Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Filsuf dan Mistikus


Tidak semua persoalan dapat dijawab dengan filsafat. Itu harus diakui. Ketidakmampuannya itu juga menjadi cibiran para mistikus yang menuding bahasa memang terbatas. Para mistikus ini melihat filsafat berputar-putar pada bahasa padahal ada hal-hal tertentu yang tak terjelaskan. Para mistikus memilih "diam", merenungkan dunia dengan penjelasan yang tidak berlebihan, supaya orang-orang lebih menghayati kehidupan dalam keheningan. Dampaknya, para mistikus ini bisa saja orang-orang yang tercerahkan, tetapi mereka tidak punya usaha keras untuk mencerahkan orang lain dengan semangat kesetaraan. Para mistikus kerap memperlakukan orang-orang yang "belum tercerahkan" sebagai orang-orang yang "tidak selevel". 

Bagi saya, keterbatasan filsafat itulah justru kelebihannya. Filsafat tidak mampu, tetapi selalu berusaha. Filsafat ingin menerangkan dunia dengan bahasa yang memang tak mampu merangkum segala, tapi itulah sarana terbaik yang memperlakukan orang-orang secara setara (karena setiap orang menggunakan bahasa). Bahasa filsafat memang tidak semuanya mudah dimengerti, tetapi bagi sebagian orang mungkin itu lebih baik ketimbang mengatakan "nanti juga kamu ngerti", "jalani aja dulu" atau "penghayatan orang beda-beda". 

Filsafat bukannya tidak percaya pada "yang mistik", tapi enggan untuk berhenti dengan mengatakannya sebagai "yang mistik" sehingga tak bisa diapa-apakan lagi. Melalui bahasa, filsafat mengurai "yang mistik" itu sehingga dapat dimasukkan ke dalam kerangka logika kita, yang maka itu bisa diotak-atik oleh setiap orang tanpa perlu "kemampuan khusus". Heidegger misalnya, ia bukannya tidak memiliki "dimensi mistikus", tetapi Heidegger berusaha sekuat tenaga mengungkapkannya, meski terkesan jadi rumit dan berputar-putar. Namun setidaknya ia tahu bahwa hanya lewat bahasa, orang tidak perlu menunggu untuk menjadi mistikus. 

Maka itu istilah metafisika dalam filsafat Barat bisa sangat berbeda dari pemahaman metafisika yang biasa dimunculkan dalam klenik, meski sama-sama secara etimologis diartikan sebagai "di balik fisik". Metafisika-nya filsafat bukan klenik, karena kita bisa memikirkannya. Setiap orang, meskipun dia anak-anak, bisa diajak untuk memikirkan "hal yang membuat X menjadi X" tanpa perlu membicarakan hal-hal mistis, misalnya. Anak-anak bisa diajak ngobrol tentang "Apakah alam semesta ini terdiri dari satu unsur, dua unsur, atau banyak unsur?" ketimbang menyuruhnya untuk "Kamu belum paham, nanti saja" seperti yang biasa ditekankan oleh para mistikus. 

Tiba-tiba ingat bagaimana guru filsafat saya, Bambang Q-Anees, membandingkan filsafat Barat dan filsafat Timur dalam sebuah ilustrasi yang sampai sekarang saya masih setuju, "Filsafat Barat menerangi orang lain, tapi dirinya sendiri tidak diterangi; filsafat Timur menerangi dirinya sendiri, tapi orang lain tidak diterangi." Begitulah perumpamaannya. Maka lebih indah bagi seseorang untuk memahami jalan mistikus untuk menerangi masing-masing, tetapi filsafat Barat baiknya juga dipelajari karena memiliki kekuatan dalam melakukan eksplanasi.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me