Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Dwi Hartanto - Antara Mythomania dan Kenaifan Kita Memandang Dunia Akademik

Di media belakangan ini, nama Dwi Hartanto tiba-tiba mencuat. Orang yang dijuluki “The Next Habibie” dan pernah memberi pernyataan di acara Mata Najwa tersebut, akhirnya mengakui bahwa berbagai prestasi yang ia umbar selama ini, ternyata bohong belaka. Segala tetek bengek tentang lulusan Tokyo Institute of Technology, posisi asisten profesor, ikut merancang Satellite Launch Vehicle, satu-satunya orang non-Eropa yang masuk ke ring satu Badan Antariksa Eropa (ESA), hingga memenangkan lomba riset teknologi di Jerman, akhirnya diakuinya sendiri sebagai hoax. Kebohongan terakhirnya, yang paling menggemparkan, akhirnya ia tepis sendiri juga: Bahwa bukan Habibie yang memintanya bertemu dia, melainkan dia sendiri yang minta pihak KBRI Den Haag untuk dipertemukan dengan Habibie. Jadi, lengkap sudah pengakuan Dwi Hartanto. Banyak pihak yang sudah dibuat percaya hingga mungkin menaruh harapan tentang masa depan Indonesia di tangan anak muda ini. Lantas, fenomena apa ini? Bagaimana kita harus menyikapinya? 

Kita tidak benar-benar tahu apakah Dwi Hartanto mengidap mythomania atau tidak. Mythomania adalah penyakit psikis yang diistilahkan pertama kali tahun 1905 oleh Ferdinand Dupré. Mereka yang mengidap mythomania sangat sering berbohong dan saking seringnya, antara kebohongan dan kenyataan sudah lebur sehingga mereka sendiri sangat sulit membedakan. Bisa jadi, pengidap mythomania ini sedang berusaha meyakinkan dirinya sendiri tentang kenyataan yang “seharusnya” dan bukan yang “sebenarnya”. Demikian barangkali pandangan pertama kita tentang Dwi Hartanto, adalah menuduhnya tentang kemungkinan ia mengidap mythomania. Bukan Habibie yang ingin bertemu dia, tapi dia menginginkan Habibie agar ingin bertemu dia, sehingga kemudian Dwi Hartanto memproduksi cerita tersebut agar tidak hanya orang lain menjadi percaya, tapi dirinya sendiri juga jadi percaya. Tentang mythomania sendiri, tidak ada obat serius yang bisa benar-benar mengatasinya. Mungkin memang karena tidak ada obatnya, atau mari kita berkaca pada diri kita sejenak: Apakah pada dasarnya, kita sendiri, punya gejala mythomaniac, meski pada taraf yang berbeda-beda? 

Pada tahun 2009, ada film komedi satir yang cukup menggemparkan, berjudul Invention of Lying. Film yang disutradarai oleh Ricky Gervais dan Matthew Robinson tersebut, bercerita tentang kehidupan sebuah kota dimana di dalamnya tidak mengenal yang bernama kebohongan atau kegiatan berbohong. Semua orang berkata sesuai apa yang dipikirkannya – meski itu berupa kata-kata kasar, menghina, melecehkan, dan mempermalukan -. Dampaknya, selain tidak ada iklan, hidup juga tidak mengenal karya seni, termasuk sastra. Kehidupan yang terlalu jujur justru, dalam kacamata kita, para penonton, yang sudah “terbiasa dengan kebohongan”, malah sangat datar dan membosankan. Bahkan di bagian-bagian akhir film, Mark, si tokoh utama, mencoba menghibur ibunya yang sekarat dengan sebuah cerita-cerita indah pasca kematian. Mark, dalam hal ini, punya tendensi berbohong karena sebenarnya ia sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi setelah mati. Tapi toh, sang ibu merasa lebih lega, oleh berbagai “kebohongan-kebohongan” itu. 

Artinya, jangan-jangan, kembali ke konteks Dwi Hartanto, sebenarnya kita sendiri dibuat senang oleh berbagai kebohongan yang diproduksi setiap hari. Keberadaan Dwi Hartanto, yang belakangan kita hujat ramai-ramai, sebenarnya hanya menyuarakan sifat tribal kita yang di dalam hati berbunyi, “Akhirnya, ada yang bohongnya lebih parah dari kita.” Kebohongan adalah sejenis harapan, dan Dwi Hartanto, kalaupun dia tidak mengakui kebohongannya, mungkin tiada ada orang yang peduli. Bisa jadi, kebohongan Dwi Hartanto tentang segala prestasinya itu, jauh lebih penting daripada kejujurannya. 

Jangan-jangan, Dwi Hartanto bohong atau tidak, sebenarnya kita sendiri malah tidak tahu. Di sisi lain, ini juga adalah pengaruh naifnya kita memandang dunia pendidikan sebagai sesuatu yang bermartabat dan pasti keren. Hal ini mengingatkan kita pada sebuah kasus di tahun 1996 yang sering disebut sebagai “Sokal Affair”. Alan Sokal, seorang profesor fisika dari New York University dan University of College London, mengirimkan tulisan berjudul “Transgressing the Boundaries: Towards a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity” yang dimuat di jurnal berjudul Social Text. Social Text sendiri merupakan jurnal yang membahas kajian-kajian posmodernisme. 

Lalu pada bulan yang sama setelah tulisannya tersebut diterbitkan, Sokal mengaku pada sebuah majalah berjudul Lingua Franca, bahwa artikel tersebut adalah hoax. Ia sebenarnya hanya ingin menguji bagaimana dunia akademik (dalam hal ini, ilmu sosial, khususnya yang mengkaji posmodernisme), bisa begitu saja menerima suatu tulisan yang dianggap “keren”, tanpa harus mempertimbangkan kebenarannya. Sokal mengakui lagi, bahwa tulisannya tersebut hanya dibumbui banyak istilah-istilah yang canggih agar dapat diterima sebagai sesuatu yang ilmiah. 

Apa artinya Sokal Affair jika dikaitkan dengan kasus Dwi Hartanto? Mungkin, pada dasarnya, begitu mudah bagi kita untuk menaruh harapan bagi seorang Dwi Hartanto, ketika ia menyebut macam-macam nama roket yang sebenarnya kita tidak paham. Mudah sekali bagi kita untuk percaya dan menyebutnya sebagai “The Next Habibie”, hanya karena ia lulusan dari universitas yang kita pun sebenarnya tidak tahu itu universitas apa. Intinya, asal terdengar keren, maka itu berarti akademis. Jika itu akademis, berarti juga keren. Bahkan yang lebih gawat, ada semacam dogma aneh yang berbisik dalam diri kita, “Semakin kita tidak paham itu apa, berarti semakin keren dan akademislah sesuatu itu.” 

Jadi, sebelum kita menerima Dwi Hartanto-Dwi Hartanto yang lain, terlebih dahulu perbaiki diri kita dalam memandang dunia akademik: Jangan sampai diri ini pasti yakin, bahwa yang tidak dapat dimengerti, itu pasti benar; bahwa yang terdengar ilmiah, itu pasti benar. Dunia akademik, mungkin, tidak sekeren itu, kok. 

 

Ini adalah tulisan yang pernah dimuat di website voxpop.id. Sayangnya, website tersebut sekarang tidak aktif sehingga artikel-artikel di dalamnya tidak dapat diakses. Artikel yang diposting di blog ini adalah versi tulisan yang belum disunting oleh pihak voxpop.id.


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me