Cita-cita punya banyak uang bukanlah hal yang aneh dan bahkan sudah menjadi motif tertinggi dalam hidup. Orang yang tidak ingin banyak uang kemudian dianggap aneh. Di sisi lain, ada juga ajaran asketik yang melihat uang sebagai sumber segala persoalan. Penolakan terhadap uang menjadi ekstrem dan bahkan kepemilikannya secara berlebihan dipandang sebagai dosa atau malapetaka. Menariknya, Georg Simmel, penulis Philosophy of Money melihat bahwa asketisisme soal uang lahir dari fenomena keberadaan uang itu sendiri. Artinya, tanpa adanya uang, tidak akan ada orang yang begitu serius mempertahankan diri dari godaan uang.
Lalu, kenapa uang begitu dikejar sekaligus ditolak? Apa yang sebenarnya dikejar atau ditolak dari sekadar kertas bergambar atau kepingan logam? Bayangkan kita membawa uang kertas satu milyar dalam sebuah kantong lalu terdampar di pulau terpencil yang kita tidak tahu negara mana yang berdaulat atas pulau tersebut. Terdapat ratusan penghuni asli pulau tetapi mereka hanya mengenal transaksi dengan menggunakan barter. Berhargakah uang satu milyar yang kita punya? Bisa jadi tidak sama sekali. Bahkan akan lebih berguna jika kantong uang dijadikan tempat tidur atau digunakan untuk mengelap keringat. Urusan menjadi agak lain jika yang kita bawa adalah uang logam emas atau perak dalam sebuah peti. Mungkin uang tersebut berharga jika penduduk setempat juga menganggap logam mulia sebagai benda berharga. Namun uang kertas hampir pasti tidak berarti apa-apa (kecuali penduduk setempat punya perlakuan tinggi terhadap kertas).
Uang dibuat sesederhana karena alasan bahwa sistem barter tidak selalu berhasil dalam menakar transaksi yang adil. Saya ingin apelmu, tapi saya hanya punya bawang untuk mendapatkan apelmu. Kalau kamu merasa bawang ini layak untuk ditukar dengan apelmu, maka lakukanlah. Namun bagaimana jika tidak? Disinilah uang berperan, supaya apelmu aku tukar dengan uang, dan kamu bebas menggunakan uang tersebut untuk hal lain selain bawang yang aku tawarkan. Namun untuk sesuatu itu dikatakan sebagai uang tentu tidak sesederhana memungut suatu benda dan menyebutnya sebagai uang. Harus terjadi sebuah kesepakatan bahwa sesuatu dapat disebut uang dan sah difungsikan sebagai alat tukar.
Kesepakatan saja pun belumlah cukup. Sesuatu bisa menjadi uang jika berasal dari benda yang dipandang cukup berharga dalam masyarakat itu. Sebagai contoh, masyarakat di pantai agak sukar menjadikan kerang sebagai uang. Mengapa? Karena kerang mudah ditemukan di pantai. Dengan demikian nilainya menjadi kurang berharga. Beda halnya jika kerang tersebut digunakan sebagai alat tukar bagi masyarakat di pegunungan, tentu menjadi lebih bisa dipahami.
Itulah juga yang kemudian menjadi alasan mengapa logam mulia lebih mudah disahkan sebagai uang. Logam mulia, selain cenderung sukar didapat, juga lebih tahan lama. Masyarakat di pegunungan mungkin sukar mendapatkan kerang, tetapi kerang cenderung mudah rusak ketimbang logam mulia. Sementara uang, karena harus bisa disimpan untuk sementara waktu, tidak bisa berasal dari suatu benda yang mudah rusak. Betul, itulah sifat uang yang penting. Berbeda dengan menumpuk bahan makanan yang akan basi, menumpuk uang tidak akan "basi". Juga uang harus bisa disimpan karena meskipun saya baru saja menukar apelku dengan uang, saya tidak perlu menukarkan uang tersebut dengan segera karena katakanlah, saya sedang tidak benar-benar membutuhkan apapun untuk mengganti si apel yang telah pergi.
Uang semakin kuat untuk disimpan karena dijamin oleh otoritas. Kita bisa kembali pada kasus pulau di atas. Uang tidak berharga di pulau terpencil tersebut karena tiada otoritas yang mampu menjaminnya. Dengan demikian kita bisa sekaligus membayangkan jika negara Indonesia bubar besok, maka seluruh uang yang kita punya menjadi tak berharga.
Kita kembali pada pertanyaan awal tentang mengapa uang bisa demikian dikejar sekaligus ditolak. Seperti dijabarkan, uang bisa disimpan, uang bisa digunakan untuk apa saja selain harus mengambil "bawangmu", dan uang dijamin oleh otoritas yang tidak terbayang bubar setidaknya dalam 100 tahun mendatang. Tidak salah jika uang kemudian menjadi ekuivalen dengan "keabadian" (bisa disimpan), "kebebasan" (bisa digunakan untuk apa saja), dan "kekuatan" (dijamin oleh otoritas). Padahal semuanya bermula dari suatu benda yang dimaknai oleh masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian, menjadi tidak sukar bagi kita untuk memahami adanya asketisisme terhadap uang. Penolakan terjadi karena berpandangan bahwa konsep "keabadian", "kebebasan", dan "kekuatan" semestinya tidak muncul dari suatu berhala yang "diciptakan" oleh manusia itu sendiri. Selain itu, asketisisme terhadap uang juga bisa jadi meneruskan pandangan bahwa konsep "keabadian", "kebebasan", dan "kekuatan" itu ujung-ujungnya hanya menjadi validasi terhadap rasa cinta diri. Demikianlah soal uang.
Comments
Post a Comment