Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Catatan Awal Tahun

Alhamdulillah, akhirnya tahun 2009 terlewati juga. Tahun yang bagi saya, salah satu yang berkesan. Berkesan dalam artian, di tahun ini, saya mendapatkan banyak pengalaman baru. Dan pemaknaan baru. Ada hal-hal yang dulunya saya tak paham, sekarang jadi paham. Atau entah saya merasa paham padahal sebenarnya belum, atau dari dulu sudah paham tapi sekarang tambah paham. Memangnya paham itu apa sih?

Yang pasti begini, apapun yang saya alami di tahun 2009 kemarin, ternyata sukses membuat saya sungguh-sungguh menatap 2010. Saya, untuk pertama kalinya, membuat daftar resolusi. Daftar resolusi yang bagi saya, terlampau rinci dan penuh perencanaan. Membuat tahun 2010 terasa dingin dan kaku, bagaikan angka-angka di microsoft excel. Membuat tahun 2010 terasa singkat dan padat, karena memang saya padatkan dalam perencanaan. Bukankah iya, segala perencanaan adalah seolah-olah menafikan bahwa hidup itu punya kejutan? Tidakkah jika Hume masih hidup, ia akan menertawakan daftar resolusi kita semua? Sambil berkata: "Bahkan kau tidak bisa menjawab apakah besok matahari masih terbit atau tidak."

Pertama, Alhamdulillah, Hume sudah lama tiada. Kedua, ini sepertinya klise, karena dulu prinsip saya tak begini. Ini baru-baru saja saya renungkan, dan rasanya naif sekali, bahwa: Coelho benar, bahwa jika kita sungguh-sungguh, alam semesta akan mendukung. Atau bahasa yang lebih religius: jika kita niat, maka akan terjadi. Kalau tidak terjadi? kurang niat namanya.

Saya kecewa sebenarnya mengatakan hal di atas. Rasanya percuma saja belakangan belajar filsafat serius, kalau ujung-ujungnya menyandarkan diri pada ungkapan klise yang berbau "iman". Tapi kekecewaan itu akhirnya berkurang sedikit-sedikit, ketika saya tahu, justru filsafatlah yang mengantarkan saya pada pemahaman lebih dalam terhadap ungkapan klise tersebut. Filsafat sukses meyakinkan seperti yang Kierkegaard bilang: "Nalar harus dipakai terus, agar kita tahu keterbatasannya". Dan wahai Kierkegaard, terlalu naif jika saya sudah mengatakan saya telah mencapai ujung nalar. Tapi bolehkah, sebagai manusia yang mana kebebasannya pun punya batas, saya menarik kesimpulan sementara, dengan melihat iman sebagai oase di tengah gurun. Untuk kemudian, sang nalar berhenti disana, minum air dan menggelar tenda. Sebelum melanjutkan perjalanan mencari batas entah dimana.

Tahun 2010, sudah siap saya tatap. Ditatap tak cukup, mestilah dihampiri dengan berani. Tahun yang menurut rencana saya, haruslah menjadi momen yang lebih baik untuk mengenal diri saya sendiri. Yang korelasinya mengarah pada apa yang kata Gibran: "Kenalilah dirimu, maka kau akan tahu siapa Ibumu". Ya, orangtua saya, yang belakangan saya berpikir mereka sebagai orang-orang yang sangat mulia, karena "menghabiskan lebih dari separuh hidupnya untuk mencoba memahami anak yang secara tak adil tak pernah mencoba memahami orangtuanya". Tapi adakah bersitan dalam benak mereka, bahwa itu memang tak adil? Saya tak tahu perasaan mereka, tapi yang saya yakini: buat mereka, ini semua adil. Secara mengejutkan ini adil.

Maka itu, ya Allah. Berikanlah saya kekuatan di tahun 2010. Kekuatan untuk menjalani hidup yang, bukan benar ya Allah, tapi punya makna. Punya sesuatu yang bisa saya bagi untuk saya sendiri, orangtua saya, saudara saya, sahabat-sahabat saya, kekasih saya, dan orang lain. Karena saya, kita semua, berhutang pada semua manusia, seperti yang Gibran bilang.

Buatlah saya mengetahui banyak hal, hanya demi tujuan: bahwa nantinya saya jadi orang yang menyadari bahwa saya tak tahu apa-apa. Buatlah saya, ya Allah, menggunakan akal dan nalar, serta berbagai pertimbangan rasional dalam mempertimbangkan segala. Tapi di ujung keputusannya, tinggal hati nurani yang berbicara.

Buatlah saya, ya Allah, selalu disadarkan bahwa tak ada apapun yang saya terima ini kurang atau berlebihan. Karena segalanya cukup, hanya ketika saya bersyukur.

Buatlah saya, ya Allah, mencintai dunia ini. Bukan dalam rangka menafikan akhirat dan segala tetek bengek surgawi. Tapi karena sungguh, dunia ini menyimpan banyak keindahan dan misteri. Yang membuat saya sadar bahwa di dunia ini, ada surga itu sendiri.

Buatlah saya, ya Allah, sadar akan segala kesalahan. Dan memperbaikinya dalam tingkah laku perbuatan.

Buatlah saya, ya Allah, menyayangi kedua orangtua saya. Bukan semata-mata karena suatu hari barangkali saya jadi orangtua dan oleh karena itu saya takut hukum karma. Tapi karena, alasan apakah gerangan kita tidak menyayangi mereka?

Buatlah saya, ya Allah, berguna untuk dunia, berguna untuk semesta. Tidak harus dengan cara meluncurkan manusia ke Planet Venus atau memenangkan pemilu di Amerika atau menjadi aktivis Free Mason. Tapi dengan mencintai apa yang bisa dicintai dalam juluran tangan-tangan kecil yang saya punya. Dengan memberi apa yang bisa saya genggam dalam telapak tangan yang saya punya. Dan dengan berbuat lewat tubuh peluh yang kelak akan menua.

Buatlah saya, ya Allah, sering berdoa dan meminta kepadamu. Bukan karena saya tahu kau akan mengabulkannya. Tapi karena saya tahu, dengan berdoa, maka tak ada gunanya menganggap diri kita pusat semesta.

Buatlah saya, ya Allah, bertemu para personel Metallica. Karena sungguh, ya Allah, mereka keren.

Amin ya Rabbal Alamiin.
Selamat tahun baru semuanya. Selamat datang Januari: Janus si Muka Dua.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1