Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Imajinasi


Imajinasi mungkin bisa diduga sebagai kemampuan khas manusia. Imajinasi membuat kita mampu membayangkan hal-hal yang tidak ada di hadapan atau bahkan belum ada. Kita bisa mengimajinasikan bagaimana masa depan hidup bersama seseorang meski hal tersebut belum terjadi. Kita bisa mengimajinasikan kebahagiaan meski kebahagiaan itu belum dirasakan sekarang. Kita bisa mengimajinasikan Tuhan dan hidup setelah mati meskipun sebagian dari bayangan tersebut dibangun dari unsur-unsur yang pernah kita ketahui secara pasti: wujud Tuhan mungkin kita bayangkan sebagai cahaya yang besar (maka itu harus pernah melihat cahaya) dan kehidupan setelah mati kita bayangkan sebagai suatu tempat yang indah dengan sungai mengalir (maka itu harus pernah berada di sebuah tempat yang indah dan pernah melihat sungai mengalir). 

Imajinasi juga dapat berupa suatu kondisi masyarakat yang ideal. Misalnya, masyarakat yang setiap individunya tidak memiliki suatu properti pun secara pribadi karena semuanya dikelola bersama-sama. Atau bisa juga membayangkan masyarakat tanpa hierarki dan segala keputusan diambil secara kolektif berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat. Semua dimulai dari imajinasi dan disitulah tindakan-tindakan kita ditentukan. 

Saya belum tamat membaca Castoriadis, tetapi beberapa argumennya memantik beberapa pemikiran tentang imajinasi (yang karena belum tamatnya ini, bisa jadi saya salah mengartikan Castoriadis). Berbagai revolusi bisa jadi dimulai dari imajinasi. Revolusi Prancis misalnya, berangkat dari bayangan tentang masyarakat yang berhak menentukan kehendaknya sendiri tanpa harus tunduk pada absolutisme raja. Untuk mewujudkan imajinasinya itu, rakyat kemudian bergerak melakukan perubahan besar-besaran. Entah berapa banyak contoh lainnya terkait gerakan berbasis imajinasi, mulai dari imajinasi tentang masyarakat komunis hingga masyarakat primitivis. 

Hidup dalam bayangan bisa jadi sangat membahagiakan, meskipun kenyataan sulit dicapai. Kita bisa bahagia saat berupaya mewujudkan imajinasi tentang masyarakat komunis meski fakta hidup sehari-hari berada dalam kerangkeng kapitalisme. Kita bisa bahagia saat berupaya mewujudkan imajinasi tentang masyarakat egaliter dan inklusif meski sehari-hari berada dalam kuasa patriarki dan dominasi hegemoni lainnya. Kebahagiaan manusia, jangan-jangan, ada pada keberhasilan-keberhasilan mewujudkan hal-hal dalam imajinasinya. Hal ini termasuk dalam hal menjalani perintah agama, yang dilakukan karena memenuhi bayangan seseorang tentang Kebaikan versi Tuhan. Dalam kepatuhan-kepatuhan itu, dibayangkanlah pembalasan di surga, bahkan dibayangkan juga pembalasan di dunia. 

Pertanyaannya, bagaimana jika imajinasi itu terwujud secara riil, konkret? Lucunya, terkadang manusia takut dengan imajinasi yang berhasil direalisasikan! Mengapa? Karena apa yang terjadi seringkali berbeda dengan apa yang dibayangkan. Hal yang benar-benar terjadi biasanya menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang tak terduga. Misalnya, tidak terbayang sebelumnya bahwa imajinasi Hegel tentang masyarakat yang ideal etis ternyata menjadi pemicu munculnya kelas borjuis yang menguasai alat produksi. Saat imajinasi Hegel tersebut berhasil diwujudkan, orang-orang mulai membayangkan rupa masyarakat yang lain, bahkan ada juga yang membayangkan rupa masyarakat yang telah lampau - seperti sebagian orang kita hari ini yang mewacanakan imajinasi tentang masyarakat di era Orde Baru. 

Dari imajinasi ke imajinasi itulah masyarakat menyandarkan tindakannya dan mendefinisikan apa yang menjadi kebahagiaan versinya. Namun hal-hal tertentu menjadi membahagiakan jika tetap bermukim dalam imajinasi. Imajinasi yang terwujud, kadang, terlalu mengerikan.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me