Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Palestina


7 Oktober kemarin, Hamas menyerang Israel. Dunia sempat kaget dan mengecam aksi tersebut sebagai aksi terorisme. Seperti yang selalu terjadi dalam sejarah, Israel melakukan serangan balasan ke wilayah Gaza sebagai daerah yang dikuasai Hamas. Serangan tersebut dilakukan bertubi-tubi, menimbulkan ribuan korban sipil termasuk anak-anak. Jujur, sebelum-sebelumnya, saya tidak pernah punya perhatian terhadap krisis di Palestina. Mungkin tahu sejarahnya sedikit, tetapi tidak pernah sampai menyuarakan dukungan tertentu. Bahkan saya pernah agak nyinyir pada orang-orang yang mengajak boikot produk-produk Yahudi. Saya pikir, mereka tidak mungkin memboikot produk Yahudi sepenuhnya karena minimal mereka menggunakan media sosial untuk menyuarakan ajakan boikot tersebut. 

Namun pandangan saya dalam konflik terbaru ini berubah total. Bacaan dan renungan tentang filsafat yang makin intens justru membentuk keberpihakan yang tegas pada Palestina: bahwa tidak boleh ada pihak sok kuasa yang menindas pihak lainnya. Terlebih lagi, pemandangan genosida itu telanjang di hadapan mata, melalui video-video yang berseliweran di linimasa X. Terhadap hal yang begitu jelas, filsafat justru mendapat tantangan: bisakah daya pertimbangan yang dibangga-banggakan itu, disimpan dulu demi keberpihakan yang tidak memerlukan pemikiran rasional yang bertele-tele? Bisakah filsafat langsung saja menyatakan: ya, bahwa yang benar adalah menolak genosida, bahwa yang benar adalah mendukung kemerdekaan Palestina. Adapun kemampuan filsafat dalam berargumen, supaya langsung saja diarahkan pada dukungan terhadap "kebenaran intuitif" itu. 

Kemudian pandangan saya terkait boikot pun berubah total. Dulu saya pikir boikot itu kegiatan kecil yang sia-sia. Namun saat ini saya mencoba menyelidiki lebih jauh, darimana muncul pandangan bahwa "boikot adalah kegiatan kecil yang sia-sia"? Bagaimana jika kerja-kerja kuasa dalam bentuk hegemoni dan biopolitik itulah yang membuat saya merasa bahwa beli McD, Starbaks, dan produk-produk Yahudi lainnya, tidak lebih dari sekadar kegiatan konsumsi biasa? Bagaimana jika politik telah bersalin rupa menjadi kegiatan "ekonomi sehari-hari" sehingga kita selalu gagal melihat kerja power di balik kegiatan-kegiatan yang "normal"? 

Disitulah pandangan saya berubah. Boikot itu penting, sebagai perwujudan sikap kita yang enggan tunduk pada kuasa di balik keseharian. Kenyataannya, setiap hari kita berpolitik dalam artian, apa yang kita beli, apa yang kita makan, apa yang kita posting di media sosial, semuanya telah menjadi kegiatan yang saling terhubung. Terhadap produk yang kita beli dan kita makan, bisa jadi di baliknya ada orang-orang yang meraup keuntungan besar, dan orang tersebut memiliki pandangan politik tertentu. Jika pandangan politik tersebut katakanlah, berpihak pada zionis, maka bukan tidak mungkin uangnya digunakan untuk mendukung zionis dengan cara apapun itu. Saat kita posting-posting di media sosial, data-data kita diambil, menjadi acuan untuk micro-targetting demi iklan-iklan yang sekali lagi, pemiliknya kemungkinan punya pandangan politik tertentu. 

Konflik Gaza adalah tantangan bagi pemahaman filsafat saya selama ini. Apa yang telah saya baca dan amalkan, mesti berhadapan dengan kenyataan telanjang bahwa tengah terjadi pembantaian dan saya tak bisa melakukan apapun kecuali berwacana. Namun berwacana bukanlah kegiatan sia-sia. Berwacana adalah usaha melakukan persuasi terhadap sejarah. Bangsa Palestina mungkin menderita hari ini, tetapi kelak akan menang dalam sejarah, sebagaimana Israel mati-matian membumihanguskan Gaza, dalam upayanya memposisikan diri dalam sejarah peradaban. Israel bisa saja digdaya saat sekarang, tapi jika Sejarah membencinya, upaya mereka untuk eksis malah semakin panjang dan berliku.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me