Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Rocco, Antara Eros dan Agape


Di suatu malam, saat sedang memilih-milih film apa yang akan ditonton di Netflix, tiba-tiba saya tertarik pada film dokumenter berjudul Rocco (2016). Tentu saja saya tidak pura-pura tidak tahu tentang tokoh yang diceritakan dalam film tersebut. Rocco Siffredi adalah bintang film porno asal Italia yang aktif sejak tahun 1987 dan tampil pada sekitar 1300 film. Apakah saya menonton film-filmnya? Jelas, apalagi salah satu yang paling fenomenal dan sudah saya ketahui sejak SMA: Tarzan X

Film dokumenter yang disutradarai oleh Thierry Demaizière dan Alban Teurlai tersebut bercerita tentang perjalanan Rocco di industri film porno. Rocco sebenarnya sempat mengumumkan pengunduran dirinya tahun 2004, tetapi ia kembali lagi tahun 2009, hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti permanen dari bermain film porno pada tahun 2015, di usia sekitar 51 tahun. Dalam film Rocco, meski terdapat beberapa adegan film porno yang dikaburkan, fokusnya lebih ditujukan pada pergulatan batin Rocco, yang bertegangan antara pekerjaan, dorongan seksualnya yang tinggi, perasaan istrinya dan anak-anaknya yang sudah mulai tumbuh besar. Bagi saya pribadi, film tersebut digarap dengan indah sehingga adegan-adegan seksual yang ada di dalamnya tidak terlalu menimbulkan kesan erotik. Bahkan yang lebih banyak muncul adalah perasaan iba dan empati terhadap "penderitaan" Rocco. 

Saya berusaha untuk tidak menjadi moralis dalam memberikan pandangan terkait pergulatan Rocco. Namun pertanyaan yang lebih mengusik adalah ini: mengapa seksualitas yang bebas dan terbuka bisa berubah menjadi penderitaan dan pada titik tertentu, identik dengan perbuatan setan (yang Rocco sendiri mengakuinya)? Bukankah kenikmatan badani merupakan salah satu tujuan penting yang mungkin banyak dari kita bercita-cita menggapainya? Jika Rocco kemudian dihantui perasaan bersalah pada istri dan anak-anaknya setiap ia bermain film porno, tidakkah mungkin ada yang dinamakan "suara hati" itu, yang mengarah pada "kebaikan"? Memang kita bisa dengan cepat menarik kesimpulan bahwa ada hal-hal yang begitu kodrati dalam hidup ini, yang baik - buruk, benar - salah-nya sudah digariskan dalam, salah satunya, kitab suci. Berzina disebutkan sebagai dosa, sementara di sisi lain, merawat keluarga dianggap sebagai sesuatu yang baik dan utama. Keduanya bergulat dalam perasaan Rocco meski ia kelihatannya tidak seberapa teguh mempraktikkan nilai-nilai religius. 

Mungkin yang membuat Rocco menderita bukan perkara apakah ia melanggar aturan agama atau tidak. Saya teringat kuliah Romo Sudarminta perkara hubungan antara hasrat dan kebebasan. Memang terlihat bebas, orang yang dapat mengumbar hasrat dan memenuhinya, orang yang bisa mengekspresikan fantasi seksual dan mewujudkannya, tetapi kemudian katakanlah: apakah ia menjadi tuan atau budak atas hasratnya sendiri? Apakah kebebasannya tersebut sungguh-sungguh kebebasan, atau justru berada dalam kerangkeng berupa lingkaran nafsu yang tidak berujung? Kelihatannya Rocco lelah, justru karena ia mampu memenuhi segala hasratnya. Rocco ingin berhenti, karena "suara hati" terus mengusik, tentang istri dan anaknya yang memberikan ketenangan batin, bukan lewat orgasme seksual, cinta yang sifatnya eros, tetapi cinta jenis lainnya, mungkin agape, yang dekat dengan istilah "kasih sayang", yang sifatnya tidak spesifik, tapi lebih universal dan "memberi". Hal yang mungkin lebih bisa didapatkan dari keluarga, sahabat atau pasangan yang dicintai. 

Saya tidak bisa menyimpulkan soal mana yang lebih "ilahiah" terkait eros dan agape. Eros, yang membuat kita senantiasa tunduk pada gairah seksual, mungkin bisa diilustrasikan sebagai perbuatan setan dan maka itu sudah pasti berdosa. Namun hidup tidak sesederhana itu! Eros memang labil dan menyedihkan, tetapi hal yang lebih menarik: ia membuat kita lebih berani, menghadapi hidup dengan segala rasa perih yang pasti menanti. Eros adalah tentang menikmati masa kini, soal orgasme itu sendiri, yang bukan soal kemarin atau nanti, tapi sekarang. Eros memang dekat dengan hal-hal setani, tetapi tidakkah karena setan itulah, kita mengatakan "ya" pada hidup, tenggelam dalam gelegaknya. Memang pahit, tapi tidak sedikitpun melarikan diri darinya.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me