Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Hacksaw Ridge dan Kosmopolitanisme


Hampir di waktu bersamaan saat saya menonton Hacksaw Ridge (2016) di Netflix, saya juga tengah menyiapkan materi presentasi tentang kosmopolitanisme-nya Kwame Anthony Appiah untuk Kelas Isolasi. Sekilas, kedua hal ini tidak berkaitan sama sekali - Hacksaw Ridge bercerita tentang prajurit Kristen yang taat bernama Desmond Doss, sementara kosmopolitanisme adalah gagasan hidup bersama dalam dunia yang penuh perbedaan. Namun ternyata, melalui Hacksaw Ridge, saya bisa dengan cepat memahami gagasan Appiah dalam teksnya yang berjudul Ethics in a World of Strangers (2006). 

Hacksaw Ridge berkisah tentang prajurit yang ingin terjun di medan Perang Dunia II bersama Amerika, tetapi karena dogma Kristen-nya, Doss enggan memegang senjata dan membunuh siapapun. Ia hanya ingin menjadi medis di medan pertempuran. Niatnya ini menjadi bahan celaan teman-teman dan juga komandannya. Mereka menganggap Doss mengada-ada: mana mungkin tidak membunuh di medan perang? Setelah melalui serangkaian prosedur yang rumit, Doss akhirnya diizinkan untuk bertempur tanpa senjata. Di Pertempuran Okinawa, Doss benar-benar membuktikan tekadnya tersebut. Ia dengan aktif menolong teman-temannya yang terluka di tengah gempuran hebat tentara Jepang. Doss, yang awalnya diremehkan karena keyakinannya, berbalik dihormati. 

Apa kaitan antara keyakinan Doss dan kosmopolitanisme-nya Appiah? Salah satu gagasan kunci dalam kosmopolitanisme adalah tertarik dan mau mempelajari keyakinan orang lain, tanpa harus setuju, hingga akhirnya mengerti nilai-nilai yang diyakini oleh orang lain tersebut. Kosmopolitanisme menegaskan perbedaan sikap dengan positivisme, yang menurut Appiah berpotensi membuat kita meremehkan keyakinan orang lain karena tidak sesuai dengan standar yang kita pegang (Misalnya: "Pergi haji ke Mekkah adalah perbuatan konyol dan tidak rasional") dan juga relativisme, yang bagi Appiah terlalu menegaskan perbedaan satu sama lain tanpa mesti peduli (Misalnya: "Oke, kita berbeda, mari berjalan masing-masing sesuai dengan apa yang diyakini"). Appiah mengajak kita untuk memahami dan belajar dari "cerita" orang ataupun kebudayaan lain, karena pasti ada nilai-nilai yang "sama". Salah satu adegan dalam Hacksaw Ridge menunjukkan bagaimana tentara lainnya, meski tidak sepaham dengan Doss, mengerti kekuatan keyakinan Doss dan akhirnya minta didoakan (meski tidak semua percaya Tuhan). Intinya, mereka mengerti arti keyakinan tersebut bagi Doss. 

Gagasan Appiah mendapat tantangan dari pertanyaan seputar apakah kita mesti permisif terhadap tindakan intoleran? Apakah kita harus tertarik dan belajar pada aksi terorisme yang "jelas-jelas salah"? Membela Appiah pada posisi ini memang berat, tetapi renungkan sejenak: tidakkah orang yang kita sebut sebagai teroris itu, sama halnya dengan kita, punya sesuatu yang dianggap benar? Jangan-jangan, bagi mereka, kita lah teroris sesungguhnya (Appiah menekankan pentingnya evaluasi diri dalam dialog kebudayaan). Kisah fiksi, cerita-cerita dalam novel ataupun film, bagi Appiah, membantu kita untuk memahami perbedaan tersebut. The Godfather, misalnya, novel karya Mario Puzo, membuat kita tidak hanya memahami kehidupan mafia dari satu sisi saja (sebagai pihak yang jahat dan melanggar hukum, misalnya), tetapi memahami bahwa mereka juga sama dengan kita: menganut prinsip keadilan, cinta keluarga, kesetiaan dan sebagainya.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me