Skip to main content

Kesendirian

Meski aku sering kemana-mana sendiri, konsep kesendirian bukanlah hal yang akrab denganku. Maksudnya, dalam kesendirian, aku selalu terdistraksi, untuk nge- scroll Twitter, cari teman ngobrol di Whatsapp, atau apa sajalah yang penting jangan sampai jatuh pada kesunyian, jangan sampai sendiri banget . Tentu saja, seorang pengkaji filsafat harus punya waktu-waktu sendiri, untuk membaca teks secara intens, untuk berefleksi, aku butuh itu, tetapi sekali lagi, konsepnya bukan dalam kesendirian, tetapi lebih tepatnya: dalam sebuah lingkungan yang aku nyaman di dalamnya. Aku mesti membangun sekelilingku dulu, enjoy dengan itu, baru aku bisa menulis dan membaca dengan khidmat.    Apa bedanya konsep semacam itu dengan kesendirian? Beda. Kesendirian adalah kenyamanan akan diri, dalam diri, tanpa perlu sibuk menyiapkan lingkungan eksternal. Kesendirian adalah buah dari pergulatan batin yang sibuk, untuk kemudian tak lagi menganggap lingkungan eksternal sebagai sesuatu yang krusial, karena kit

Festival dan Penyelenggara yang Halu

Entah kenapa film dokumenter berjudul Fyre menarik perhatian saya di Netflix. Rupanya film tersebut menceritakan tentang festival musik besar-besaran yang semestinya diadakan bulan April - Mei 2017 tetapi gagal total karena mismanajemen dan pengelolaan keuangan yang buruk. Fyre Festival, yang digelar dalam rangka mempromosikan Fyre, aplikasi untuk memudahkan booking artis musik, rencananya diadakan di Kepulauan Bahama dengan gembar-gembor promosi oleh para influencer berstatus super model. Dalam promosi tersebut, Fyre Festival digambarkan sebagai festival musik yang menyuguhkan pengalaman tak terlupakan: diadakan di pulau terpencil yang dijangkau dengan pesawat baling-baling, para pengunjung akan menginap di vila mewah, disuguhi kuliner dari chef-chef ternama serta tentu saja, pertunjukkan musik dari band-band terkenal. 
 
Rick McFarland dan Ja Rule, inisiator Fyre Festival, terlihat sangat yakin rencana ini tidak hanya akan berjalan lancar, tapi juga menjadi festival bersejarah. Berkat geliat promosi yang bombastis, tiket terjual sangat cepat dari jauh hari dan investor tidak ragu-ragu untuk menggelontorkan dana. Sekilas dari segi pendanaan, Fyre Festival tampak bakal terselenggara dengan baik. Namun ternyata kenyataan benar-benar jauh dari harapan. McFarland selaku inisiator utama rupanya hanya menyuntikkan optimisme demi optimisme, tanpa benar-benar paham bagaimana harusnya festival musik besar diselenggarakan. Tidak mudah bagi pulau kecil berpopulasi 7000 orang untuk sekaligus menerima 500-an orang dalam satu waktu. 
 
Alhasil, masalah teknis seperti air, listrik, penginapan (yang sebenarnya belum disiapkan), ternyata harus dibangun ulang dan waktunya tidak cukup! Terlebih lagi, dana besar yang terkumpul dari penjualan tiket dan para investor tampaknya tidak tersalurkan dengan baik alias sebagian dibawa entah kemana oleh McFarland. Jadilah Fyre Festival tercatat dalam sejarah sebagai salah satu festival yang paling memberi harapan palsu, yang dalam judul film dokumenter itu disebut sebagai The Greatest Party That Never Happened
 
Dalam konteks yang lain, saya pernah berurusan dengan EO yang juga punya klaim megah tentang festival musik besar dengan segala proyeksi visual nan menggiurkan. Nasibnya kurang lebih tak jauh beda dengan Fyre Festival, meskipun tak dapat dikatakan gagal total, tetapi ekspektasi dan kenyataan begitu berlainan. Entah kenapa, meski tentu tak berlaku untuk semua penyelenggaraan festival musik, tetapi masalah yang kerap terjadi adalah bayangan tentang festival yang begitu indah sekaligus megah, justru menciptakan halusinasi yang berlebihan pada pihak penyelenggara. Mereka menjadikan halu-nya itu sebagai cara untuk meyakinkan investor, sponsor, penonton, sampai pengisi acara. 
 
Menariknya, namanya juga halu, penyelenggara itu sendiri dikelabui oleh bayangannya sendiri! Sama seperti McFarland yang masih saja optimis tentang Fyre Festival meskipun sudah dibui dan reputasinya sudah hancur lebur akibat uang 27 juta dollar yang entah kemana. Agak-agaknya, pada penyelenggara festival yang demikian, acara sudah dibayangkan terjadi bahkan sebelum benar-benar terjadi. Maksudnya, mereka-mereka ini tenggelam dalam imajinasinya tentang festival yang megah dan jadi sejarah, tetapi lupa bahwa agar semua itu terjadi, banyak perentilan yang mesti diselesaikan. Fyre Festival bisa sesumbar tentang banyak hal termasuk makanan lezat hasil karya para chef, tetapi acara mereka dihancurkan salah satunya oleh netizen yang mengunggah sebuah kenyataan pahit (dan menjadi viral): ternyata makanan yang dimaksud adalah roti keju dalam styrofoam. 
 
Para penyelenggara halu semacam ini biasanya hidup dalam ketinggian, membayangkan pesta saat dan sesudah acara, tetapi lupa daratan bahwa acara tak mungkin terselenggara jika tidak ada peran orang-orang yang seolah tak terlihat dalam panggung perayaan: petugas kebersihan, penyedia konsumsi, operator listrik, dan lain-lain yang terbukti dalam konteks Fyre Festval, sangat marah pada McFarland akibat kerja-kerjanya yang tak dibayarkan. 
 
Saya sudah pernah bekerja di bawah EO yang halu seperti itu, dan mereka agaknya, meski diteror oleh kemarahan warga, vendor, dan talent yang belum dilunasi, tetap santai-santai saja karena mereka senantiasa hidup dalam halusinasi tentang kemegahan festival, tempat mereka dielu-elukan sebagai pahlawan yang menyediakan oase bagi kehidupan urban yang selalu menuntut hiburan.

Comments

Popular posts from this blog

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1