Skip to main content

Pembebasan

Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya?  Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.

Filsuf dan Mistikus


Tidak semua persoalan dapat dijawab dengan filsafat. Itu harus diakui. Ketidakmampuannya itu juga menjadi cibiran para mistikus yang menuding bahasa memang terbatas. Para mistikus ini melihat filsafat berputar-putar pada bahasa padahal ada hal-hal tertentu yang tak terjelaskan. Para mistikus memilih "diam", merenungkan dunia dengan penjelasan yang tidak berlebihan, supaya orang-orang lebih menghayati kehidupan dalam keheningan. Dampaknya, para mistikus ini bisa saja orang-orang yang tercerahkan, tetapi mereka tidak punya usaha keras untuk mencerahkan orang lain dengan semangat kesetaraan. Para mistikus kerap memperlakukan orang-orang yang "belum tercerahkan" sebagai orang-orang yang "tidak selevel". 

Bagi saya, keterbatasan filsafat itulah justru kelebihannya. Filsafat tidak mampu, tetapi selalu berusaha. Filsafat ingin menerangkan dunia dengan bahasa yang memang tak mampu merangkum segala, tapi itulah sarana terbaik yang memperlakukan orang-orang secara setara (karena setiap orang menggunakan bahasa). Bahasa filsafat memang tidak semuanya mudah dimengerti, tetapi bagi sebagian orang mungkin itu lebih baik ketimbang mengatakan "nanti juga kamu ngerti", "jalani aja dulu" atau "penghayatan orang beda-beda". 

Filsafat bukannya tidak percaya pada "yang mistik", tapi enggan untuk berhenti dengan mengatakannya sebagai "yang mistik" sehingga tak bisa diapa-apakan lagi. Melalui bahasa, filsafat mengurai "yang mistik" itu sehingga dapat dimasukkan ke dalam kerangka logika kita, yang maka itu bisa diotak-atik oleh setiap orang tanpa perlu "kemampuan khusus". Heidegger misalnya, ia bukannya tidak memiliki "dimensi mistikus", tetapi Heidegger berusaha sekuat tenaga mengungkapkannya, meski terkesan jadi rumit dan berputar-putar. Namun setidaknya ia tahu bahwa hanya lewat bahasa, orang tidak perlu menunggu untuk menjadi mistikus. 

Maka itu istilah metafisika dalam filsafat Barat bisa sangat berbeda dari pemahaman metafisika yang biasa dimunculkan dalam klenik, meski sama-sama secara etimologis diartikan sebagai "di balik fisik". Metafisika-nya filsafat bukan klenik, karena kita bisa memikirkannya. Setiap orang, meskipun dia anak-anak, bisa diajak untuk memikirkan "hal yang membuat X menjadi X" tanpa perlu membicarakan hal-hal mistis, misalnya. Anak-anak bisa diajak ngobrol tentang "Apakah alam semesta ini terdiri dari satu unsur, dua unsur, atau banyak unsur?" ketimbang menyuruhnya untuk "Kamu belum paham, nanti saja" seperti yang biasa ditekankan oleh para mistikus. 

Tiba-tiba ingat bagaimana guru filsafat saya, Bambang Q-Anees, membandingkan filsafat Barat dan filsafat Timur dalam sebuah ilustrasi yang sampai sekarang saya masih setuju, "Filsafat Barat menerangi orang lain, tapi dirinya sendiri tidak diterangi; filsafat Timur menerangi dirinya sendiri, tapi orang lain tidak diterangi." Begitulah perumpamaannya. Maka lebih indah bagi seseorang untuk memahami jalan mistikus untuk menerangi masing-masing, tetapi filsafat Barat baiknya juga dipelajari karena memiliki kekuatan dalam melakukan eksplanasi.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1