Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Hidup yang (Tidak) Dilindungi

Setiap hari kita bertemu macam-macam orang tak dikenal. Kita tidak tahu apakah orang-orang tersebut baik atau jahat. Mereka bisa saja tiba-tiba memukul atau bahkan saling menusuk satu sama lain. Kita tidak pernah tahu. Bahkan pada orang yang dikenal pun, kita tidak pernah tahu kalau ternyata tetangga kita, misalnya, sudah merencanakan sejak lama untuk menggarong rumah kita (padahal sehari-harinya tetangga tersebut tampak sangat ramah). Manusia kemudian berandai-andai, bahwa terdapat semacam aturan yang membuat orang tidak bisa serta merta berbuat semaunya terhadap sesama. Misalnya, aturan persaudaraan (dia itu adikku, masa tiba-tiba memukul?), aturan yang diberlakukan oleh agama (menjadi berdosa jika seseorang menyakiti orang lain), atau aturan masyarakat (memukul orang yang tidak bersalah itu tidak baik). Aturan lainnya adalah hukum dan tadinya saya tidak pernah benar-benar memikirkan faktor ikatan semacam ini. 

 Mengapa saya tiba-tiba memikirkan perkara aturan hukum ini? Sering kita berhadap-hadapan dengan orang lain dalam suatu situasi. Mungkin situasi tersebut bukan situasi yang terlalu nyaman dan malah berpotensi menciptakan konflik. Misalnya, kita duduk bersama untuk membicarakan soal jual beli tanah. Kita bisa berdebat karena tak kunjung sepakat soal harga dan berujung cekcok. Meski merasakan suatu ketegangan, tapi terdapat pula kenyamanan yang aneh. Kenyamanan bahwa masing-masing dari kita dilindungi oleh hukum sehingga tak bisa sembarangan menyakiti satu sama lain. Kalaupun tiba-tiba terjadi benturan fisik dan salah satunya tak bisa berkelahi, ia bisa melapor ke polisi. Sebenci-bencinya kita pada perangkat hukum dan negara, tak bisa dipungkiri bahwa sebagai warga negara yang memiliki KTP, kita memiliki perlindungan secara hukum. Klise memang, tetapi mari kita ambil contoh dari kasus yang heboh sejak beberapa bulan belakangan soal pengungsi. 

Indonesia, terutama wilayah Aceh, kedatangan pengungsi Rohingya, kelompok etnis dari Myanmar yang mayoritas beragama Islam. Gelombang pengungsi Rohingya ini bukanlah yang pertama kali, tetapi menjadi heboh pada Desember 2023 kemarin saat mahasiswa bergerombol datang untuk mengusir para pengungsi. Para pengungsi, yang banyaknya adalah perempuan dan anak-anak, jelas ketakutan melihat mahasiswa-mahasiswa yang beringas. Mereka merasa nyawanya terancam, tetapi lebih daripada itu, para pengungsi tidak dilindungi oleh hukum. Mereka berstatus bukan warga negara manapun (stateless) dan maka itu hukum mana yang melindungi mereka dari disakiti dan bahkan dibunuh? 

Giorgio Agamben adalah salah satu filsuf yang memikirkan soal ini. Dalam keadaan darurat, kata Agamben, negara bisa menyatakan eksklusi terhadap warga tertentu sehingga mereka dilucuti dari hak-haknya dalam hukum. Dampak dari pelucutan ini adalah "hidup yang telanjang", yang membuat orang-orang yang dieksklusi tersebut menjadi terbuka untuk diperlakukan apapun dan perlakuan merugikan terhadap mereka tidak membuat si pelaku mendapat hukuman. 

Inilah yang sebenar-benarnya terjadi pada orang-orang Rohingya. Dalam sejarahnya, mereka tidak hanya dipersekusi, melainkan juga "dibiarkan untuk dipersekusi". Negara tidak selalu mau untuk mengotori tangannya dengan cara eksekusi langsung, tetapi mereka memberlakukan eksklusi itu dan membiarkan kelompok tertentu mati karena tiada perlindungan hukum. Bukankah hal demikian juga yang terjadi pada para korban 65?

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me