Hampir di waktu bersamaan saat saya menonton Hacksaw Ridge (2016) di Netflix, saya juga tengah menyiapkan materi presentasi tentang kosmopolitanisme-nya Kwame Anthony Appiah untuk Kelas Isolasi. Sekilas, kedua hal ini tidak berkaitan sama sekali - Hacksaw Ridge bercerita tentang prajurit Kristen yang taat bernama Desmond Doss, sementara kosmopolitanisme adalah gagasan hidup bersama dalam dunia yang penuh perbedaan. Namun ternyata, melalui Hacksaw Ridge, saya bisa dengan cepat memahami gagasan Appiah dalam teksnya yang berjudul Ethics in a World of Strangers (2006).
Hacksaw Ridge berkisah tentang prajurit yang ingin terjun di medan Perang Dunia II bersama Amerika, tetapi karena dogma Kristen-nya, Doss enggan memegang senjata dan membunuh siapapun. Ia hanya ingin menjadi medis di medan pertempuran. Niatnya ini menjadi bahan celaan teman-teman dan juga komandannya. Mereka menganggap Doss mengada-ada: mana mungkin tidak membunuh di medan perang? Setelah melalui serangkaian prosedur yang rumit, Doss akhirnya diizinkan untuk bertempur tanpa senjata. Di Pertempuran Okinawa, Doss benar-benar membuktikan tekadnya tersebut. Ia dengan aktif menolong teman-temannya yang terluka di tengah gempuran hebat tentara Jepang. Doss, yang awalnya diremehkan karena keyakinannya, berbalik dihormati.
Apa kaitan antara keyakinan Doss dan kosmopolitanisme-nya Appiah? Salah satu gagasan kunci dalam kosmopolitanisme adalah tertarik dan mau mempelajari keyakinan orang lain, tanpa harus setuju, hingga akhirnya mengerti nilai-nilai yang diyakini oleh orang lain tersebut. Kosmopolitanisme menegaskan perbedaan sikap dengan positivisme, yang menurut Appiah berpotensi membuat kita meremehkan keyakinan orang lain karena tidak sesuai dengan standar yang kita pegang (Misalnya: "Pergi haji ke Mekkah adalah perbuatan konyol dan tidak rasional") dan juga relativisme, yang bagi Appiah terlalu menegaskan perbedaan satu sama lain tanpa mesti peduli (Misalnya: "Oke, kita berbeda, mari berjalan masing-masing sesuai dengan apa yang diyakini"). Appiah mengajak kita untuk memahami dan belajar dari "cerita" orang ataupun kebudayaan lain, karena pasti ada nilai-nilai yang "sama". Salah satu adegan dalam Hacksaw Ridge menunjukkan bagaimana tentara lainnya, meski tidak sepaham dengan Doss, mengerti kekuatan keyakinan Doss dan akhirnya minta didoakan (meski tidak semua percaya Tuhan). Intinya, mereka mengerti arti keyakinan tersebut bagi Doss.
Gagasan Appiah mendapat tantangan dari pertanyaan seputar apakah kita mesti permisif terhadap tindakan intoleran? Apakah kita harus tertarik dan belajar pada aksi terorisme yang "jelas-jelas salah"? Membela Appiah pada posisi ini memang berat, tetapi renungkan sejenak: tidakkah orang yang kita sebut sebagai teroris itu, sama halnya dengan kita, punya sesuatu yang dianggap benar? Jangan-jangan, bagi mereka, kita lah teroris sesungguhnya (Appiah menekankan pentingnya evaluasi diri dalam dialog kebudayaan). Kisah fiksi, cerita-cerita dalam novel ataupun film, bagi Appiah, membantu kita untuk memahami perbedaan tersebut. The Godfather, misalnya, novel karya Mario Puzo, membuat kita tidak hanya memahami kehidupan mafia dari satu sisi saja (sebagai pihak yang jahat dan melanggar hukum, misalnya), tetapi memahami bahwa mereka juga sama dengan kita: menganut prinsip keadilan, cinta keluarga, kesetiaan dan sebagainya.
Comments
Post a Comment