Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Dan Bandung ...


Awal bulan Desember 2021, saya mendapat kabar bahwa istri mesti bekerja di Jakarta, daerah Kelapa Gading. Berita yang mengejutkan, karena wawancara kerjanya sendiri dilakukan di Bandung dan kami mengira akan ditempatkan di Bandung (jika lolos). Ternyata, istri mesti menjalani pelatihan di Jakarta selama tiga bulan dan jika berhasil melewatinya, minimal mesti setahun bekerja di Jakarta, sebelum (mungkin) dipindahkan ke Bandung. Memang, ini "cuma" Jakarta, yang jaraknya hanya sekitar 120 kilometer dari Bandung, yang jika tidak macet, bisa dicapai dalam waktu dua setengah jam saja. Namun bagi saya, yang seumur hidup tidak pernah tinggal lama di luar kota, kepindahan ini agak mengagetkan dan pada titik tertentu, menimbulkan kegalauan yang lumayan. 

Saya bahkan tidak berpikiran sama sekali untuk pergi dari Bandung. Atau, kalaupun pergi, tidak untuk tinggal, melainkan hanya sebentar-sebentar saja berkunjung ke tempat lain, dan Bandung tetaplah rumah, tempat pulang. Namun di sisi lain, saya juga baru saja memikirkan perkara nomadisme, yang memandang ketidakstabilan tempat tinggal sebagai bukan hanya cara untuk menemukan sumber daya yang baru, tapi juga melepaskan kemelekatan, meninggalkan sejumlah kepemilikan, dan menanamkan kebiasaan untuk berpasrah diri pada nasib, karena bagaimanapun, di tempat yang baru, kita menghadapi nasib yang juga baru. Apa yang dipikirkan memang tidak selalu sesuai dengan apa yang dihadapi. Pindah kota, keluar Bandung, ternyata begitu rumit bagi fisik dan mental saya, yang sudah menjadikan Bandung tidak hanya sebagai rumah bagi tubuh, tapi rumah bagi jiwa dan pikiran. 

Apapun itu, kami mesti berangkat. Kami segera berkemas karena istri harus sudah memulai pelatihan di awal Januari. Artinya, hanya ada waktu dua mingguan saja untuk membereskan barang-barang. Dalam hati, saya berjanji bahwa saya masih akan pulang pergi Jakarta - Bandung, setidaknya seminggu sekali, untuk mengerjakan apa saja, atau minimal memuaskan rasa rindu. Bandung, bagaimanapun, adalah tempat saya memperoleh segala cinta, yang di beberapa sudut kotanya ada kenangan indah (dan tidak indah) yang tertanam selamanya. 

Kemudian pertanyaan berkelebat: Adakah konsep rumah itu? Rumah tempat pulang, tempat yang membuat kata "pulang" menjadi punya arti? Selama ini jika saya menyebut kata "Bandung", maka itu artinya pulang, ke tempat saya berasal, ke tempat saya tinggal. Namun jika saya tinggal di Jakarta, Bandung bukanlah tujuan untuk pulang, melainkan "pergi". Saat saya menulis ini, masih berat untuk mengatakan Bandung sebagai destinasi "pergi" ketimbang "pulang". Pergi punya kesan datang ke tempat yang punya nuansa ketidakpastian, ada keharusan untuk berjuang, ada perasaan mesti berhadapan dengan sesuatu yang kurang diketahui, dan mesti punya persiapan - seperti halnya "pergi bekerja", "pergi bertamasya", "pergi berperang". Kita tahu ke mana tujuannya, dan kira-kira seperti apa situasinya, tapi kita tidak tahu persis apa yang menanti di sana. 

Sementara pulang, mungkin, tidak perlu persiapan, dan kita lebih tahu apa yang menanti: kedamaian, dalam bentuk apapun itu. Pulang adalah penerimaan sepenuhnya terhadap "kekalahan". Pidi Baiq menulis lirik: "Dan Bandung ... bagiku, bukan cuma, urusan wilayah belaka. Lebih jauh dari itu, melibatkan perasaan, yang bersamaku, ketika sunyi ..." Izinkan saya mengganti sedikit agar relevan: yang bersamaku, ketika kalah ... 

Maka itu kami ke Jakarta, hingga kalah, hingga menyerah, hingga "pulang" menjadi lebih punya arti.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me