Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Tangan Kosong


Sebagai orang yang tidak belajar filsafat secara formal di kampus, saya sempat tidak sepenuhnya menganut pandangan bahwa filsafat mesti dipahami secara tekstual. Persentuhan saya awal-awal dengan filsafat berasal dari kuliah Extension Course Filsafat UNPAR yang memang ditujukan untuk publik non filsafat dan diskusi-diskusi, utamanya di komunitas Madrasah Falsafah. Berdasarkan pembelajaran filsafat dari tempat-tempat tersebut, saya tahunya filsafat itu ya berpikir kritis dan reflektif secara bebas. Mencomot pemikiran tentu sering, tetapi tidak perlu ketat mengacu pada teks, apalagi teks primer. 

Saya kemudian mendaftar S3 di STF Driyarkara, salah satu kampus filsafat terbaik di Indonesia, dengan bekal surat rekomendasi dari Bambang Sugiharto, guru besar filsafat UNPAR. Dalam surat rekomendasi tersebut, Pak Bambang menuliskan pernyataan yang isinya kurang lebih menunjukkan bahwa syarif memang kurang tekun dalam membaca. Di STF Driyarkara akhirnya saya tahu bahwa mempelajari filsafat adalah tentang membaca teks secara tekun. Kita tidak bisa sembarangan mengajukan pendapat secara bebas tanpa memiliki acuan formal. Kalaupun dibolehkan, pendapat itu di akhir saja, setelah berhasil mengelaborasi pandangan-pandangan para filsuf.

Bahkan di STF Driyarkara ini, terutama untuk level S3, kami tidak diperbolehkan untuk membaca teks primer dalam bentuk terjemahan. Jika teks aslinya dalam bahasa Prancis atau Jerman, ya kita harus mampu berbahasa Prancis atau Jerman untuk bisa membacanya. Sementara saya tahunya membaca teks itu bebas saja, bahkan dalam bahasa Indonesia pun boleh. Di STF Driyarkara saya belajar bahwa berfilsafat itu harus disiplin, karena filsafat juga sekaligus ilmu yang memiliki kekhasan. Di STF Driyarkara saya belajar bahwa kegiatan berfilsafat belum tentu mampu dilakukan semua orang, seperti halnya tidak semua orang bisa menjadi hakim, tidak semua orang bisa menjadi dokter, dan tidak semua orang bisa menjadi seniman. Tadinya saya pikir sepanjang kita ini rajin berdiskusi, membaca tipis-tipis, dan ikut kuliah, kita juga bisa menjadi "ahli filsafat". 

Namun sependek pengamatan, saya juga menemukan terdapat kelemahan dari cara-cara berfilsafat yang terlampau tekstual tersebut. Di ruang publik, terkadang berfilsafat dengan "tangan kosong" itu perlu, dalam artian bahwa kita harus mampu menganalisis fenomena terkini dengan cara-cara khas filsafat yang mendalam sekaligus "tak terduga" tetapi tanpa harus bertele-tele mencarinya ke teks-teks primer dari berabad-abad silam. Kelemahan pembaca tekstual ketat adalah kelambatannya dalam melakukan deduksi, sehingga agak delay dalam mengenali suatu problem di hadapan, yang mungkin masih asing dalam pembacaan pemikir-pemikir besar di masa lampau. Misalnya dalam membaca fenomena TikTok, kemana mestinya filsuf tekstual ini menyandarkan pemikirannya? Platon? Descartes? Marx? Deleuze? Bisa jadi fenomena TikTok ini sangat khas dan belum ada padanan analisisnya di zaman dulu. 

Berfilsafat dengan landasan teks tentu keren, tetapi menurut saya jangan sampai terjebak terus menerus dalam pendapat-pendapat jadul para filsuf. Mereka juga belum tentu mengantisipasi hal-hal seperti keributan di Twitter/ X, peristiwa pandemi COVID-19, atau woke culture yang saat ini tengah naik daun. Umumnya orang-orang terlampau tekstual ini jatuhnya menjadi reduksionis, "Ah ini cuma neo-sofis", "Ah ini mengulangi pandangan raja filsuf-nya Platon", "Ah ini sudah pernah dikatakan oleh Rousseau". Ada benarnya, tetapi tidakkah ada perbedaan antara pandangan-pandangan tersebut dengan fenomena sebenarnya yang terjadi hari ini? Bukankah sejarah memang merepetisi, tetapi dengan cara yang dinamis, yang membawa sekaligus meninggalkan unsur-unsur yang sudah lama? Terkadang, atau bahkan seringnya, berfilsafat dengan tangan kosong alias tanpa senjata teks ini amat diperlukan demi membuat terang apa yang jadi problem di masa sekarang.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k