga. 

 

Ini adalah tulisan yang pernah dimuat di website voxpop.id. Sayangnya, website tersebut sekarang tidak aktif sehingga artikel-artikel di dalamnya tidak dapat diakses. Artikel yang diposting di blog ini adalah versi tulisan yang belum disunting oleh pihak voxpop.id.

Comments

Popular posts from this blog

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1