Skip to main content

Pembebasan

Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya?  Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.

Merenungkan Hidup Versi Frank Martela


Buku Frank Martela yang berjudul Hidup Ini Indah (Gramedia Pustaka Utama, 2023) bisa dikatakan sebagai buku filsafat dengan gaya populer. Buku ini lebih tepatnya membahas tema eksistensialisme, tetapi tidak seperti umumnya teks-teks dengan tema tersebut yang cenderung murung (Kierkegaard, Camus, Dostoyevsky), nuansa tulisan Martela ini cukup terang dan malah berbau self-help. Tawaran Martela sederhana saja, bahwa makna dalam hidup tidak perlu dicari, karena hidup sudah bermakna dengan sendirinya. Di halaman 157, Martela menuliskan, "Kebermaknaan bukan sesuatu yang langka atau jarang. Itu adalah pengalaman yang ada dalam banyak momen sehari-hari kita dalam bentuk yang kuat maupun lemah." Hal ini dijustifikasi dalam tulisannya di website: 

"My key message in the book is that meaningfulness is not something grand and given to you from above. It is something happening within your life, and typically what makes your life meaningful are very mundane things like spending time with the family or having fun with your friends."

Jadi, menurut Martela, apa yang sudah kita jalani sehari-hari, itu sudah bermakna, tidak perlu mencarinya lagi. Sebagai ilustrasi, filosof eksistensialisme bergulat merumuskan bahwa makna hidup adalah A, makna hidup adalah B, tetapi melupakan bahwa makna hidup jangan-jangan ada pada hari-hari bersama sahabat dan keluarga. Apakah pandangan semacam ini bisa dikategorikan dalam atau dangkal? Kesimpulannya mungkin "dangkal" dalam artian "Yah, kesimpulan begitu aja sih kita juga tahu," tapi jalan menuju kesimpulan itulah yang menarik. 

Jalan serupa juga kelihatannya ditempuh Heidegger yang begitu rumit dalam menuliskan gagasannya tentang Dasein untuk sekadar menyatakan bahwa manusia sudah hidup-bersama-dunia: bekerja, bergaul, tanpa perlu "berpikir tentang dunia". Heidegger mengritik pandangan Descartes tentang "aku berpikir maka aku ada" dengan membalikannya: "Kita sudah ada sebelum memikirkannya". 

Namun harus diakui bahwa filsafat tidak melulu menjatuhkan simpulannya pada "yang keseharian". Dalam salah satu kuliah yang saya terima di STF Driyarkara, seorang dosen mengatakan bahwa filsafat perlu dibedakan dari kegiatan sehari-hari. Saya paham pendapat semacam itu: filsafat berbeda dengan kegiatan sehari-hari. Lebih jauh lagi, filsafat mencoba menemukan penjelasan tentang apa yang menjadi landasan hidup sehari-hari. Filsafat berupaya mencari hakikat, karena gemas dengan kehidupan sehari-hari yang serba permukaan dan tak stabil. Jika kita kembali pada Martela bahwa hidup ini sudah bermakna salah satunya dalam momen-momen kita bersama sahabat dan keluarga, aliran filsafat tertentu beranggapan: justru momen-momen itu "menipu" kita. Momen-momen itu hanyalah pengalaman inderawi yang datang dan pergi. Kita harus mencari hal apa yang lebih mendasar dari semua itu. 

Di sisi lain, Martela membela momen-momen keseharian sebagai hal yang paling hakiki. Saat pergi beli rokok ke minimarket misalnya, kita datang ke kasir, mengatakan ingin membeli rokok merk A, lalu membayarnya. Itu adalah momen keseharian. Tidak ada dalam momen itu: kapitalisme, liberalisme, individualisme, dan -isme -isme lainnya. Momen itu hanyalah momen itu. Kira-kira demikianlah maksud Martela, bahwa kita jangan mencari-cari makna di balik hal yang sudah jelas-jelas bermakna. Di sinilah kadang filsafat itu membingungkan dalam artian ingin sok asik dengan "yuk balik lagi ke hari-hari kita", tapi juga sekaligus, "sini-sini saya jelaskan gimana keseharian itu". 

Namun kelihatannya filsafat tidak melulu berakhir di kesimpulan. Kesimpulan filsafat kadang sesuatu yang sangat sederhana dan mungkin sudah dijalani sebagian besar orang dalam keseharian (tanpa harus berfilsafat). Filsafat hanya membuat kesimpulan itu menjadi lebih tebal. Jalan yang ditempuh filsafat adalah "jalan mengabstraksi" untuk melihat keseharian dari ketinggian, untuk kemudian menyadari bahwa ketinggian itu kadang terlalu menakutkan sehingga rindu-untuk-mendarat. Saya pikir tanpa Martela mengatakan "kita harus mendarat", filsafat akan mendarat dengan caranya sendiri, karena cemas akan ketinggian itu. Biarkan filsafat dengan segala ketinggiannya terbang dalam kepala kita, tetapi dari ketinggiannya itu, tubuh hari-hari semakin kangen untuk membumi.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1