Skip to main content

Pembebasan

Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya?  Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.

Lesser Evil


Menjelang pemilu, argumen lesser evil mengemuka: tidak ada capres yang bagus, tetapi kita memilih supaya capres yang buruk tidak berkuasa. Persoalannya, mengacu pada ukuran mana suatu capres lebih buruk dari yang lainnya? Oke, dalam konteks pemilu di Indonesia, Prabowo dikenal sebagai pelanggar HAM berat. Namun apakah dengan demikian, capres lainnya, yang sama-sama punya rekam jejak buruk, dianggap "lebih baik"? Takaran semacam ini bagi sebagian orang mungkin dipandang mudah sebagai dasar pengambilan kesimpulan. Namun dalam sejarahnya, argumen lesser evil tidak selalu berhasil. Sebagai contoh, pertimbangan Amerika dalam mengebom Hiroshima dan Nagasaki pastilah mengacu pada argumen lesser evil: "Yang kami lakukan ini buruk, tetapi lebih baik ketimbang membiarkan Jepang tetap bertahan di kancah Perang Dunia II". Pada titik itu terdapat bias bahwa takaran mana yang lebih jahat mengacu pada si pengebom. Iya, dalam segala putusan berlandaskan argumen lesser evil, terdapat bayangan atas "kebaikan yang lebih tinggi" (greater good), yang menjadi alasan bagi banyak kejahatan kemudian dijustifikasi secara moral (orang korupsi demi kebaikan kelompoknya, orang mempersekusi demi kemurnian agamanya). 

Dalam argumen lesser evil juga secara implisit menekankan pentingnya bertindak ketimbang membiarkan: bertindak (jahat) lebih baik daripada membiarkan pihak lain yang bertindak (jahat). Kita bisa ambil contoh dari eksperimen pikiran yang cukup terkenal bernama The Trolley Problem. Dalam dilema tersebut, kita diminta memilih apakah membiarkan kereta menabrak lima orang atau menarik tuas supaya "hanya" menabrak satu orang? Ini adalah argumen lesser evil, antara bertindak atau membiarkan, dengan risiko yang setelah dikalkulasi (mau korban satu atau lima?). Membiarkan dapat diartikan sebagai "cuci tangan", "lepas tanggung jawab", dan "tidak mau ikut campur" dalam segala keburukan. Sementara itu, bertindak dapat diartikan sebagai "terlibat", "mau ambil risiko", dan "bertanggung jawab" dalam segala keburukan. Poin ini juga yang kerap digunakan untuk membela argumen lesser evil, "Mending gue mau pake hak pilih, daripada elu diem aja tapi ntar sama-sama ikut protes." 

Problemnya adalah apakah tidak bertindak / membiarkan adalah sama dengan "cuci tangan" dan "lepas tanggung jawab"? Bagaimana dengan tidak bertindak/ membiarkan adalah semacam tindakan juga? Tindakan yang dimaksud dalam hal ini adalah enggan memilih pada opsi yang diberikan atau malah keberatan dengan sistem yang menciptakan opsi-opsi tersebut. The Trolley Problem, bagi saya, adalah eksperimen pikiran yang bermasalah. Orang bisa saja menawarkan opsi lain di luar menarik tuas atau membiarkan. Misalnya saja, melakukan segala cara untuk mensabotase si kereta agar tidak menabrak siapapun. Dengan demikian, menolak argumen lesser evil dalam konteks pemilu dengan misalnya, golput, adalah sah-sah saja dengan pertimbangan bahwa secara sikap memang kita menolak pemimpin manapun yang melakukan kejahatan. Alasannya, lesser evil tetaplah evil! Selain itu, golput juga adalah sebentuk tindakan yang bisa jadi menunjukkan bahwa kita tidak setuju pada sistem yang mengizinkan opsi-opsi (yang buruk) itu. 

Penting untuk diingat bahwa demokrasi bukanlah sebatas politik elektoral. Demokrasi adalah segala bentuk keterlibatan di ruang publik yang ditujukan demi kepentingan publik. Demokrasi adalah jalan untuk menampilkan "yang politis" agar tampil ke permukaan (seberbeda apapun). Di luar ide-ide yang muncul pada saat "pesta demokrasi" alias pemilu, demokrasi akan tetap berjalan sebagai bagian dari kehidupan bernegara. Jadi, jangan khawatir negara menjadi buruk hanya karena menolak argumen lesser evil dengan cara golput. Khawatirlah jika demokrasi gagal menampilkan pluralitas dalam berpendapat. Demokrasi yang baik, adalah demokrasi yang menerima golput sebagai konsekuensi dari sistem dan opsi-opsi yang buruk.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1