Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Rocco, Antara Eros dan Agape


Di suatu malam, saat sedang memilih-milih film apa yang akan ditonton di Netflix, tiba-tiba saya tertarik pada film dokumenter berjudul Rocco (2016). Tentu saja saya tidak pura-pura tidak tahu tentang tokoh yang diceritakan dalam film tersebut. Rocco Siffredi adalah bintang film porno asal Italia yang aktif sejak tahun 1987 dan tampil pada sekitar 1300 film. Apakah saya menonton film-filmnya? Jelas, apalagi salah satu yang paling fenomenal dan sudah saya ketahui sejak SMA: Tarzan X

Film dokumenter yang disutradarai oleh Thierry Demaizière dan Alban Teurlai tersebut bercerita tentang perjalanan Rocco di industri film porno. Rocco sebenarnya sempat mengumumkan pengunduran dirinya tahun 2004, tetapi ia kembali lagi tahun 2009, hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti permanen dari bermain film porno pada tahun 2015, di usia sekitar 51 tahun. Dalam film Rocco, meski terdapat beberapa adegan film porno yang dikaburkan, fokusnya lebih ditujukan pada pergulatan batin Rocco, yang bertegangan antara pekerjaan, dorongan seksualnya yang tinggi, perasaan istrinya dan anak-anaknya yang sudah mulai tumbuh besar. Bagi saya pribadi, film tersebut digarap dengan indah sehingga adegan-adegan seksual yang ada di dalamnya tidak terlalu menimbulkan kesan erotik. Bahkan yang lebih banyak muncul adalah perasaan iba dan empati terhadap "penderitaan" Rocco. 

Saya berusaha untuk tidak menjadi moralis dalam memberikan pandangan terkait pergulatan Rocco. Namun pertanyaan yang lebih mengusik adalah ini: mengapa seksualitas yang bebas dan terbuka bisa berubah menjadi penderitaan dan pada titik tertentu, identik dengan perbuatan setan (yang Rocco sendiri mengakuinya)? Bukankah kenikmatan badani merupakan salah satu tujuan penting yang mungkin banyak dari kita bercita-cita menggapainya? Jika Rocco kemudian dihantui perasaan bersalah pada istri dan anak-anaknya setiap ia bermain film porno, tidakkah mungkin ada yang dinamakan "suara hati" itu, yang mengarah pada "kebaikan"? Memang kita bisa dengan cepat menarik kesimpulan bahwa ada hal-hal yang begitu kodrati dalam hidup ini, yang baik - buruk, benar - salah-nya sudah digariskan dalam, salah satunya, kitab suci. Berzina disebutkan sebagai dosa, sementara di sisi lain, merawat keluarga dianggap sebagai sesuatu yang baik dan utama. Keduanya bergulat dalam perasaan Rocco meski ia kelihatannya tidak seberapa teguh mempraktikkan nilai-nilai religius. 

Mungkin yang membuat Rocco menderita bukan perkara apakah ia melanggar aturan agama atau tidak. Saya teringat kuliah Romo Sudarminta perkara hubungan antara hasrat dan kebebasan. Memang terlihat bebas, orang yang dapat mengumbar hasrat dan memenuhinya, orang yang bisa mengekspresikan fantasi seksual dan mewujudkannya, tetapi kemudian katakanlah: apakah ia menjadi tuan atau budak atas hasratnya sendiri? Apakah kebebasannya tersebut sungguh-sungguh kebebasan, atau justru berada dalam kerangkeng berupa lingkaran nafsu yang tidak berujung? Kelihatannya Rocco lelah, justru karena ia mampu memenuhi segala hasratnya. Rocco ingin berhenti, karena "suara hati" terus mengusik, tentang istri dan anaknya yang memberikan ketenangan batin, bukan lewat orgasme seksual, cinta yang sifatnya eros, tetapi cinta jenis lainnya, mungkin agape, yang dekat dengan istilah "kasih sayang", yang sifatnya tidak spesifik, tapi lebih universal dan "memberi". Hal yang mungkin lebih bisa didapatkan dari keluarga, sahabat atau pasangan yang dicintai. 

Saya tidak bisa menyimpulkan soal mana yang lebih "ilahiah" terkait eros dan agape. Eros, yang membuat kita senantiasa tunduk pada gairah seksual, mungkin bisa diilustrasikan sebagai perbuatan setan dan maka itu sudah pasti berdosa. Namun hidup tidak sesederhana itu! Eros memang labil dan menyedihkan, tetapi hal yang lebih menarik: ia membuat kita lebih berani, menghadapi hidup dengan segala rasa perih yang pasti menanti. Eros adalah tentang menikmati masa kini, soal orgasme itu sendiri, yang bukan soal kemarin atau nanti, tapi sekarang. Eros memang dekat dengan hal-hal setani, tetapi tidakkah karena setan itulah, kita mengatakan "ya" pada hidup, tenggelam dalam gelegaknya. Memang pahit, tapi tidak sedikitpun melarikan diri darinya.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1