Skip to main content

Kesendirian

Meski aku sering kemana-mana sendiri, konsep kesendirian bukanlah hal yang akrab denganku. Maksudnya, dalam kesendirian, aku selalu terdistraksi, untuk nge- scroll Twitter, cari teman ngobrol di Whatsapp, atau apa sajalah yang penting jangan sampai jatuh pada kesunyian, jangan sampai sendiri banget . Tentu saja, seorang pengkaji filsafat harus punya waktu-waktu sendiri, untuk membaca teks secara intens, untuk berefleksi, aku butuh itu, tetapi sekali lagi, konsepnya bukan dalam kesendirian, tetapi lebih tepatnya: dalam sebuah lingkungan yang aku nyaman di dalamnya. Aku mesti membangun sekelilingku dulu, enjoy dengan itu, baru aku bisa menulis dan membaca dengan khidmat.    Apa bedanya konsep semacam itu dengan kesendirian? Beda. Kesendirian adalah kenyamanan akan diri, dalam diri, tanpa perlu sibuk menyiapkan lingkungan eksternal. Kesendirian adalah buah dari pergulatan batin yang sibuk, untuk kemudian tak lagi menganggap lingkungan eksternal sebagai sesuatu yang krusial, karena kit

Debat dan Intelektualisme

Masyarakat kita sedang disuguhi tontonan debat demi debat dari capres dan cawapres untuk Pemilu 2024. Debat tersebut sekurang-kurangnya memberikan petunjuk bagi para calon pemilih tentang siapa yang lebih cakap, komunikatif, pandai beretorika, dan di sisi lain, tentang siapa yang lebih jelek dalam bersilat lidah. Dalam salah satu acara debat, kita lihat bagaimana capres nomor urut 01 (Anies Baswedan) dan capres nomor urut 03 (Ganjar Pranowo) tampak lebih fasih dalam bermain kata ketimbang capres nomor urut 02 (Prabowo Subianto) yang kelihatan emosional sepanjang forum. Intinya, dalam penilaian sebagian masyarakat, capres nomor urut 02 bisa dibilang "kalah" perkara debat ini. 

Pertanyaannya, apakah arena debat adalah barometer penting dalam menentukan kriteria pemimpin yang baik? Bisa jadi, jika debat berhubungan langsung dengan kemampuan berpikir. Sangat wajar jika kita menginginkan pemimpin yang pandai menggunakan akalnya sehingga terbayanglah imaji akan masyarakat yang diatur oleh rasio. Dalam masyarakat yang diatur berdasarkan rasio, masyarakat itu, di sisi lain, bisa mengajukan pemikirannya dan diterima oleh pemerintah jika ternyata alasannya masuk akal dan bisa dijustifikasi oleh pikiran.   

Namun kenyataannya, mengikuti sejumlah survei elektabilitas, capres 02 masih berpeluang besar untuk menjadi pemenang pemilu meski telah "dipermalukan" dalam arena debat. Mengapa bisa demikian? Ada hal menyedihkan yang mungkin perlu kita terima, bahwa tidak semua orang mengidamkan rasio sebagai panglima tertinggi dalam mengatur masyarakat. Capres 02 dikenal punya latar belakang militer salah satunya sebagai mantan Danjen Kopassus. Tidak seperti capres 01 dan capres 03, capres 02 tidak bisa dikatakan terlalu lekat dengan dunia akademik (meski ayahnya dulu menjabat menteri keuangan dan merupakan lulusan sekolah ekonomi di Belanda). Dengan karir militer yang demikian panjang, arena debat, yang mensyaratkan kemampuan bersilat lidah, mungkin agak tidak terlalu akrab bagi karir capres 02. 

Dalam dunia militer, adu argumen kelihatannya bukan tradisi utama terutama pada hierarki kepangkatan yang berbeda. Terhadap tentara yang lebih tinggi pangkatnya, seorang prajurit didorong untuk mematuhi perintah tanpa harus banyak-banyak mempertanyakan, apalagi memperdebatkan. Selain itu, kelihatannya perdebatan bukanlah suatu proses yang menarik dalam dunia kemiliteran karena hal yang lebih penting adalah setiap urusan diselesaikan dalam perspektif "keamanan". Jika perdebatan dipandang sebagai sebentuk "konflik", maka dunia militer lebih senang agar "konflik" semacam itu tidak perlu terjadi. Kehidupan bermasyarakat yang aman adalah kehidupan bermasyarakat yang minim "konflik", termasuk dalam bentuk perdebatan.

Sebaliknya, dunia akademik menuntut perdebatan terus menerus. Ilmu pengetahuan maju bukan karena kesepakatan, melainkan karena ketidaksepakatan. Hanya melalui "konflik" itulah sains justru bisa makin solid. Dengan demikian, sangat wajar jika sebagian dari kita terpukau dengan kemampuan berdebat capres 01 dan 03. Orang-orang (terutama pendukungnya, tentu saja) berdecak kagum dengan skill Anies dan Ganjar dalam menyajikan data dan mengajukan pertanyaan yang memojokkan lawan debatnya. Bagi Anies dan Ganjar yang punya latar belakang akademik yang kental, perdebatan pernah menjadi makanan sehari-hari, setidaknya di masa mereka berkuliah. Sayangnya, di sisi lain, kita juga menyaksikan pertunjukkan intelektualisme dari capres 01 dan 03 yang mungkin bagi sebagian masyarakat tidak terlalu solutif bagi kehidupan bernegara. 

Dengan demikian, saya mencoba memahami mengapa pendukung capres 02 ini masih saja berlimpah meski jagoannya tak mampu bersilat lidah. Alasannya, karena bagi para pendukung ini, mungkin, urusan negara tak melulu bisa diselesaikan dengan rasio, apalagi cuma sekadar intelektualisme yang mengandalkan kelihaian bicara atas nama "intelektualitas". Gaya militer, bagaimanapun, masih memikat bagi sebagian orang karena itu tadi: mengedepankan perspektif "keamanan", membuat segala "konflik" menjadi bungkam, sehingga imaji akan masyarakat, adalah imaji tentang "ketenangan" dan "kesunyian", persis seperti di era Orde Baru. 

Intelektualisme memang memukau, tetapi tak semua subjek yang mempraktikannya juga mampu bekerja dalam menyelesaikan persoalan. Sat set sat set ala militer bisa jadi lebih asyik karena cepat membereskan masalah tanpa perlu berwacana sana sini. Memang gerak gerik militer ini mengerikan bagi demokrasi sejati yang mengedepankan segala aspirasi. Namun tak semua orang senang dengan ketaksepahaman. Bagi sebagian masyarakat, suasana yang terlampau riuh adalah ancaman. Itu sebabnya, kita jangan kaget jika di luar sana, pendukung 02 masih banyak dan berlipat ganda: yakni mereka yang muak dengan intelektualisme.

Comments

Popular posts from this blog

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1