Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Merenungkan Hidup Versi Frank Martela


Buku Frank Martela yang berjudul Hidup Ini Indah (Gramedia Pustaka Utama, 2023) bisa dikatakan sebagai buku filsafat dengan gaya populer. Buku ini lebih tepatnya membahas tema eksistensialisme, tetapi tidak seperti umumnya teks-teks dengan tema tersebut yang cenderung murung (Kierkegaard, Camus, Dostoyevsky), nuansa tulisan Martela ini cukup terang dan malah berbau self-help. Tawaran Martela sederhana saja, bahwa makna dalam hidup tidak perlu dicari, karena hidup sudah bermakna dengan sendirinya. Di halaman 157, Martela menuliskan, "Kebermaknaan bukan sesuatu yang langka atau jarang. Itu adalah pengalaman yang ada dalam banyak momen sehari-hari kita dalam bentuk yang kuat maupun lemah." Hal ini dijustifikasi dalam tulisannya di website: 

"My key message in the book is that meaningfulness is not something grand and given to you from above. It is something happening within your life, and typically what makes your life meaningful are very mundane things like spending time with the family or having fun with your friends."

Jadi, menurut Martela, apa yang sudah kita jalani sehari-hari, itu sudah bermakna, tidak perlu mencarinya lagi. Sebagai ilustrasi, filosof eksistensialisme bergulat merumuskan bahwa makna hidup adalah A, makna hidup adalah B, tetapi melupakan bahwa makna hidup jangan-jangan ada pada hari-hari bersama sahabat dan keluarga. Apakah pandangan semacam ini bisa dikategorikan dalam atau dangkal? Kesimpulannya mungkin "dangkal" dalam artian "Yah, kesimpulan begitu aja sih kita juga tahu," tapi jalan menuju kesimpulan itulah yang menarik. 

Jalan serupa juga kelihatannya ditempuh Heidegger yang begitu rumit dalam menuliskan gagasannya tentang Dasein untuk sekadar menyatakan bahwa manusia sudah hidup-bersama-dunia: bekerja, bergaul, tanpa perlu "berpikir tentang dunia". Heidegger mengritik pandangan Descartes tentang "aku berpikir maka aku ada" dengan membalikannya: "Kita sudah ada sebelum memikirkannya". 

Namun harus diakui bahwa filsafat tidak melulu menjatuhkan simpulannya pada "yang keseharian". Dalam salah satu kuliah yang saya terima di STF Driyarkara, seorang dosen mengatakan bahwa filsafat perlu dibedakan dari kegiatan sehari-hari. Saya paham pendapat semacam itu: filsafat berbeda dengan kegiatan sehari-hari. Lebih jauh lagi, filsafat mencoba menemukan penjelasan tentang apa yang menjadi landasan hidup sehari-hari. Filsafat berupaya mencari hakikat, karena gemas dengan kehidupan sehari-hari yang serba permukaan dan tak stabil. Jika kita kembali pada Martela bahwa hidup ini sudah bermakna salah satunya dalam momen-momen kita bersama sahabat dan keluarga, aliran filsafat tertentu beranggapan: justru momen-momen itu "menipu" kita. Momen-momen itu hanyalah pengalaman inderawi yang datang dan pergi. Kita harus mencari hal apa yang lebih mendasar dari semua itu. 

Di sisi lain, Martela membela momen-momen keseharian sebagai hal yang paling hakiki. Saat pergi beli rokok ke minimarket misalnya, kita datang ke kasir, mengatakan ingin membeli rokok merk A, lalu membayarnya. Itu adalah momen keseharian. Tidak ada dalam momen itu: kapitalisme, liberalisme, individualisme, dan -isme -isme lainnya. Momen itu hanyalah momen itu. Kira-kira demikianlah maksud Martela, bahwa kita jangan mencari-cari makna di balik hal yang sudah jelas-jelas bermakna. Di sinilah kadang filsafat itu membingungkan dalam artian ingin sok asik dengan "yuk balik lagi ke hari-hari kita", tapi juga sekaligus, "sini-sini saya jelaskan gimana keseharian itu". 

Namun kelihatannya filsafat tidak melulu berakhir di kesimpulan. Kesimpulan filsafat kadang sesuatu yang sangat sederhana dan mungkin sudah dijalani sebagian besar orang dalam keseharian (tanpa harus berfilsafat). Filsafat hanya membuat kesimpulan itu menjadi lebih tebal. Jalan yang ditempuh filsafat adalah "jalan mengabstraksi" untuk melihat keseharian dari ketinggian, untuk kemudian menyadari bahwa ketinggian itu kadang terlalu menakutkan sehingga rindu-untuk-mendarat. Saya pikir tanpa Martela mengatakan "kita harus mendarat", filsafat akan mendarat dengan caranya sendiri, karena cemas akan ketinggian itu. Biarkan filsafat dengan segala ketinggiannya terbang dalam kepala kita, tetapi dari ketinggiannya itu, tubuh hari-hari semakin kangen untuk membumi.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k