Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Kata Carolyn Korsmeyer tentang Estetika



Berkat Mbak Ikhaputri Widiantini, dosen filsafat Universitas Indonesia, saya jadi mengenal pemikir bernama Carolyn Korsmeyer yang bagi saya, menawarkan sudut pandang yang berbeda tentang estetika. Keterlibatan saya dengan gagasan Korsmeyer dipicu oleh undangan dari forum LogosFest untuk mempresentasikan topik tentang keadilan dan kesetaraan gender dalam seni - topik yang sebelum-sebelumnya kurang akrab bagi saya, tetapi kemudian digeluti juga seiring waktu, terutama dalam setahun belakangan. Pandangannya tentang estetika dituangkan Korsmeyer dalam buku yang berjudul Gender and Aesthetics: an introduction (2004). Sejumlah poin yang dirasa menarik akan dituangkan dalam tulisan ini.

Korsmeyer menjabarkan terlebih dahulu definisi keindahan yang ditarik dari abad ke-18, terutama mengacu pada pandangan Edmund Burke (1727 - 1797) dan Immanuel Kant (1724 - 1804). Burke mengatakan bahwa keindahan suatu objek ditarik dari ekstrapolasi tubuh perempuan, terutama dari bagian dada dan leher (2004: 43). Dengan mengutip pendapat Burke, Korsmeyer hendak menunjukkan bahwa secara historis, definisi keindahan itu sendiri sudah diskriminatif dengan menjadikan perempuan sebagai objek. Tantangan justru datang dari pandangan Kant yang menyebutkan bahwa keindahan mesti bebas dari hasrat, keinginan dan tujuan lain di luar keindahan itu sendiri. Keindahan, menurut Kant, mestilah bersifat nir-kepentingan (disinterestedness) (2004: 46). Meski tampak seperti pendapat yang 'netral', Korsmeyer mengajukan pertanyaan: pengalaman keindahan, meski seharusnya netral, tetapi dalam konteks tubuh perempuan telanjang, seringkali mengundang hasrat dan tidakkah hasrat, dengan sendirinya, adalah 'berkepentingan'? (2004: 53) Korsmeyer mengajukan pertanyaan tersebut karena melihat kecenderungan karya seni yang menempatkan perempuan sebagai objek. Artinya, saat Kant memandang bahwa keindahan mestilah tidak berkepentingan, bagaimana dengan lukisan tubuh perempuan telanjang? Tidakkah ada kepentingan hasrat di dalamnya? Bisakah orang melukis dan memandang gambar perempuan telanjang tanpa kepentingan? 

Korsmeyer kemudian mengurai secara historis posisi perempuan dalam dunia seni yang secara kuantitas memang terlihat seolah lebih sedikit dari laki-laki. Korsmeyer mengutip Virginia Woolf (1882 - 1941) yang mengatakan bahwa dalam sejarah, perempuan tidak berada di situasi yang leluasa untuk mengembangkan talentanya (2004: 59). Sebagai contoh, dalam bidang musik, sejak Renaisans, perempuan boleh main musik tetapi dilarang untuk instrumen tertentu karena dianggap menampilkan gestur atau ekspresi “kurang sopan”. Misalnya, cello (karena posisi duduknya) atau alat tiup logam (karena membuat wajah memerah dan membuat pemain mengeluarkan air liur) (2004: 63). Dalam dunia sastra, penulis perempuan lebih banyak muncul dan mereka justru lebih aktif di ruang-ruang privat (Emily Dickinson, Jane Austin). Namun karena karya-karyanya dianggap “populer”, muncul konstruksi bahwa tulisan-tulisan tersebut bukanlah karya “seniman sejati” – “Seniman sejati” harus punya karya yang rumit dan dimengerti sedikit orang, dan ini lebih banyak dilakukan oleh laki-laki (2004: 71 – 73). Dalam dunia seni rupa, akses terhadap perempuan dibatasi karena dianggap kurang mampu menggambar dengan teknik yang sulit seperti perspektif linear yang memerlukan kemampuan matematis (2004: 79). Selain itu, secara umum, terdapat anggapan bahwa seni berhubungan dengan emosi, sementara perempuan dianggap “sudah naturnya” lahir, tumbuh dan bertindak dengan emosi. Sedangkan laki-laki memerlukan latihan, penempaan dan kerja keras untuk mengasah aspek emosi dan menuangkannya secara estetik (2004: 67, 74). 

Lalu muncul pertanyaan, bagaimana dengan memasak? Tidakkah memasak juga merupakan suatu keahlian dalam bidang seni? Sementara memasak kelihatannya merupakan kegiatan yang lebih banyak dilakukan perempuan ketimbang laki-laki. Lagi-lagi Korsmeyer mengatakan bahwa dalam sejarah, kegiatan memasak pun tidak lepas dari diskriminasi. Di antara lima indra, penglihatan dan pendengaran dianggap sebagai indra yang “lebih tinggi” karena menghasilkan pengertian (understanding). Sementara penciuman, pengecap dan sentuhan adalah indra yang “lebih rendah” karena harus dekat dengan objek dan tidak bisa menghasilkan pengertian apapun tentang dunia kecuali berkaitan dengan objek itu sendiri (2004: 86). Atas dasar itu, memasak, dan juga aktivitas seksual bukanlah kegiatan estetik atau setidaknya tidak dihargai sebagai sesuatu yang “tinggi” (2004: 94). 

