Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Lesser Evil


Menjelang pemilu, argumen lesser evil mengemuka: tidak ada capres yang bagus, tetapi kita memilih supaya capres yang buruk tidak berkuasa. Persoalannya, mengacu pada ukuran mana suatu capres lebih buruk dari yang lainnya? Oke, dalam konteks pemilu di Indonesia, Prabowo dikenal sebagai pelanggar HAM berat. Namun apakah dengan demikian, capres lainnya, yang sama-sama punya rekam jejak buruk, dianggap "lebih baik"? Takaran semacam ini bagi sebagian orang mungkin dipandang mudah sebagai dasar pengambilan kesimpulan. Namun dalam sejarahnya, argumen lesser evil tidak selalu berhasil. Sebagai contoh, pertimbangan Amerika dalam mengebom Hiroshima dan Nagasaki pastilah mengacu pada argumen lesser evil: "Yang kami lakukan ini buruk, tetapi lebih baik ketimbang membiarkan Jepang tetap bertahan di kancah Perang Dunia II". Pada titik itu terdapat bias bahwa takaran mana yang lebih jahat mengacu pada si pengebom. Iya, dalam segala putusan berlandaskan argumen lesser evil, terdapat bayangan atas "kebaikan yang lebih tinggi" (greater good), yang menjadi alasan bagi banyak kejahatan kemudian dijustifikasi secara moral (orang korupsi demi kebaikan kelompoknya, orang mempersekusi demi kemurnian agamanya). 

Dalam argumen lesser evil juga secara implisit menekankan pentingnya bertindak ketimbang membiarkan: bertindak (jahat) lebih baik daripada membiarkan pihak lain yang bertindak (jahat). Kita bisa ambil contoh dari eksperimen pikiran yang cukup terkenal bernama The Trolley Problem. Dalam dilema tersebut, kita diminta memilih apakah membiarkan kereta menabrak lima orang atau menarik tuas supaya "hanya" menabrak satu orang? Ini adalah argumen lesser evil, antara bertindak atau membiarkan, dengan risiko yang setelah dikalkulasi (mau korban satu atau lima?). Membiarkan dapat diartikan sebagai "cuci tangan", "lepas tanggung jawab", dan "tidak mau ikut campur" dalam segala keburukan. Sementara itu, bertindak dapat diartikan sebagai "terlibat", "mau ambil risiko", dan "bertanggung jawab" dalam segala keburukan. Poin ini juga yang kerap digunakan untuk membela argumen lesser evil, "Mending gue mau pake hak pilih, daripada elu diem aja tapi ntar sama-sama ikut protes." 

Problemnya adalah apakah tidak bertindak / membiarkan adalah sama dengan "cuci tangan" dan "lepas tanggung jawab"? Bagaimana dengan tidak bertindak/ membiarkan adalah semacam tindakan juga? Tindakan yang dimaksud dalam hal ini adalah enggan memilih pada opsi yang diberikan atau malah keberatan dengan sistem yang menciptakan opsi-opsi tersebut. The Trolley Problem, bagi saya, adalah eksperimen pikiran yang bermasalah. Orang bisa saja menawarkan opsi lain di luar menarik tuas atau membiarkan. Misalnya saja, melakukan segala cara untuk mensabotase si kereta agar tidak menabrak siapapun. Dengan demikian, menolak argumen lesser evil dalam konteks pemilu dengan misalnya, golput, adalah sah-sah saja dengan pertimbangan bahwa secara sikap memang kita menolak pemimpin manapun yang melakukan kejahatan. Alasannya, lesser evil tetaplah evil! Selain itu, golput juga adalah sebentuk tindakan yang bisa jadi menunjukkan bahwa kita tidak setuju pada sistem yang mengizinkan opsi-opsi (yang buruk) itu. 

Penting untuk diingat bahwa demokrasi bukanlah sebatas politik elektoral. Demokrasi adalah segala bentuk keterlibatan di ruang publik yang ditujukan demi kepentingan publik. Demokrasi adalah jalan untuk menampilkan "yang politis" agar tampil ke permukaan (seberbeda apapun). Di luar ide-ide yang muncul pada saat "pesta demokrasi" alias pemilu, demokrasi akan tetap berjalan sebagai bagian dari kehidupan bernegara. Jadi, jangan khawatir negara menjadi buruk hanya karena menolak argumen lesser evil dengan cara golput. Khawatirlah jika demokrasi gagal menampilkan pluralitas dalam berpendapat. Demokrasi yang baik, adalah demokrasi yang menerima golput sebagai konsekuensi dari sistem dan opsi-opsi yang buruk.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k