Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Uang

Cita-cita punya banyak uang bukanlah hal yang aneh dan bahkan sudah menjadi motif tertinggi dalam hidup. Orang yang tidak ingin banyak uang kemudian dianggap aneh. Di sisi lain, ada juga ajaran asketik yang melihat uang sebagai sumber segala persoalan. Penolakan terhadap uang menjadi ekstrem dan bahkan kepemilikannya secara berlebihan dipandang sebagai dosa atau malapetaka. Menariknya, Georg Simmel, penulis Philosophy of Money melihat bahwa asketisisme soal uang lahir dari fenomena keberadaan uang itu sendiri. Artinya, tanpa adanya uang, tidak akan ada orang yang begitu serius mempertahankan diri dari godaan uang.

Lalu, kenapa uang begitu dikejar sekaligus ditolak? Apa yang sebenarnya dikejar atau ditolak dari sekadar kertas bergambar atau kepingan logam? Bayangkan kita membawa uang kertas satu milyar dalam sebuah kantong lalu terdampar di pulau terpencil yang kita tidak tahu negara mana yang berdaulat atas pulau tersebut. Terdapat ratusan penghuni asli pulau tetapi mereka hanya mengenal transaksi dengan menggunakan barter. Berhargakah uang satu milyar yang kita punya? Bisa jadi tidak sama sekali. Bahkan akan lebih berguna jika kantong uang dijadikan tempat tidur atau digunakan untuk mengelap keringat. Urusan menjadi agak lain jika yang kita bawa adalah uang logam emas atau perak dalam sebuah peti. Mungkin uang tersebut berharga jika penduduk setempat juga menganggap logam mulia sebagai benda berharga. Namun uang kertas hampir pasti tidak berarti apa-apa (kecuali penduduk setempat punya perlakuan tinggi terhadap kertas). 

Uang dibuat sesederhana karena alasan bahwa sistem barter tidak selalu berhasil dalam menakar transaksi yang adil. Saya ingin apelmu, tapi saya hanya punya bawang untuk mendapatkan apelmu. Kalau kamu merasa bawang ini layak untuk ditukar dengan apelmu, maka lakukanlah. Namun bagaimana jika tidak? Disinilah uang berperan, supaya apelmu aku tukar dengan uang, dan kamu bebas menggunakan uang tersebut untuk hal lain selain bawang yang aku tawarkan. Namun untuk sesuatu itu dikatakan sebagai uang tentu tidak sesederhana memungut suatu benda dan menyebutnya sebagai uang. Harus terjadi sebuah kesepakatan bahwa sesuatu dapat disebut uang dan sah difungsikan sebagai alat tukar. 

Kesepakatan saja pun belumlah cukup. Sesuatu bisa menjadi uang jika berasal dari benda yang dipandang cukup berharga dalam masyarakat itu. Sebagai contoh, masyarakat di pantai agak sukar menjadikan kerang sebagai uang. Mengapa? Karena kerang mudah ditemukan di pantai. Dengan demikian nilainya menjadi kurang berharga. Beda halnya jika kerang tersebut digunakan sebagai alat tukar bagi masyarakat di pegunungan, tentu menjadi lebih bisa dipahami. 

Itulah juga yang kemudian menjadi alasan mengapa logam mulia lebih mudah disahkan sebagai uang. Logam mulia, selain cenderung sukar didapat, juga lebih tahan lama. Masyarakat di pegunungan mungkin sukar mendapatkan kerang, tetapi kerang cenderung mudah rusak ketimbang logam mulia. Sementara uang, karena harus bisa disimpan untuk sementara waktu, tidak bisa berasal dari suatu benda yang mudah rusak. Betul, itulah sifat uang yang penting. Berbeda dengan menumpuk bahan makanan yang akan basi, menumpuk uang tidak akan "basi". Juga uang harus bisa disimpan karena meskipun saya baru saja menukar apelku dengan uang, saya tidak perlu menukarkan uang tersebut dengan segera karena katakanlah, saya sedang tidak benar-benar membutuhkan apapun untuk mengganti si apel yang telah pergi. 

Uang semakin kuat untuk disimpan karena dijamin oleh otoritas. Kita bisa kembali pada kasus pulau di atas. Uang tidak berharga di pulau terpencil tersebut karena tiada otoritas yang mampu menjaminnya. Dengan demikian kita bisa sekaligus membayangkan jika negara Indonesia bubar besok, maka seluruh uang yang kita punya menjadi tak berharga. 

Kita kembali pada pertanyaan awal tentang mengapa uang bisa demikian dikejar sekaligus ditolak. Seperti dijabarkan, uang bisa disimpan, uang bisa digunakan untuk apa saja selain harus mengambil "bawangmu", dan uang dijamin oleh otoritas yang tidak terbayang bubar setidaknya dalam 100 tahun mendatang. Tidak salah jika uang kemudian menjadi ekuivalen dengan "keabadian" (bisa disimpan), "kebebasan" (bisa digunakan untuk apa saja), dan "kekuatan" (dijamin oleh otoritas). Padahal semuanya bermula dari suatu benda yang dimaknai oleh masyarakat itu sendiri. 

Dengan demikian, menjadi tidak sukar bagi kita untuk memahami adanya asketisisme terhadap uang. Penolakan terjadi karena berpandangan bahwa konsep "keabadian", "kebebasan", dan "kekuatan" semestinya tidak muncul dari suatu berhala yang "diciptakan" oleh manusia itu sendiri. Selain itu, asketisisme terhadap uang juga bisa jadi meneruskan pandangan bahwa konsep "keabadian", "kebebasan", dan "kekuatan" itu ujung-ujungnya hanya menjadi validasi terhadap rasa cinta diri. Demikianlah soal uang.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me