Menjelang pemilu, argumen lesser evil mengemuka: tidak ada capres yang bagus, tetapi kita memilih supaya capres yang buruk tidak berkuasa. Persoalannya, mengacu pada ukuran mana suatu capres lebih buruk dari yang lainnya? Oke, dalam konteks pemilu di Indonesia, Prabowo dikenal sebagai pelanggar HAM berat. Namun apakah dengan demikian, capres lainnya, yang sama-sama punya rekam jejak buruk, dianggap "lebih baik"? Takaran semacam ini bagi sebagian orang mungkin dipandang mudah sebagai dasar pengambilan kesimpulan. Namun dalam sejarahnya, argumen lesser evil tidak selalu berhasil. Sebagai contoh, pertimbangan Amerika dalam mengebom Hiroshima dan Nagasaki pastilah mengacu pada argumen lesser evil: "Yang kami lakukan ini buruk, tetapi lebih baik ketimbang membiarkan Jepang tetap bertahan di kancah Perang Dunia II". Pada titik itu terdapat bias bahwa takaran mana yang lebih jahat mengacu pada si pengebom. Iya, dalam segala putusan berlandaskan argumen lesser evil, terdapat bayangan atas "kebaikan yang lebih tinggi" (greater good), yang menjadi alasan bagi banyak kejahatan kemudian dijustifikasi secara moral (orang korupsi demi kebaikan kelompoknya, orang mempersekusi demi kemurnian agamanya).
Dalam argumen lesser evil juga secara implisit menekankan pentingnya bertindak ketimbang membiarkan: bertindak (jahat) lebih baik daripada membiarkan pihak lain yang bertindak (jahat). Kita bisa ambil contoh dari eksperimen pikiran yang cukup terkenal bernama The Trolley Problem. Dalam dilema tersebut, kita diminta memilih apakah membiarkan kereta menabrak lima orang atau menarik tuas supaya "hanya" menabrak satu orang? Ini adalah argumen lesser evil, antara bertindak atau membiarkan, dengan risiko yang setelah dikalkulasi (mau korban satu atau lima?). Membiarkan dapat diartikan sebagai "cuci tangan", "lepas tanggung jawab", dan "tidak mau ikut campur" dalam segala keburukan. Sementara itu, bertindak dapat diartikan sebagai "terlibat", "mau ambil risiko", dan "bertanggung jawab" dalam segala keburukan. Poin ini juga yang kerap digunakan untuk membela argumen lesser evil, "Mending gue mau pake hak pilih, daripada elu diem aja tapi ntar sama-sama ikut protes."
Problemnya adalah apakah tidak bertindak / membiarkan adalah sama dengan "cuci tangan" dan "lepas tanggung jawab"? Bagaimana dengan tidak bertindak/ membiarkan adalah semacam tindakan juga? Tindakan yang dimaksud dalam hal ini adalah enggan memilih pada opsi yang diberikan atau malah keberatan dengan sistem yang menciptakan opsi-opsi tersebut. The Trolley Problem, bagi saya, adalah eksperimen pikiran yang bermasalah. Orang bisa saja menawarkan opsi lain di luar menarik tuas atau membiarkan. Misalnya saja, melakukan segala cara untuk mensabotase si kereta agar tidak menabrak siapapun. Dengan demikian, menolak argumen lesser evil dalam konteks pemilu dengan misalnya, golput, adalah sah-sah saja dengan pertimbangan bahwa secara sikap memang kita menolak pemimpin manapun yang melakukan kejahatan. Alasannya, lesser evil tetaplah evil! Selain itu, golput juga adalah sebentuk tindakan yang bisa jadi menunjukkan bahwa kita tidak setuju pada sistem yang mengizinkan opsi-opsi (yang buruk) itu.
Penting untuk diingat bahwa demokrasi bukanlah sebatas politik elektoral. Demokrasi adalah segala bentuk keterlibatan di ruang publik yang ditujukan demi kepentingan publik. Demokrasi adalah jalan untuk menampilkan "yang politis" agar tampil ke permukaan (seberbeda apapun). Di luar ide-ide yang muncul pada saat "pesta demokrasi" alias pemilu, demokrasi akan tetap berjalan sebagai bagian dari kehidupan bernegara. Jadi, jangan khawatir negara menjadi buruk hanya karena menolak argumen lesser evil dengan cara golput. Khawatirlah jika demokrasi gagal menampilkan pluralitas dalam berpendapat. Demokrasi yang baik, adalah demokrasi yang menerima golput sebagai konsekuensi dari sistem dan opsi-opsi yang buruk.
Comments
Post a Comment