Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Pertanyaan Kapan Kawin? dan Kepedulian Evolutif


Di suasana lebaran seperti sekarang ini, tidak semua orang menjadikan hal tersebut sebagai suatu momen yang seratus persen menyenangkan. Mungkin menyenangkan bagi mereka yang, tentu saja, puasanya tamat, dan selain itu pula, punya kehidupan sosial yang dapat dikatakan bagus dalam takaran masyarakat pada umumnya. Masyarakat pada umumnya itu, ya, mereka yang menganggap bahwa ukuran kepatutan hidup adalah sekolah yang tinggi, punya mobil dan rumah, pekerjaan yang bagus dan tentu saja: menikah – dan dilanjutkan dengan: punya anak -. Pada orang-orang yang sudah mencapai hal-hal itu, maka lebaran dan bertemu keluarga serta kerabat tidak harus menjadi momok yang menakutkan. Bahkan momen lebaran bisa digunakan untuk pamer dan membangga-banggakan diri. 

Sebaliknya, bagi mereka yang belum memenuhi kriteria sosial semacam itu, momen lebaran, tepatnya ketika kumpul bersama keluarga dan kerabat, adalah momen yang penuh penghakiman. Pertanyaan-pertanyaan tentang sekolah, harta, pekerjaan, hingga “Kapan kawin?” harus dipikirkan sungguh-sungguh cara menjawabnya agar tetap elegan: Tidak terlihat kesal dan juga tetap menjaga hubungan kekeluargaan. 

Di internet belakangan ini, mulai ada berbagai media yang peduli pada orang-orang yang begitu paranoid menghadapi situasi lebaran dengan segala pertanyaannya. Mereka menyuguhkan ragam jawaban dari mulai paling halus hingga paling kasar (terutama untuk merespon Kapan kawin?”– dari mulai menjawab “Mau fokus kerja.”, “Doain aja.”, sampai ke: “Kamu, kapan meninggal?”-. 

Tentunya, pada titik tertentu, orang-orang yang akan menghadapi lebaran yang tidak menyenangkan, kadang tak perlu terlalu pusing juga dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu dan berpikir keras menyajikan jawabannya. Kita bisa menenangkan diri dengan melihat seluruh pertanyaan tersebut dalam pandangan yang lebih luas, seluas bagaimana kita melihat rentang peradaban manusia. 

Mari lupakan sejenak wajah-wajah sanak saudara yang siap menanyai kita nanti. Pikirkan sejenak wajah seorang pemikir akhir abad ke-19 asal Inggris bernama Herbert Spencer. Spencer adalah seorang penganut teori evolusi yang terkenal karena salah satunya mengungkapkan istilah “survival of the fittest” (yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan “sintasan yang terbugar”). Secara sederhana, “sintasan yang terbugar” mempunyai prinsip bahwa hanya individu yang bugar (fit) yang selamat menghadapi seleksi alam. Lebih jauh lagi, Charles Darwin, sang penemu teori evolusi itu kemudian berbalik meminjam istilah Spencer untuk kemudian dikembangkan definisinya menjadi: (sintasan yang terbugar artinya) individu yang paling fit yang dapat bertahan hidup untuk bereproduksi. 

Teori evolusi memang terdapat pro dan kontra terhadapnya. Pro karena memang kenyataannya, spesies-spesies yang kita lihat bisa bertahan hidup hingga hari ini, adalah mereka yang lolos dari seleksi alam dari masa ke masa. Manusia purba punya kekuatan fisik yang besar dengan volume otak yang lebih kecil dibandingkan manusia masa sekarang. Tentu karena kebutuhan lingkungan masa itu yang lebih membutuhkan kekuatan fisik daripada kecerdasan kognitif. Hal yang berbeda terjadi di zaman sekarang: dimana manusia bisa sangat cerdas mencipta berbagai teknologi, namun sekaligus juga begitu rapuh karena bisa sakit oleh sebab hal-hal yang “remeh” seperti debu atau kehujanan. 

Kontra karena teori evolusi ini tentu saja tidak terlalu akur dengan pandangan agama yang melihat bahwa manusia dan segala makhluk hidup lainnya, sudah diciptakan dengan sempurna (tanpa harus melalui tetek bengek seleksi alam). Apalagi, agama-agama tertentu kemudian menyangsikan pendapat Darwin yang mengajukan hipotesis bahwa manusia adalah hasil seleksi alam dari kera. Tentu ini sangat menyakiti perasaan agama-agama yang menganggap bahwa manusia adalah imago dei (cerminan Tuhan) yang maka itu tidak mungkin berasal dari kera. 

Lalu, apa hubungan antara Herbert Spencer, Charles Darwin, sintasan yang terbugar, teori evolusi, imago dei, dan pertanyaan “Kapan Kawin?” Tentu kita harus hati-hati mengaitkan ini semua, demi, sekali lagi, keberlangsungan peradaban manusia. Sekarang, kita sama-sama cermati: Tidakkah pertanyaan “Kapan Kawin?” itu merujuk pada suatu kepedulian evolutif terhadap keberlangsungan manusia di muka bumi? Tidakkah mereka yang bertanya “Kapan Kawin?” itu pada dasarnya khawatir jangan sampai terjadi lagi kepunahan massal seperti halnya dinosaurus di jutaan tahun silam, atau komodo yang terus diburu hingga akhirnya yang tersisa hanya sedikit? 

Mulai sekarang, mereka yang khawatir akan lebaran dan segala pertanyaannya, boleh sedikit berprasangka baik pada si penanya, dengan mengasumsikan bahwa pertanyaan “Kapan Kawin?” itu tidak punya pretensi apa-apa selain demi peradaban manusia itu sendiri. Kita, selaku penerima pertanyaan, kemudian bisa menjawab dengan asumsi-asumsi evolutif juga, misalnya, “Tenang, Pak, Bu, jumlah umat manusia di muka bumi ini masih banyak,” atau, “Tenang, menurut pengamatan NASA, meteor akan kembali menumbuk bumi dan membuat kepunahan massal (lagi, seperi zaman dinosaurus) pada ribuan tahun mendatang. Jadi, saya kawin atau tidak, toh, bumi dan segala isinya akan musnah juga.” 

 

Ini adalah tulisan yang pernah dimuat di website voxpop.id. Sayangnya, website tersebut sekarang tidak aktif sehingga artikel-artikel di dalamnya tidak dapat diakses. Artikel yang diposting di blog ini adalah versi tulisan yang belum disunting oleh pihak voxpop.id. 

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me