Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Dwi Hartanto - Antara Mythomania dan Kenaifan Kita Memandang Dunia Akademik

Di media belakangan ini, nama Dwi Hartanto tiba-tiba mencuat. Orang yang dijuluki “The Next Habibie” dan pernah memberi pernyataan di acara Mata Najwa tersebut, akhirnya mengakui bahwa berbagai prestasi yang ia umbar selama ini, ternyata bohong belaka. Segala tetek bengek tentang lulusan Tokyo Institute of Technology, posisi asisten profesor, ikut merancang Satellite Launch Vehicle, satu-satunya orang non-Eropa yang masuk ke ring satu Badan Antariksa Eropa (ESA), hingga memenangkan lomba riset teknologi di Jerman, akhirnya diakuinya sendiri sebagai hoax. Kebohongan terakhirnya, yang paling menggemparkan, akhirnya ia tepis sendiri juga: Bahwa bukan Habibie yang memintanya bertemu dia, melainkan dia sendiri yang minta pihak KBRI Den Haag untuk dipertemukan dengan Habibie. Jadi, lengkap sudah pengakuan Dwi Hartanto. Banyak pihak yang sudah dibuat percaya hingga mungkin menaruh harapan tentang masa depan Indonesia di tangan anak muda ini. Lantas, fenomena apa ini? Bagaimana kita harus menyikapinya? 

Kita tidak benar-benar tahu apakah Dwi Hartanto mengidap mythomania atau tidak. Mythomania adalah penyakit psikis yang diistilahkan pertama kali tahun 1905 oleh Ferdinand Dupré. Mereka yang mengidap mythomania sangat sering berbohong dan saking seringnya, antara kebohongan dan kenyataan sudah lebur sehingga mereka sendiri sangat sulit membedakan. Bisa jadi, pengidap mythomania ini sedang berusaha meyakinkan dirinya sendiri tentang kenyataan yang “seharusnya” dan bukan yang “sebenarnya”. Demikian barangkali pandangan pertama kita tentang Dwi Hartanto, adalah menuduhnya tentang kemungkinan ia mengidap mythomania. Bukan Habibie yang ingin bertemu dia, tapi dia menginginkan Habibie agar ingin bertemu dia, sehingga kemudian Dwi Hartanto memproduksi cerita tersebut agar tidak hanya orang lain menjadi percaya, tapi dirinya sendiri juga jadi percaya. Tentang mythomania sendiri, tidak ada obat serius yang bisa benar-benar mengatasinya. Mungkin memang karena tidak ada obatnya, atau mari kita berkaca pada diri kita sejenak: Apakah pada dasarnya, kita sendiri, punya gejala mythomaniac, meski pada taraf yang berbeda-beda? 

Pada tahun 2009, ada film komedi satir yang cukup menggemparkan, berjudul Invention of Lying. Film yang disutradarai oleh Ricky Gervais dan Matthew Robinson tersebut, bercerita tentang kehidupan sebuah kota dimana di dalamnya tidak mengenal yang bernama kebohongan atau kegiatan berbohong. Semua orang berkata sesuai apa yang dipikirkannya – meski itu berupa kata-kata kasar, menghina, melecehkan, dan mempermalukan -. Dampaknya, selain tidak ada iklan, hidup juga tidak mengenal karya seni, termasuk sastra. Kehidupan yang terlalu jujur justru, dalam kacamata kita, para penonton, yang sudah “terbiasa dengan kebohongan”, malah sangat datar dan membosankan. Bahkan di bagian-bagian akhir film, Mark, si tokoh utama, mencoba menghibur ibunya yang sekarat dengan sebuah cerita-cerita indah pasca kematian. Mark, dalam hal ini, punya tendensi berbohong karena sebenarnya ia sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi setelah mati. Tapi toh, sang ibu merasa lebih lega, oleh berbagai “kebohongan-kebohongan” itu. 

Artinya, jangan-jangan, kembali ke konteks Dwi Hartanto, sebenarnya kita sendiri dibuat senang oleh berbagai kebohongan yang diproduksi setiap hari. Keberadaan Dwi Hartanto, yang belakangan kita hujat ramai-ramai, sebenarnya hanya menyuarakan sifat tribal kita yang di dalam hati berbunyi, “Akhirnya, ada yang bohongnya lebih parah dari kita.” Kebohongan adalah sejenis harapan, dan Dwi Hartanto, kalaupun dia tidak mengakui kebohongannya, mungkin tiada ada orang yang peduli. Bisa jadi, kebohongan Dwi Hartanto tentang segala prestasinya itu, jauh lebih penting daripada kejujurannya. 

Jangan-jangan, Dwi Hartanto bohong atau tidak, sebenarnya kita sendiri malah tidak tahu. Di sisi lain, ini juga adalah pengaruh naifnya kita memandang dunia pendidikan sebagai sesuatu yang bermartabat dan pasti keren. Hal ini mengingatkan kita pada sebuah kasus di tahun 1996 yang sering disebut sebagai “Sokal Affair”. Alan Sokal, seorang profesor fisika dari New York University dan University of College London, mengirimkan tulisan berjudul “Transgressing the Boundaries: Towards a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity” yang dimuat di jurnal berjudul Social Text. Social Text sendiri merupakan jurnal yang membahas kajian-kajian posmodernisme. 

Lalu pada bulan yang sama setelah tulisannya tersebut diterbitkan, Sokal mengaku pada sebuah majalah berjudul Lingua Franca, bahwa artikel tersebut adalah hoax. Ia sebenarnya hanya ingin menguji bagaimana dunia akademik (dalam hal ini, ilmu sosial, khususnya yang mengkaji posmodernisme), bisa begitu saja menerima suatu tulisan yang dianggap “keren”, tanpa harus mempertimbangkan kebenarannya. Sokal mengakui lagi, bahwa tulisannya tersebut hanya dibumbui banyak istilah-istilah yang canggih agar dapat diterima sebagai sesuatu yang ilmiah. 

Apa artinya Sokal Affair jika dikaitkan dengan kasus Dwi Hartanto? Mungkin, pada dasarnya, begitu mudah bagi kita untuk menaruh harapan bagi seorang Dwi Hartanto, ketika ia menyebut macam-macam nama roket yang sebenarnya kita tidak paham. Mudah sekali bagi kita untuk percaya dan menyebutnya sebagai “The Next Habibie”, hanya karena ia lulusan dari universitas yang kita pun sebenarnya tidak tahu itu universitas apa. Intinya, asal terdengar keren, maka itu berarti akademis. Jika itu akademis, berarti juga keren. Bahkan yang lebih gawat, ada semacam dogma aneh yang berbisik dalam diri kita, “Semakin kita tidak paham itu apa, berarti semakin keren dan akademislah sesuatu itu.” 

Jadi, sebelum kita menerima Dwi Hartanto-Dwi Hartanto yang lain, terlebih dahulu perbaiki diri kita dalam memandang dunia akademik: Jangan sampai diri ini pasti yakin, bahwa yang tidak dapat dimengerti, itu pasti benar; bahwa yang terdengar ilmiah, itu pasti benar. Dunia akademik, mungkin, tidak sekeren itu, kok. 

 

Ini adalah tulisan yang pernah dimuat di website voxpop.id. Sayangnya, website tersebut sekarang tidak aktif sehingga artikel-artikel di dalamnya tidak dapat diakses. Artikel yang diposting di blog ini adalah versi tulisan yang belum disunting oleh pihak voxpop.id.


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat