Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Pemilu

Apa pilihan kalian untuk pemilu yang akan berlangsung kurang dari dua minggu lagi? Saya sudah memutuskan untuk memberikan suara bagi Partai Buruh pada pemilihan umum legislatif (pileg), sementara untuk pemilihan umum presiden (pilpres) saya belum punya pilihan atau bisa saja tidak memilih. Tidakkah menarik andaikata saya tidak memilih siapapun atau ternyata pilihan saya kalah, saya mesti dipimpin oleh pemimpin hasil pilihan orang lain? Sebaliknya, jika pemimpin yang menang adalah hasil pilihan saya, tidakkah ada orang lain yang mesti rela dipimpin oleh orang yang tidak dipilihnya? Padahal bukankah mandat seorang pemimpin dari sebuah sistem bernama demokrasi mestilah berasal dari rakyatnya? Inilah hal yang unik dari demokrasi agregatif sebagaimana diterapkan oleh pemilu kita, dan juga pada banyak pemilu di negara-negara lain. Demokrasi agregatif mendasarkan pengambilan keputusan pada aspek kuantitatif. Dalam konteks pemilihan umum, suatu kontestan dikatakan menang jika mendapatkan suara terbanyak. Suara-suara lainnya, yang kalah banyak, boleh dibilang hangus. 

Apakah demokrasi semacam ini adalah sesuatu yang ideal? Kita bisa ragu untuk mengatakan bahwa terdapat demokrasi yang ideal. Namun kita bisa beri ilustrasi semacam ini untuk menggambarkan masalah dalam demokrasi agregatif: Terdapat sepuluh orang anak dalam sebuah kelas dan mereka dimintai pendapat oleh guru tentang apakah kegiatan belajar hari ini akan dilanjutkan atau anak-anak boleh pulang karena katakanlah, listrik di area sekolah padam sehingga lampu dan AC tidak nyala. Sembilan anak menyatakan dengan spontan ingin pulang sedangkan satu anak mengatakan ingin tetap belajar. Dalam demokrasi yang mengutamakan kuantitas, maka ini akan menjadi keputusan mudah: kelas bubar. Namun bagaimana nasib satu anak yang suaranya berbeda? Apakah hanya karena kalah suara, kemudian suaranya menjadi tak layak didengar? 

Bayangkan jika satu anak tersebut punya alasan yang begitu baik, "Meski hari ini mati lampu, bukan berarti kegiatan belajar mesti berhenti kan? Kita bisa misalnya belajar di taman supaya lebih terang dan di sana juga sedikit lebih sejuk. Kita bisa membaca buku masing-masing dan kemudian diskusi dengan guru. Setidaknya, kita tidak begitu saja menyerah karena keadaan ini dan memutuskan untuk pulang." Sementara itu, sembilan anak yang ingin pulang ternyata tidak punya alasan memadai. Mereka cuma ingin pulang saja. Jika keadaannya seperti ini, tidakkah suara satu orang anak tersebut juga patut dipertimbangkan dan bahkan terdengar lebih masuk akal ketimbang pilihan sembilan orang yang nyaris tak beralasan? 

Memang demokrasi tak cuma agregatif. Demokrasi juga bisa mengambil keputusan dengan mengandalkan konsensus atau kesepakatan. Untuk mencapai konsensus, setiap orang mesti berkompromi demi tercapainya kepentingan bersama. Jika dalam proses konsensus tersebut yang diutamakan adalah argumentasi rasional (dan biasanya begitu), maka demokrasi semacam ini kerap disebut dengan deliberatif. Dalam demokrasi deliberatif, suara satu anak tersebut mestinya dipertimbangkan dan bahkan bisa dijadikan keputusan jika ternyata sembilan anak lainnya mampu diyakinkan secara rasional. 

Meski demikian, kasus kemenangan suara sembilan anak versus satu anak ini bisa jadi tetap demokratis dalam pandangan pemikir semacam Rousseau. Rousseau berangkat dari pandangan bahwa manusia pada dasarnya baik, berhati jernih, dan selalu punya tendensi untuk memikirkan kebaikan bersama. Pandangan semacam ini berkebalikan dengan gagasan Hobbes yang melihat manusia pada dasarnya saling memangsa satu sama lain. Bagi Rousseau, sifat egois manusia datang karena kemajuan peradaban. Karena rasionalitas. Intuisi justru mendapat perhatian lebih dalam filsafat Rousseau. Dalam kaitannya dengan kasus sembilan versus satu tersebut, bagi Rousseau, keputusan spontan dari anak-anak yang sembilan justru lebih penting untuk didengarkan. Sementara itu, satu anak yang berbeda pendapat, yang punya alasan gemilang, bisa jadi hanya seorang egois yang menjauh dari apa yang disebutnya sebagai kehendak umum (general will). 

Kembali pada persoalan pemilu dalam kasus di Indonesia. Apakah kemenangan dengan suara terbanyak itu sama dengan kemenangan dari kehendak umum? Mestinya berbeda, karena kehendak umum adalah bayangan tentang kemufakatan. Dalam kasus pemilu, perbedaan pendapat ini bukan cuma tentang "satu anak versus sembilan" tapi bisa jadi 40% suara versus 60% suara. Bukankah suara yang 40% tersebut terlalu gegabah untuk dikatakan bahwa mereka adalah kumpulan orang-orang egois yang termakan rasionalitasnya sendiri? 

