Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Bergelut dengan Logika Sensasi


Sebenarnya sudah sejak bulan April 2019, saya ditawari oleh Pak Hendro Wiyanto untuk menerjemahkan tulisan Gilles Deleuze yang berjudul Francis Bacon: The Logic of Sensation, yang aslinya ditulis dalam bahasa Prancis dan terbit tahun 1981. Buku yang saya terjemahkan adalah versi Inggris (2003) yang sudah dialihbahasakan oleh Daniel W. Smith. 

Saat saya membaca-baca teks ini, sungguh isinya sukar sekali dipahami. Bahkan banyak bagian yang saya bingung: "Deleuze sebenarnya mau membicarakan apa?" Hal yang lebih menyulitkan, Deleuze banyak membicarakan lukisan karya Francis Bacon (Bacon pelukis ya, bukan Bacon filsafat ilmu), tapi lukisan itu sendiri tidak dicantumkan di dalam buku. Artinya, untuk bisa memahami konteks tulisan Deleuze, mesti sering-sering sambil membuka internet dan mencari lukisan yang dimaksud. Bisa dimaklumi, di bagian pengantar penerjemah, disebutkan bahwa jika gambar reproduksi lukisan disertakan, maka bukunya menjadi tebal sekali dan sebaiknya berwarna. Dalam arti kata lain, kurang ekonomis. 

Sempat merasa buntu hingga lebih dari satu setengah tahun karena tidak kunjung memahami maksud Deleuze, akhirnya saya menemukan titik terang saat tiba-tiba teringat nama Dwihandono Ahmad alias Doni, kurator muda yang keahliannya memang di bidang seni lukis. Kata Doni, teks ini memang rumit, salah satunya karena Deleuze menggunakan banyak istilah seni lukis yang teramat teknis (selain dari gaya pemaparan Deleuze yang memang rumit). Doni kemudian berperan penting dalam penerjemahan ini, selain bisa diajak konsultasi perkara teknis peristilahan, ia juga banyak mengoreksi terjemahan saya yang bisa dikatakan, berantakan, karena ya, dalam banyak hal, diterjemahkan secara "intuitif" saja, menerka-nerka maksudnya apa, padahal sama sekali tidak paham. Sampai pada satu titik saya berpendapat, untuk apa saya berusaha membuat pembaca mengerti Deleuze, sementara dia sendiri enggan berusaha agar dimengerti pembacanya? Tidakkah sebagai "penerjemah yang baik", saya harus setia pada intensi Deleuze untuk "tidak usah dimengerti"? 

Jadi, tentang apa sebenarnya The Logic of Sensation, yang akhirnya Pak Hendro dan saya menyepakatinya untuk diterjemahkan dengan judul Logika Sensasi ini? Meski menerjemahkan, saya tidak bisa dikatakan mengerti keseluruhannya. Namun pada pokoknya, Deleuze hendak mengatakan bahwa karya lukis bukan untuk dimengerti dengan cara-cara yang naratif, ilustratif, ataupun representatif. Mengambil contoh lukisan karya Francis Bacon, Deleuze seolah hendak berkata, lihatlah karya-karya Bacon, dia tidak hendak menceritakan sesuatu, melainkan membuat pelihatnya merasakan sesuatu, yang langsung menuju daging, tidak melalui otak, dan langsung berupa sensasi! Bagaimana cara Bacon melakukannya? Nah, itu yang akan dibahas dalam buku. 

Menariknya, jika kita membayangkan lukisan semacam apa yang mampu memberikan sensasi, mungkin kita akan langsung membayangkan karya-karya abstrak, yang tidak merepresentasikan sesuatu apa pun (sehingga tidak membuat kita membayangkan segala sesuatu di luar lukisan). Namun dalam karya-karya Bacon, kata Deleuze, justru banyak dilukis beraneka sosok - yang disebut sebagai Figur -, yang sebenarnya berpotensi membuat kita bertanya-tanya: Siapakah sosok itu? Mengapa dia ada di sana? Apa yang hendak ia sampaikan? Apa yang menjadi latar dari sosok tersebut? Namun Bacon, lewat serangkaian tekniknya, mampu, menurut Deleuze, melepaskan Figur dari kesan naratif, ilustratif, dan representatif - misalnya, dengan menempatkannya pada bidang yang mengisolasi, dengan "menggosok" bagian tertentu dari lukisan agar buram. 

Melalui pergulatan dengan teks tersebut juga, mungkin saya paham, meski bisa jadi ini semacam pembenaran saja, bahwa Deleuze tidak ingin sepenuhnya dimengerti, melainkan ingin menyuguhkan hal yang sama dengan jika kita melihat karya Bacon: sensasi. Harus diakui, meski banyak bagian yang sukar dipahami, tetapi teks Deleuze ini nikmat untuk dibaca. Jadi, nantikan saja terbitnya Logika Sensasi, yang akhirnya berhasil diselesaikan terjemahannya setelah hampir tiga tahun berada di tangan saya. Oh ya, kata pengantar buku ini juga ditulis oleh Martin Suryajaya, yang menurut saya, brilian sekali. 

 

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1