Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Dan Bandung ...


Awal bulan Desember 2021, saya mendapat kabar bahwa istri mesti bekerja di Jakarta, daerah Kelapa Gading. Berita yang mengejutkan, karena wawancara kerjanya sendiri dilakukan di Bandung dan kami mengira akan ditempatkan di Bandung (jika lolos). Ternyata, istri mesti menjalani pelatihan di Jakarta selama tiga bulan dan jika berhasil melewatinya, minimal mesti setahun bekerja di Jakarta, sebelum (mungkin) dipindahkan ke Bandung. Memang, ini "cuma" Jakarta, yang jaraknya hanya sekitar 120 kilometer dari Bandung, yang jika tidak macet, bisa dicapai dalam waktu dua setengah jam saja. Namun bagi saya, yang seumur hidup tidak pernah tinggal lama di luar kota, kepindahan ini agak mengagetkan dan pada titik tertentu, menimbulkan kegalauan yang lumayan. 

Saya bahkan tidak berpikiran sama sekali untuk pergi dari Bandung. Atau, kalaupun pergi, tidak untuk tinggal, melainkan hanya sebentar-sebentar saja berkunjung ke tempat lain, dan Bandung tetaplah rumah, tempat pulang. Namun di sisi lain, saya juga baru saja memikirkan perkara nomadisme, yang memandang ketidakstabilan tempat tinggal sebagai bukan hanya cara untuk menemukan sumber daya yang baru, tapi juga melepaskan kemelekatan, meninggalkan sejumlah kepemilikan, dan menanamkan kebiasaan untuk berpasrah diri pada nasib, karena bagaimanapun, di tempat yang baru, kita menghadapi nasib yang juga baru. Apa yang dipikirkan memang tidak selalu sesuai dengan apa yang dihadapi. Pindah kota, keluar Bandung, ternyata begitu rumit bagi fisik dan mental saya, yang sudah menjadikan Bandung tidak hanya sebagai rumah bagi tubuh, tapi rumah bagi jiwa dan pikiran. 

Apapun itu, kami mesti berangkat. Kami segera berkemas karena istri harus sudah memulai pelatihan di awal Januari. Artinya, hanya ada waktu dua mingguan saja untuk membereskan barang-barang. Dalam hati, saya berjanji bahwa saya masih akan pulang pergi Jakarta - Bandung, setidaknya seminggu sekali, untuk mengerjakan apa saja, atau minimal memuaskan rasa rindu. Bandung, bagaimanapun, adalah tempat saya memperoleh segala cinta, yang di beberapa sudut kotanya ada kenangan indah (dan tidak indah) yang tertanam selamanya. 

Kemudian pertanyaan berkelebat: Adakah konsep rumah itu? Rumah tempat pulang, tempat yang membuat kata "pulang" menjadi punya arti? Selama ini jika saya menyebut kata "Bandung", maka itu artinya pulang, ke tempat saya berasal, ke tempat saya tinggal. Namun jika saya tinggal di Jakarta, Bandung bukanlah tujuan untuk pulang, melainkan "pergi". Saat saya menulis ini, masih berat untuk mengatakan Bandung sebagai destinasi "pergi" ketimbang "pulang". Pergi punya kesan datang ke tempat yang punya nuansa ketidakpastian, ada keharusan untuk berjuang, ada perasaan mesti berhadapan dengan sesuatu yang kurang diketahui, dan mesti punya persiapan - seperti halnya "pergi bekerja", "pergi bertamasya", "pergi berperang". Kita tahu ke mana tujuannya, dan kira-kira seperti apa situasinya, tapi kita tidak tahu persis apa yang menanti di sana. 

Sementara pulang, mungkin, tidak perlu persiapan, dan kita lebih tahu apa yang menanti: kedamaian, dalam bentuk apapun itu. Pulang adalah penerimaan sepenuhnya terhadap "kekalahan". Pidi Baiq menulis lirik: "Dan Bandung ... bagiku, bukan cuma, urusan wilayah belaka. Lebih jauh dari itu, melibatkan perasaan, yang bersamaku, ketika sunyi ..." Izinkan saya mengganti sedikit agar relevan: yang bersamaku, ketika kalah ... 

Maka itu kami ke Jakarta, hingga kalah, hingga menyerah, hingga "pulang" menjadi lebih punya arti.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1