Menanggapi pandangan diskriminatif terhadap kegiatan memasak tersebut, Korsmeyer kemudian mempertanyakan: Jika karya seni itu harus “abadi” (ars longa, vita brevis), tidakkah kegiatan makan (dengan memasak sebagai bagiannya) adalah suatu kegiatan yang juga abadi dan siklus yang tidak berkesudahan? Apakah pasti bahwa urusan selera (dalam hal ini terkait makanan) adalah sesuatu yang pasti privat dan subjektif? Tidakkah dalam makanan, terdapat aspek universalitas yang membuat suatu makanan memiliki standar “enak”? Apakah makanan benar-benar urusan pemenuhan kebutuhan fisiologis saja dan tidak ada hubungannya dengan kultur tertentu secara lebih luas? Melalui beraneka pertanyaan tersebut, Korsmeyer jelas tidak sepakat dengan pandangan bahwa kegiatan memasak bukanlah kegiatan seni dan dibedakan dengan melukis, bermain musik atau menulis karya sastra. Dalam pandangan tertentu, kegiatan memasak juga punya prinsip yang mirip seperti sifatnya yang abadi, "universal" sekaligus kultural. 

Karya Marchel Duchamp berjudul Fountain yang memajang urinoir membuka peluang untuk mempertanyakan kembali tentang apa itu seni. Seni bukan lagi sesuatu yang didasari oleh keahlian eksklusif yang seolah hanya dipunyai laki-laki, tetapi seni, ternyata bisa apapun (“If the Duchamp urinal is art, then anything is.”) (2004: 107). Dengan demikian, terbukti bahwa seni ternyata merupakan hasil konstruksi dan bukan suatu bentuk keindahan pada dirinya sendiri. Korsmeyer bahkan menuliskan bahwa sesuatu dikatakan sebagai seni jika ditulis di majalah seni, dipajang di museum atau dibeli oleh kurator pribadi (“It is art if it is called art, written about in an art magazine, exhibited in a museum or bought by a private curator”) (2004: 115).

Duchamp juga membuka wacana berkenaan dengan objek seni yang tidak hanya retinal atau memuaskan mata, tetapi juga memprovokasi pikiran. Istilah "provokasi pikiran" ini turut berkontribusi dalam penyusunan istilah "seni feminis" yang diartikan oleh Lucy Lippard bukan sebagai gaya estetika yang spesifik, melainkan lebih pada usaha memprovokasi atau mengkonstruksi cara pandang orang mengenai seni yang selama ini cenderung maskulin. Korsmeyer kemudian melanjutkan dengan menyebut seni feminis sebagai kritik terhadap pengabaian karya-karya perempuan, objektivikasi tubuh perempuan dalam film dan lukisan, romantisasi eksploitasi seksualitas perempuan dalam cerita-cerita, pandangan yang menempatkan kreativitas perempuan sebagai sesuatu yang eksklusif ataupun usaha mengonstruksi sistem simbolik yang menganggap segala sesuatu yang feminin sebagai musuh bagi maskulinitas (2004: 118). 

Namun jika harus menunjuk suatu kekhasan, Korsmeyer mengatakan bahwa seni feminis umumnya menggunakan material yang tidak umum dan representasi tubuh sebagai salah satu komponen dalam karya (2004: 118). Karya yang dijadikan contoh oleh Korsmeyer adalah Vanitas: Flesh Dress for an Albino Anorectic (1987) dari Jana Sterbak yang menampilkan model perempuan dengan berbalutkan baju yang terbuat dari daging segar. Sterbak hendak mengajak kita mempertanyakan: Apakah usia, seperti halnya daging, akan juga membusuk dan membuat perempuan tidak dihargai lagi? Apakah perempuan selama ini hanya diperlakukan seperti seonggok daging? Selain itu, terdapat karya lain yaitu Silueta Works in Iowa (1976 – 1978/ 1991) yang dibuat oleh Ana Mendieta. Karya tersebut menampilkan cetakan tubuh pada pasir yang menunjukkan keterhubungan antara tubuh perempuan dan bumi. Mendieta sekaligus menolak konsep kreativitas selama ini yang cenderung mesti berpandangan abstrak dan universal, jauh dari pendapat pribadi dan posisi pribadi. Bagi Mendieta, kreativitas justru mensyaratkan keterikatan dengan sejarah, gender, jenis kelamin, posisi sosial, ras, kewarganegaraan dan seterusnya.


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1