Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Hacksaw Ridge dan Kosmopolitanisme


Hampir di waktu bersamaan saat saya menonton Hacksaw Ridge (2016) di Netflix, saya juga tengah menyiapkan materi presentasi tentang kosmopolitanisme-nya Kwame Anthony Appiah untuk Kelas Isolasi. Sekilas, kedua hal ini tidak berkaitan sama sekali - Hacksaw Ridge bercerita tentang prajurit Kristen yang taat bernama Desmond Doss, sementara kosmopolitanisme adalah gagasan hidup bersama dalam dunia yang penuh perbedaan. Namun ternyata, melalui Hacksaw Ridge, saya bisa dengan cepat memahami gagasan Appiah dalam teksnya yang berjudul Ethics in a World of Strangers (2006). 

Hacksaw Ridge berkisah tentang prajurit yang ingin terjun di medan Perang Dunia II bersama Amerika, tetapi karena dogma Kristen-nya, Doss enggan memegang senjata dan membunuh siapapun. Ia hanya ingin menjadi medis di medan pertempuran. Niatnya ini menjadi bahan celaan teman-teman dan juga komandannya. Mereka menganggap Doss mengada-ada: mana mungkin tidak membunuh di medan perang? Setelah melalui serangkaian prosedur yang rumit, Doss akhirnya diizinkan untuk bertempur tanpa senjata. Di Pertempuran Okinawa, Doss benar-benar membuktikan tekadnya tersebut. Ia dengan aktif menolong teman-temannya yang terluka di tengah gempuran hebat tentara Jepang. Doss, yang awalnya diremehkan karena keyakinannya, berbalik dihormati. 

Apa kaitan antara keyakinan Doss dan kosmopolitanisme-nya Appiah? Salah satu gagasan kunci dalam kosmopolitanisme adalah tertarik dan mau mempelajari keyakinan orang lain, tanpa harus setuju, hingga akhirnya mengerti nilai-nilai yang diyakini oleh orang lain tersebut. Kosmopolitanisme menegaskan perbedaan sikap dengan positivisme, yang menurut Appiah berpotensi membuat kita meremehkan keyakinan orang lain karena tidak sesuai dengan standar yang kita pegang (Misalnya: "Pergi haji ke Mekkah adalah perbuatan konyol dan tidak rasional") dan juga relativisme, yang bagi Appiah terlalu menegaskan perbedaan satu sama lain tanpa mesti peduli (Misalnya: "Oke, kita berbeda, mari berjalan masing-masing sesuai dengan apa yang diyakini"). Appiah mengajak kita untuk memahami dan belajar dari "cerita" orang ataupun kebudayaan lain, karena pasti ada nilai-nilai yang "sama". Salah satu adegan dalam Hacksaw Ridge menunjukkan bagaimana tentara lainnya, meski tidak sepaham dengan Doss, mengerti kekuatan keyakinan Doss dan akhirnya minta didoakan (meski tidak semua percaya Tuhan). Intinya, mereka mengerti arti keyakinan tersebut bagi Doss. 

Gagasan Appiah mendapat tantangan dari pertanyaan seputar apakah kita mesti permisif terhadap tindakan intoleran? Apakah kita harus tertarik dan belajar pada aksi terorisme yang "jelas-jelas salah"? Membela Appiah pada posisi ini memang berat, tetapi renungkan sejenak: tidakkah orang yang kita sebut sebagai teroris itu, sama halnya dengan kita, punya sesuatu yang dianggap benar? Jangan-jangan, bagi mereka, kita lah teroris sesungguhnya (Appiah menekankan pentingnya evaluasi diri dalam dialog kebudayaan). Kisah fiksi, cerita-cerita dalam novel ataupun film, bagi Appiah, membantu kita untuk memahami perbedaan tersebut. The Godfather, misalnya, novel karya Mario Puzo, membuat kita tidak hanya memahami kehidupan mafia dari satu sisi saja (sebagai pihak yang jahat dan melanggar hukum, misalnya), tetapi memahami bahwa mereka juga sama dengan kita: menganut prinsip keadilan, cinta keluarga, kesetiaan dan sebagainya.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1