Meski aku sering kemana-mana sendiri, konsep kesendirian bukanlah hal yang akrab denganku. Maksudnya, dalam kesendirian, aku selalu terdistraksi, untuk nge- scroll Twitter, cari teman ngobrol di Whatsapp, atau apa sajalah yang penting jangan sampai jatuh pada kesunyian, jangan sampai sendiri banget . Tentu saja, seorang pengkaji filsafat harus punya waktu-waktu sendiri, untuk membaca teks secara intens, untuk berefleksi, aku butuh itu, tetapi sekali lagi, konsepnya bukan dalam kesendirian, tetapi lebih tepatnya: dalam sebuah lingkungan yang aku nyaman di dalamnya. Aku mesti membangun sekelilingku dulu, enjoy dengan itu, baru aku bisa menulis dan membaca dengan khidmat. Apa bedanya konsep semacam itu dengan kesendirian? Beda. Kesendirian adalah kenyamanan akan diri, dalam diri, tanpa perlu sibuk menyiapkan lingkungan eksternal. Kesendirian adalah buah dari pergulatan batin yang sibuk, untuk kemudian tak lagi menganggap lingkungan eksternal sebagai sesuatu yang krusial, karena kit
Musik klasik adalah musik yang amat direkomendasikan sebagai dasar bagi segala jenis musik. Kita diberinya pelajaran tentang penjarian, ritem, melodi, harmoni, dinamika, penghayatan, kalimat musik, dan lain-lain secara lengkap dan komprehensif. Saya belajar musik klasik sejak sekitar lima belas tahun yang lalu dan bisa dibilang secara formal dan tersertifikasi, pengetahuan-pengetahuan yang disebutkan di atas sudah saya kuasai. Namun apakah dengan demikian saya sudah mengerti apa itu musik? Ternyata tidak sama sekali.
Misalnya, saya belajar untuk mempelajari tanda-tanda dinamika dalam rangka mencapai satu penghayatan yang maksimal. Saya mengetahui segala rambu-rambu musikal mulai dari pelan, keras, semi-pelan, semi-keras, hingga gradasi dari pelan ke keras ataupun sebaliknya. Namun ketika saya main dengan musisi bermusikalitas tinggi semisal Kang Ammy Kurniawan, pengetahuan tentang tanda dinamika yang canggih itu mendadak hilang. Saya bingung luar biasa dan seperti anak baru belajar doremifasol. Begitupun ketika diminta berimprovisasi baik lewat melodi maupun akor, berbagai pengetahuan saya tentang tangga nada dan akor yang hapal mati menguap begitu saja entah kemana. Adakah saya gagal dalam mengartikulasikan arti musik dalam "kehidupan"?
Memang iya, saya gagal. Berbelas tahun belajar musik klasik dengan segala tetek bengeknya, ternyata saya sadari itu belum musik. Saya masih digelayuti awan hitam eksklusifitas, formalisme, saintifikasi seni, dan dikotomi-dikotomi antara musik tinggi dengan musik praktis. Dalam ajaran Kang Ammy, musik itu sederhana seperti halnya kehidupan. Tapi kehidupan menjadi tidak sederhana oleh sebab awan hitam yang kadang-kadang kita ciptakan sendiri juga.
Jadi sekarang saya belajar musik lagi dari nol. Saya mencapainya bukan lagi lewat teori-teori formal yang kaku dan malah justru "non-musikal". Saya belajarnya lewat membuka telinga lebih banyak pada kehidupan. Melodi, ritem, harmoni, dinamika, kalimat, hingga penghayatan itu jangan-jangan sangat natural dan sekaligus juga manusiawi -ia bukan suatu imitasi dari invisible world seperti yang diungkap oleh Giuseppe Mazzani-. Harusnya musik dan kehidupan itu sejalan karena keduanya sungguh adalah dua hal yang sama. Semoga pencarian saya berhasil suatu hari entah kapan.
Tetap semangat :)
ReplyDelete