Jadi bagaimana, jika kita berbalik membela rasionalitas, apakah kita bisa memasukkan demokrasi deliberatif di sini untuk menentukan kepemimpinan? Alasannya sesederhana ketakpraktisan. Apakah 270 juta rakyat Indonesia seluruhnya dapat diajak berdiskusi untuk mencapai konsensus? Ini bukan demokrasi Athenian yang bisa mengumpulkan seluruh populasi dalam sebuah lapangan. Kalaupun ada yang disebut demokrasi deliberatif dalam kehidupan bernegara di Indonesia, kita melakukannya dalam level representasi. 270 juta rakyat tersebut memilih wakil-wakilnya untuk duduk di kursi DPR dan di sana mereka mungkin bisa berdiskusi karena jumlah peserta yang lebih memungkinkan. 

Meski terdengar lumayan ideal, di sini muncul masalah baru: apakah rasionalitas memang pantas jadi panglima dalam penentuan keputusan? Apakah mereka yang bersekolah tinggi-tinggi sehingga pandai menyusun argumen dan beretorika kemudian dapat dikatakan lebih rasional ketimbang mereka yang menyatakan pendapat murni berdasarkan intuisi? Rupanya sistem pemerintahan di Indonesia, meski kerap dituding sebagai buruk, korup, dan didominasi "kaum rasional" (baca: elit), ternyata memberi peluang bagi setiap warga negara untuk bisa tampil mewakili rakyat yang lebih banyak. Itu sebabnya, artis-artis boleh duduk di legislatif, yakni mereka yang mungkin secara stereotip bisa mendapatkan suara karena popularitasnya di media massa (entah karena pintar nyanyi, akting, atau ganteng/ cantik) dan bukan karena prestasinya di bidang rasional rasionil. 

Dengan demikian, tidakkah yang rasional dan "yang irasional" bertemu dengan baik dalam arena demokrasi konsensus yang di dalamnya berisi para peserta hasil pilihan rakyat? Semestinya demikian. Namun kenyataannya, terdapat faktor lain yang membuat model ini kerap gagal untuk mencapai proses pengambilan keputusan yang mendekati ideal. Utamanya karena faktor uang masih mendominasi alasan kuat mengapa seseorang dapat terpilih/ tidak. Mereka yang banyak uang, dapat menjalankan strategi lebih baik untuk melanggengkan dirinya ke kursi legislatif. Mereka yang punya uang lebih sedikit, meski dengan visi yang lebih serius, bisa gagal karena tidak bisa membayar "kursi caleg" (tak akan dibahas di sini) atau sekurang-kurangnya tidak bisa kampanye jor-joran dengan memasang baligo di sana sini. 

Pada pokoknya, secara sistem, Indonesia ini sudah lumayan untuk mengatasi problem ketimpangan dalam demokrasi (untuk ukuran negara yang berisi ratusan juta penduduk). Namun masalahnya terletak pada pembusukan sistem yang masih mengizinkan kekuasaan via uang untuk meningkatkan kans duduk di pemerintahan. Gara-gara uang inilah, faktor rasionalitas dan intuisi menjadi kabur. Orang bisa memilih wakil rakyat semata-mata karena uang dan hal tersebut bisa dijustifikasi baik oleh rasio maupun instingnya. Jadikan kesempatan menjadi lebih setara tanpa mempertimbangkan uang, mungkin kita kelak akan melihat demokrasi yang lebih baik, yang mana representasi yang duduk di kursi parlemen adalah mereka yang benar-benar secara organik mewakili rakyatnya, bukan yang dipaksakan karena punya lebih banyak alat untuk melancarkan jalan.

Yang dari tadi muter-muter dibahas adalah perkara wakil rakyat pada pileg untuk kemudian mereka berdemokrasi "konsensus" (diberi tanda kutip karena seringnya tak juga mencapai konsensus) di gedung parlemen. Sekarang, bagaimana dengan pilpres? Tak ada konsensus, apalagi deliberatif. Pemilihan pilpres adalah murni agregatif. Kemenangan pilpres adalah perkara "tirani mayoritas". Mereka yang rasional tak jadi penting, itu sebabnya pemimpin yang irasional pun bisa naik ke tampuk kekuasaan. Namun jangan khawatir, dari sini kita tahu bahwa terdapat banyak tipe demokrasi yang dimainkan dalam kehidupan bernegara kita. Hal yang lebih penting, jangan sampai kita kehilangan peluang untuk menjalankan demokrasi yang disensus atau demokrasi tentang perbedaan dan ketaksepahaman. Rasanya inilah jantung demokrasi, yang meski sulit mencapai mufakat, tetapi, kadang untuk apa segalanya mesti mufakat? Pada demokrasi yang di dalamnya terdapat banyak gesekan (karena suara-suara yang sama  nyaringnya), ini lebih penting dipelihara ketimbang pemilu lima tahunan.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me