7 Oktober kemarin, Hamas menyerang Israel. Dunia sempat kaget dan mengecam aksi tersebut sebagai aksi terorisme. Seperti yang selalu terjadi dalam sejarah, Israel melakukan serangan balasan ke wilayah Gaza sebagai daerah yang dikuasai Hamas. Serangan tersebut dilakukan bertubi-tubi, menimbulkan ribuan korban sipil termasuk anak-anak. Jujur, sebelum-sebelumnya, saya tidak pernah punya perhatian terhadap krisis di Palestina. Mungkin tahu sejarahnya sedikit, tetapi tidak pernah sampai menyuarakan dukungan tertentu. Bahkan saya pernah agak nyinyir pada orang-orang yang mengajak boikot produk-produk Yahudi. Saya pikir, mereka tidak mungkin memboikot produk Yahudi sepenuhnya karena minimal mereka menggunakan media sosial untuk menyuarakan ajakan boikot tersebut.
Namun pandangan saya dalam konflik terbaru ini berubah total. Bacaan dan renungan tentang filsafat yang makin intens justru membentuk keberpihakan yang tegas pada Palestina: bahwa tidak boleh ada pihak sok kuasa yang menindas pihak lainnya. Terlebih lagi, pemandangan genosida itu telanjang di hadapan mata, melalui video-video yang berseliweran di linimasa X. Terhadap hal yang begitu jelas, filsafat justru mendapat tantangan: bisakah daya pertimbangan yang dibangga-banggakan itu, disimpan dulu demi keberpihakan yang tidak memerlukan pemikiran rasional yang bertele-tele? Bisakah filsafat langsung saja menyatakan: ya, bahwa yang benar adalah menolak genosida, bahwa yang benar adalah mendukung kemerdekaan Palestina. Adapun kemampuan filsafat dalam berargumen, supaya langsung saja diarahkan pada dukungan terhadap "kebenaran intuitif" itu.
Kemudian pandangan saya terkait boikot pun berubah total. Dulu saya pikir boikot itu kegiatan kecil yang sia-sia. Namun saat ini saya mencoba menyelidiki lebih jauh, darimana muncul pandangan bahwa "boikot adalah kegiatan kecil yang sia-sia"? Bagaimana jika kerja-kerja kuasa dalam bentuk hegemoni dan biopolitik itulah yang membuat saya merasa bahwa beli McD, Starbaks, dan produk-produk Yahudi lainnya, tidak lebih dari sekadar kegiatan konsumsi biasa? Bagaimana jika politik telah bersalin rupa menjadi kegiatan "ekonomi sehari-hari" sehingga kita selalu gagal melihat kerja power di balik kegiatan-kegiatan yang "normal"?
Disitulah pandangan saya berubah. Boikot itu penting, sebagai perwujudan sikap kita yang enggan tunduk pada kuasa di balik keseharian. Kenyataannya, setiap hari kita berpolitik dalam artian, apa yang kita beli, apa yang kita makan, apa yang kita posting di media sosial, semuanya telah menjadi kegiatan yang saling terhubung. Terhadap produk yang kita beli dan kita makan, bisa jadi di baliknya ada orang-orang yang meraup keuntungan besar, dan orang tersebut memiliki pandangan politik tertentu. Jika pandangan politik tersebut katakanlah, berpihak pada zionis, maka bukan tidak mungkin uangnya digunakan untuk mendukung zionis dengan cara apapun itu. Saat kita posting-posting di media sosial, data-data kita diambil, menjadi acuan untuk micro-targetting demi iklan-iklan yang sekali lagi, pemiliknya kemungkinan punya pandangan politik tertentu.
Konflik Gaza adalah tantangan bagi pemahaman filsafat saya selama ini. Apa yang telah saya baca dan amalkan, mesti berhadapan dengan kenyataan telanjang bahwa tengah terjadi pembantaian dan saya tak bisa melakukan apapun kecuali berwacana. Namun berwacana bukanlah kegiatan sia-sia. Berwacana adalah usaha melakukan persuasi terhadap sejarah. Bangsa Palestina mungkin menderita hari ini, tetapi kelak akan menang dalam sejarah, sebagaimana Israel mati-matian membumihanguskan Gaza, dalam upayanya memposisikan diri dalam sejarah peradaban. Israel bisa saja digdaya saat sekarang, tapi jika Sejarah membencinya, upaya mereka untuk eksis malah semakin panjang dan berliku.
Comments
Post a Comment