Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Merenungkan Hidup Versi Frank Martela


Buku Frank Martela yang berjudul Hidup Ini Indah (Gramedia Pustaka Utama, 2023) bisa dikatakan sebagai buku filsafat dengan gaya populer. Buku ini lebih tepatnya membahas tema eksistensialisme, tetapi tidak seperti umumnya teks-teks dengan tema tersebut yang cenderung murung (Kierkegaard, Camus, Dostoyevsky), nuansa tulisan Martela ini cukup terang dan malah berbau self-help. Tawaran Martela sederhana saja, bahwa makna dalam hidup tidak perlu dicari, karena hidup sudah bermakna dengan sendirinya. Di halaman 157, Martela menuliskan, "Kebermaknaan bukan sesuatu yang langka atau jarang. Itu adalah pengalaman yang ada dalam banyak momen sehari-hari kita dalam bentuk yang kuat maupun lemah." Hal ini dijustifikasi dalam tulisannya di website: 

"My key message in the book is that meaningfulness is not something grand and given to you from above. It is something happening within your life, and typically what makes your life meaningful are very mundane things like spending time with the family or having fun with your friends."

Jadi, menurut Martela, apa yang sudah kita jalani sehari-hari, itu sudah bermakna, tidak perlu mencarinya lagi. Sebagai ilustrasi, filosof eksistensialisme bergulat merumuskan bahwa makna hidup adalah A, makna hidup adalah B, tetapi melupakan bahwa makna hidup jangan-jangan ada pada hari-hari bersama sahabat dan keluarga. Apakah pandangan semacam ini bisa dikategorikan dalam atau dangkal? Kesimpulannya mungkin "dangkal" dalam artian "Yah, kesimpulan begitu aja sih kita juga tahu," tapi jalan menuju kesimpulan itulah yang menarik. 

Jalan serupa juga kelihatannya ditempuh Heidegger yang begitu rumit dalam menuliskan gagasannya tentang Dasein untuk sekadar menyatakan bahwa manusia sudah hidup-bersama-dunia: bekerja, bergaul, tanpa perlu "berpikir tentang dunia". Heidegger mengritik pandangan Descartes tentang "aku berpikir maka aku ada" dengan membalikannya: "Kita sudah ada sebelum memikirkannya". 

Namun harus diakui bahwa filsafat tidak melulu menjatuhkan simpulannya pada "yang keseharian". Dalam salah satu kuliah yang saya terima di STF Driyarkara, seorang dosen mengatakan bahwa filsafat perlu dibedakan dari kegiatan sehari-hari. Saya paham pendapat semacam itu: filsafat berbeda dengan kegiatan sehari-hari. Lebih jauh lagi, filsafat mencoba menemukan penjelasan tentang apa yang menjadi landasan hidup sehari-hari. Filsafat berupaya mencari hakikat, karena gemas dengan kehidupan sehari-hari yang serba permukaan dan tak stabil. Jika kita kembali pada Martela bahwa hidup ini sudah bermakna salah satunya dalam momen-momen kita bersama sahabat dan keluarga, aliran filsafat tertentu beranggapan: justru momen-momen itu "menipu" kita. Momen-momen itu hanyalah pengalaman inderawi yang datang dan pergi. Kita harus mencari hal apa yang lebih mendasar dari semua itu. 

Di sisi lain, Martela membela momen-momen keseharian sebagai hal yang paling hakiki. Saat pergi beli rokok ke minimarket misalnya, kita datang ke kasir, mengatakan ingin membeli rokok merk A, lalu membayarnya. Itu adalah momen keseharian. Tidak ada dalam momen itu: kapitalisme, liberalisme, individualisme, dan -isme -isme lainnya. Momen itu hanyalah momen itu. Kira-kira demikianlah maksud Martela, bahwa kita jangan mencari-cari makna di balik hal yang sudah jelas-jelas bermakna. Di sinilah kadang filsafat itu membingungkan dalam artian ingin sok asik dengan "yuk balik lagi ke hari-hari kita", tapi juga sekaligus, "sini-sini saya jelaskan gimana keseharian itu". 

Namun kelihatannya filsafat tidak melulu berakhir di kesimpulan. Kesimpulan filsafat kadang sesuatu yang sangat sederhana dan mungkin sudah dijalani sebagian besar orang dalam keseharian (tanpa harus berfilsafat). Filsafat hanya membuat kesimpulan itu menjadi lebih tebal. Jalan yang ditempuh filsafat adalah "jalan mengabstraksi" untuk melihat keseharian dari ketinggian, untuk kemudian menyadari bahwa ketinggian itu kadang terlalu menakutkan sehingga rindu-untuk-mendarat. Saya pikir tanpa Martela mengatakan "kita harus mendarat", filsafat akan mendarat dengan caranya sendiri, karena cemas akan ketinggian itu. Biarkan filsafat dengan segala ketinggiannya terbang dalam kepala kita, tetapi dari ketinggiannya itu, tubuh hari-hari semakin kangen untuk membumi.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me