Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Catatan Harian Seorang Suporter: Drama Antrian Enam Belas Jam

Awalnya, saya tidak ada niat mengantri tiket Final Piala AFF, sehubungan dengan janji kawan yang sanggup menyediakan tiket via kenalannya. Ternyata janji itu mendadak batal, akibat distribusi tiket dari PSSI yang sama sekali beda dengan babak-babak sebelumnya. Kawan saya bilang, singkatnya, “Yang sekarang beda, kita mesti ngantri.” Saya jawab, “Oke, ga masalah, dari abis maghrib gimana?” “Yah, jangan abis magrib banget lah, jam dua belas aja ya?” Singkat kata, kami mencapai kata sepakat untuk antri sejak jam dua belas malam. Sebagai informasi, loket konon baru dibuka antara jam sembilan atau jam sepuluh pagi. Malam itu sudah lewat jam dua belas ketika kami tiba di parkiran loket yang terletak di pintu utama. Ternyata antrian sudah cukup panjang, sekitar dua ratus meter. Tiket yang dilepas seharga 50.000 Rupiah itu telah ditunggui orang bahkan dari sejak jam sembilan malam.

Kami, berempat jumlahnya, mengampar beralaskan koran. Saya pribadi sulit tidur nyenyak, karena perasaan campur aduk. Takut barang hilang, takut antrian tersalip, kadang terganggu oleh teriakan tukang dagang, ada juga perasaan deg-degan membayangkan besok apa yang terjadi ketika loket dibuka. Keakraban antar suporter sering terasa baik lewat guyonan maupun berbagi perasaan soal distribusi tiket yang kurang baik dan situasi PSSI di bawah kepemimpinan Nurdin Halid. Dari awal saya mengantri, saya tahu bahwa para pengantri ini murni ingin menyaksikan tim kesayangannya, tidak ada satupun pikiran dalam benak saya yang mengatakan bahwa para suporter disusupi perusuh (seperti yang biasa dituduhkan jika ada kerusuhan suporter). Kawan saya melontarkan guyonan satir, ”Aneh yah, malam ini timnas maen lawan Malaysia di Bukit Jalil, tapi kok kita ngantri di Gelora Bung Karno.” Iya, sebagai informasi, final Piala AFF berlangsung dua kali. Yang pertama di kandang Malaysia tanggal 26 Desember, yang kedua barulah di Gelora Bung Karno tanggal 29 Desember.

Matahari terbit, antrian mulai bergerak sedikit demi sedikit. Suporter sangat solider dengan berani meneriaki mereka yang kelihatan menyalip. Menjelang jam sembilan pagi, sudah kelihatan ada beberapa suporter paling depan yang masuk mengambil nomor antrian. Sebagai informasi, mekanisme pembelian tiket ini sangatlah rumit dan sama sekali tidak mengakomodasi jumlah massa yang berlimpah. Tanggal 26 Desember, menurut jadwal, adalah saat dimana kita mengantri dua tahap. Pertama demi nomor antrian, kedua, nomor antrian ditukar kupon. Kupon? Ya, dan kupon barulah ditukar tiket asli pada tanggal 28 Desember. Ribetkah? Iya, sangat ribet, terutama jika mengingat antrian tiket bioskop jauhlah lebih sederhana. Terlebih jika mengingat PSSI sebenarnya bisa mempermudah distribusi tiket lewat agen-agen yang disebar di luar stadion atau memaksimalkan penjualan online yang sebenarnya bukan sesuatu yang sulit.

Menit demi menit menjelang jam sepuluh, suasana antrian memanas. Terutama disebabkan udara Jakarta yang panas dan situasi antrian yang sangat berdempetan hingga berjongkok pun sulit. Setiap antrian bergerak, seringkali tidak ada keteraturan sehingga beberapa kali terdengar ada keributan di antrian belakang saya. Polisi atau keamanan cuma kelihatan satu-dua, sehingga mustahil melakukan penertiban terhadap ribuan suporter. Antrian mulai kacau ketika saya merasakan adanya dorongan dari belakang yang menyebabkan kawan-kawan sebarisan hampir terjatuh. Suporter mulai tidak sabar karena oksigen menipis, “Buka, buka, buka loketnya!” Begitu teriak mereka. Merasa volume suporter sudah sesak, beberapa orang merusak pagar pembatas semata-mata agar lebih leluasa. Saya ingat ada perempuan di depan yang nyaris kehabisan napas, ia selamat justru karena lolos ke pagar pembatas yang dirusak itu. Akhirnya, karena sayapun nyaris kehabisan napas, saya tak berpikir lagi untuk tetap di antrian, tapi fokus bagaimana caranya untuk selamat dari kerumunan. Ternyata antrian memang sejatinya sudah bercerai dan orang-orang di depan terlihat sedang menghancurkan pagar serta kursi-kursi. Saya mengikuti kemana arah suporter berlari, dan ternyata menemukan loket yang kosong! Kosong entah kenapa, entah kemana si penjaga, yang bikin emosi saya juga tersulut. Membuat saya bisa memaklumi anarkisme para suporter karena saya pun merasa membakar loket adalah ide yang bagus! Antri dua belas jam dengan jarak ke loket cuma sekitar dua ratus meter, ternyata hanya disambut loket kosong.

