Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Bergelut dengan Logika Sensasi


Sebenarnya sudah sejak bulan April 2019, saya ditawari oleh Pak Hendro Wiyanto untuk menerjemahkan tulisan Gilles Deleuze yang berjudul Francis Bacon: The Logic of Sensation, yang aslinya ditulis dalam bahasa Prancis dan terbit tahun 1981. Buku yang saya terjemahkan adalah versi Inggris (2003) yang sudah dialihbahasakan oleh Daniel W. Smith. 

Saat saya membaca-baca teks ini, sungguh isinya sukar sekali dipahami. Bahkan banyak bagian yang saya bingung: "Deleuze sebenarnya mau membicarakan apa?" Hal yang lebih menyulitkan, Deleuze banyak membicarakan lukisan karya Francis Bacon (Bacon pelukis ya, bukan Bacon filsafat ilmu), tapi lukisan itu sendiri tidak dicantumkan di dalam buku. Artinya, untuk bisa memahami konteks tulisan Deleuze, mesti sering-sering sambil membuka internet dan mencari lukisan yang dimaksud. Bisa dimaklumi, di bagian pengantar penerjemah, disebutkan bahwa jika gambar reproduksi lukisan disertakan, maka bukunya menjadi tebal sekali dan sebaiknya berwarna. Dalam arti kata lain, kurang ekonomis. 

Sempat merasa buntu hingga lebih dari satu setengah tahun karena tidak kunjung memahami maksud Deleuze, akhirnya saya menemukan titik terang saat tiba-tiba teringat nama Dwihandono Ahmad alias Doni, kurator muda yang keahliannya memang di bidang seni lukis. Kata Doni, teks ini memang rumit, salah satunya karena Deleuze menggunakan banyak istilah seni lukis yang teramat teknis (selain dari gaya pemaparan Deleuze yang memang rumit). Doni kemudian berperan penting dalam penerjemahan ini, selain bisa diajak konsultasi perkara teknis peristilahan, ia juga banyak mengoreksi terjemahan saya yang bisa dikatakan, berantakan, karena ya, dalam banyak hal, diterjemahkan secara "intuitif" saja, menerka-nerka maksudnya apa, padahal sama sekali tidak paham. Sampai pada satu titik saya berpendapat, untuk apa saya berusaha membuat pembaca mengerti Deleuze, sementara dia sendiri enggan berusaha agar dimengerti pembacanya? Tidakkah sebagai "penerjemah yang baik", saya harus setia pada intensi Deleuze untuk "tidak usah dimengerti"? 

Jadi, tentang apa sebenarnya The Logic of Sensation, yang akhirnya Pak Hendro dan saya menyepakatinya untuk diterjemahkan dengan judul Logika Sensasi ini? Meski menerjemahkan, saya tidak bisa dikatakan mengerti keseluruhannya. Namun pada pokoknya, Deleuze hendak mengatakan bahwa karya lukis bukan untuk dimengerti dengan cara-cara yang naratif, ilustratif, ataupun representatif. Mengambil contoh lukisan karya Francis Bacon, Deleuze seolah hendak berkata, lihatlah karya-karya Bacon, dia tidak hendak menceritakan sesuatu, melainkan membuat pelihatnya merasakan sesuatu, yang langsung menuju daging, tidak melalui otak, dan langsung berupa sensasi! Bagaimana cara Bacon melakukannya? Nah, itu yang akan dibahas dalam buku. 

Menariknya, jika kita membayangkan lukisan semacam apa yang mampu memberikan sensasi, mungkin kita akan langsung membayangkan karya-karya abstrak, yang tidak merepresentasikan sesuatu apa pun (sehingga tidak membuat kita membayangkan segala sesuatu di luar lukisan). Namun dalam karya-karya Bacon, kata Deleuze, justru banyak dilukis beraneka sosok - yang disebut sebagai Figur -, yang sebenarnya berpotensi membuat kita bertanya-tanya: Siapakah sosok itu? Mengapa dia ada di sana? Apa yang hendak ia sampaikan? Apa yang menjadi latar dari sosok tersebut? Namun Bacon, lewat serangkaian tekniknya, mampu, menurut Deleuze, melepaskan Figur dari kesan naratif, ilustratif, dan representatif - misalnya, dengan menempatkannya pada bidang yang mengisolasi, dengan "menggosok" bagian tertentu dari lukisan agar buram. 

Melalui pergulatan dengan teks tersebut juga, mungkin saya paham, meski bisa jadi ini semacam pembenaran saja, bahwa Deleuze tidak ingin sepenuhnya dimengerti, melainkan ingin menyuguhkan hal yang sama dengan jika kita melihat karya Bacon: sensasi. Harus diakui, meski banyak bagian yang sukar dipahami, tetapi teks Deleuze ini nikmat untuk dibaca. Jadi, nantikan saja terbitnya Logika Sensasi, yang akhirnya berhasil diselesaikan terjemahannya setelah hampir tiga tahun berada di tangan saya. Oh ya, kata pengantar buku ini juga ditulis oleh Martin Suryajaya, yang menurut saya, brilian sekali. 

 

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat