Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Euthanasia



Beberapa hari belakangan baca-baca tentang euthanasia untuk kepentingan menulis artikel Jurnal Etika Terapan, ternyata banyak hal baru yang saya dapat (selain perasaan yang sangat gloomy). Jika membaca beberapa artikel (berbahasa Indonesia) hasil googling, pengertian euthanasia seringkali langsung pada "suntik mati". Pengertian ini kurang akurat, karena "suntik mati" hanyalah salah satu metode dalam euthanasia aktif. Setelah membaca beberapa sumber seperti Euthanasia: A Reference Handbook (McDougall & Gorman, 2008), Assisted Suicide and Euthanasia: A Natural Law Ethics Approach (Paterson, 2008), dan The End of Life: Euthanasia and Morality (Rachels, 1986), pandangan saya menjadi lebih luas perkara euthanasia. Euthanasia sendiri terdiri dari beberapa jenis. Euthanasia aktif artinya penghilangan nyawa pasien dilakukan secara langsung melalui tindakan yang disengaja dan mengarah langsung pada kematian orang yang dituju. 

Sementara itu, euthanasia pasif adalah tindakan yang secara tidak langsung mengarah pada penghilangan nyawa pasien dengan cara menghentikan perawatan medis. Euthanasia pasif kerap disebut juga sebagai "membiarkan orang meninggal" (letting someone die).

Euthanasia aktif kemudian dibagi lagi ke dalam tiga kategori. Kategori pertama adalah euthanasia sukarela yakni euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien dalam kondisi kompeten untuk mengambil keputusan tersebut. Euthanasia sukarela menjadi semacam bunuh diri, tetapi lewat pendampingan tenaga medis, sehingga euthanasia seringkali disebut juga semacam "bunuh diri yang didampingi" (assisted suicide). Euthanasia sukarela dilarang dilakukan di Indonesia dan juga banyak negara lainnya. 

Kategori kedua adalah euthanasia nonvolunter yang artinya euthanasia dilakukan tidak atas persetujuan pasien yang bersangkutan karena kondisinya tidak kompeten untuk mengambil keputusan, misalnya karena koma berkepanjangan. Keputusan melakukan euthanasia nonvolunter biasanya berasal dari keluarga atau orang dekat. 

Sedangkan kategori ketiga adalah euthanasia involunter yakni euthanasia yang dilakukan tanpa persetujuan pasien dan kerap digolongkan sebagai pembunuhan. Dalam euthanasia involunter, yang terjadi biasanya disebut "pembunuhan belas kasih" karena dilakukan dengan dalih menghilangkan rasa sakit dan mengusahakan kematian cepat. Salah satu contoh euthanasia involunter dilakukan oleh rezim Nazi Jerman dalam program yang disebut dengan Aktion T4.  

Dalam wilayah etika, perdebatan tentang euthanasia biasanya berlangsung seputar prinsip kesakralan hidup, prinsip kualitas hidup, dan prinsip kebebasan hidup atau kepemilikan hidup. Prinsip kesakralan hidup beranggapan bahwa hidup ini suci dan berharga, tidak bisa dikorbankan atas alasan apapun. Umumnya diturunkan dari perspektif religius, prinsip kesakralan hidup berpandangan bahwa hidup ini milik Tuhan dan hanya Tuhan yang berhak mengambilnya. Prinsip kesakralan hidup juga sering digunakan sebagai landasan penolakan atas euthanasia.

Prinsip kesakralan hidup seringkali dipertentangkan dengan prinsip kualitas hidup. Prinsip kualitas hidup secara garis besar berpandangan bahwa hidup ini punya standar tertentu supaya orang dapat menjalaninya dengan baik. Lantas, jika seseorang hidup di bawah standar tersebut, tidakkah kehidupan menjadi sia-sia untuk dijalani? Misalnya, pasien A mengalami sakit begitu parah hingga tidak bisa beraktivitas sama sekali. Pertanyaannya, apakah bermoral untuk membiarkannya tetap hidup dalam keadaan demikian? Tidakkah membiarkannya hidup malah akan menambah penderitaannya? 

Prinsip kebebasan atau kepemilikan hidup menyatakan bahwa tubuh dan nyawa ini adalah properti kita sendiri sehingga menjadi hak kita untuk melakukan apapun terhadap properti tersebut, termasuk menghilangkan atau menghancurkannya. Prinsip kebebasan atau kepemilikan hidup erat dengan pandangan liberalisme, meski salah satu pencetus liberalisme itu sendiri, John Locke, menolak untuk sampai pada kesimpulan membolehkan bunuh diri. Bunuh diri, menurut Locke, bukanlah wujud kehendak bebas karena tubuh dan nyawa ini merupakan milik Tuhan. 

Demikian halnya dengan John Stuart Mill yang melihat bunuh diri justru bertentangan dengan ide kebebasan. Dengan membunuh dirinya, kebebasan orang tersebut menjadi hilang dan tak dapat lagi diusahakan. Meski begitu, para pemikir liberalisme lainnya, termasuk Robert Nozick, beranggapan bahwa kebebasan ini adalah mutlak, termasuk perkara tubuh dan nyawa sendiri, sehingga euthanasia semestinya menjadi sepenuhnya hak individu yang mesti dilindungi. 

Ide tentang kesakralan hidup, sebagai perisai utama dalam penolakan euthanasia, mendapat sejumlah serangan, termasuk pertanyaan kuat tentang "kesakralan siapa?" Kita kerap mengasumkan bahwa hidup manusia ini sakral dan tidak boleh dihilangkan secara sengaja, dengan asumsi bahwa orang ini (si pasien) adalah orang "tak bersalah". Namun kita seringkali bersikap tidak konsisten dengan membolehkan pembunuhan dalam konteks misalnya hukuman mati, membela diri, atau kondisi perang. Pertanyaannya, siapakah yang menentukan sakral atau tidaknya hidup seseorang? Mengapa ada orang-orang yang seolah dibolehkan untuk dihilangkan nyawanya, sementara yang lain tidak? Bukankah harusnya kesakralan hidup berlaku untuk seluruh manusia?

Bahkan dalam ajaran lain seperti Jainisme atau Buddhisme, hidup yang sakral bukan hanya milik manusia, melainkan seluruh makhluk hingga mikroorganisme. Artinya, prinsip kesakralan hidup yang digunakan sebagai landasan anti euthanasia telah berkontradiksi dalam dirinya sendiri. Bahkan David Hume dalam esainya berjudul On Suicide mengatakan bahwa manusia kerap menganggap bahwa kematian adalah kehendak Tuhan, tapi di sisi lain mengusahakan obat dan penyembuhan, yang artinya "memanipulasi" kehendak Tuhan itu sendiri.  

Demikian sekelumit tentang euthanasia. Lengkapnya kita tunggu tulisannya terbit di Jurnal Etika Terapan. Mudah-mudahan terbit.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me