Usut punya usut para penjaga loket sudah kabur karena situasi tak terkendali. Kenapa tak terkendali? Karena pengamanan sedikit. Kenapa sedikit? Pasti karena PSSI pelit, tak mau bayar keamanan. Pasti karena PSSI tak belajar dari kerusuhan penjualan tiket sebelumnya. Kami juga sering berteriak, ”Petugas, tolong atur kami!” Menunjukkan bahwa kami tak berdaya oleh kekuatan yang kami buat sendiri. Jam demi jam berikutnya adalah neraka, karena kami dibuat bingung oleh berbagai penantian yang tak pasti. Ada yang tetap memilih bertahan di loket, ada yang memilih merangsek ke stadion, dan ada juga yang pulang saja karena situasi mulai mengkhawatirkan. Harapan tertinggi datang ketika polisi mengatur suporter untuk berbaris bergandengan sehingga barisan menjadi tertib. Itu terjadi sekitar pukul satu, tanpa kita tahu barisan ini berujung kemana.

Ternyata, panitia dan polisi menggiring kami masuk ke tribun dan menyaksikan hijaunya lapangan GBK. Di tribun, ya barisan yang manis itu pecah kembali karena penonton jadinya duduk-duduk saja secara bebas. Di lapangan, terlihat beberapa gelintir polisi saja, yang tak lama kemudian dikerumuni massa lagi. Entah kenapa, mungkin karena mereka kembali menjanjikan tiket. Saya sendiri sudah kelelahan akibat mengantri selama hampir enam belas jam: berpanas-panas dan bergencet-gencetan. Saya memilih kursi di Royal Box, yaitu kursi tempat SBY dan Nurdin Halid biasa duduk. Di kiri kanan suporter beragam tingkahnya, ada yang duduk tertib, ada yang menghancurkan kursi. Sedangkan pemandangan di lapangan seperti pasar Gasibu, orang dimana-mana tak teratur dan ikut kemanapun yang menjanjikan kupon atau tiket.

Pada titik ini saya sudah menyerah. Menyerah dalam artian, saya tidak berminat lagi tiket final Piala AFF, karena saya sudah mendapatkan lebih dari sekedar tiket. Saya belajar soal nasionalisme, soal solidaritas, soal kesabaran, soal kebobrokan sistem, dan soal budaya mengantri. Dari situ saya berpikir, sebenarnya apa yang saya cari di sini? Tiket kah, atau euforia kah? Karena jangan-jangan setiap persona yang menonton di stadion, mereka tidak hendak menyaksikan sepakbola dalam arti sebenarnya. Menyaksikan sepakbola jelas lebih nyaman di televisi, oleh sebab sudut pandang yang beragam dan adanya tayangan ulang. Tapi kualitas visual objek saja tidak cukup, manusia perlu merasakan gairah untuk merangkul objek itu ke dalam diri. Dan gairah sejati barangkali ketika mata tidak punya halangan apa-apa terhadap objek yang ditujunya. Kita bisa ikut merasakan penderitaan korban Merapi via televisi, tapi mereka yang datang kesana tidak hanya ingin membantu semata, tapi juga ingin merasakan gairah sejati berada dekat dengan objeknya. Tidak terhalang layar, tidak terhalang teks berita. Demikianlah pengindraan menjadi penting, menjadi suatu medium kuat yang mampu menghantarkan listrik kehidupan ke batin kita. Terima kasih para suporter, sesungguhnya gairah sepakbola tak hanya terjadi kala menyaksikan langsung jagoan kita berlaga, tapi juga ketika kita semua bersatu mengekspresikan cinta dan benci sama-sama.

Ditulis pasca kekalahan timnas 0-3 dari Malaysia yang saya tidak mau membahasnya.

Comments

  1. Ditunggu perenungannya atas pengalaman mengantri belasan jam untuk tiket Kangen Band

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1