Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Tangan Kosong


Sebagai orang yang tidak belajar filsafat secara formal di kampus, saya sempat tidak sepenuhnya menganut pandangan bahwa filsafat mesti dipahami secara tekstual. Persentuhan saya awal-awal dengan filsafat berasal dari kuliah Extension Course Filsafat UNPAR yang memang ditujukan untuk publik non filsafat dan diskusi-diskusi, utamanya di komunitas Madrasah Falsafah. Berdasarkan pembelajaran filsafat dari tempat-tempat tersebut, saya tahunya filsafat itu ya berpikir kritis dan reflektif secara bebas. Mencomot pemikiran tentu sering, tetapi tidak perlu ketat mengacu pada teks, apalagi teks primer. 

Saya kemudian mendaftar S3 di STF Driyarkara, salah satu kampus filsafat terbaik di Indonesia, dengan bekal surat rekomendasi dari Bambang Sugiharto, guru besar filsafat UNPAR. Dalam surat rekomendasi tersebut, Pak Bambang menuliskan pernyataan yang isinya kurang lebih menunjukkan bahwa syarif memang kurang tekun dalam membaca. Di STF Driyarkara akhirnya saya tahu bahwa mempelajari filsafat adalah tentang membaca teks secara tekun. Kita tidak bisa sembarangan mengajukan pendapat secara bebas tanpa memiliki acuan formal. Kalaupun dibolehkan, pendapat itu di akhir saja, setelah berhasil mengelaborasi pandangan-pandangan para filsuf.

Bahkan di STF Driyarkara ini, terutama untuk level S3, kami tidak diperbolehkan untuk membaca teks primer dalam bentuk terjemahan. Jika teks aslinya dalam bahasa Prancis atau Jerman, ya kita harus mampu berbahasa Prancis atau Jerman untuk bisa membacanya. Sementara saya tahunya membaca teks itu bebas saja, bahkan dalam bahasa Indonesia pun boleh. Di STF Driyarkara saya belajar bahwa berfilsafat itu harus disiplin, karena filsafat juga sekaligus ilmu yang memiliki kekhasan. Di STF Driyarkara saya belajar bahwa kegiatan berfilsafat belum tentu mampu dilakukan semua orang, seperti halnya tidak semua orang bisa menjadi hakim, tidak semua orang bisa menjadi dokter, dan tidak semua orang bisa menjadi seniman. Tadinya saya pikir sepanjang kita ini rajin berdiskusi, membaca tipis-tipis, dan ikut kuliah, kita juga bisa menjadi "ahli filsafat". 

Namun sependek pengamatan, saya juga menemukan terdapat kelemahan dari cara-cara berfilsafat yang terlampau tekstual tersebut. Di ruang publik, terkadang berfilsafat dengan "tangan kosong" itu perlu, dalam artian bahwa kita harus mampu menganalisis fenomena terkini dengan cara-cara khas filsafat yang mendalam sekaligus "tak terduga" tetapi tanpa harus bertele-tele mencarinya ke teks-teks primer dari berabad-abad silam. Kelemahan pembaca tekstual ketat adalah kelambatannya dalam melakukan deduksi, sehingga agak delay dalam mengenali suatu problem di hadapan, yang mungkin masih asing dalam pembacaan pemikir-pemikir besar di masa lampau. Misalnya dalam membaca fenomena TikTok, kemana mestinya filsuf tekstual ini menyandarkan pemikirannya? Platon? Descartes? Marx? Deleuze? Bisa jadi fenomena TikTok ini sangat khas dan belum ada padanan analisisnya di zaman dulu. 

Berfilsafat dengan landasan teks tentu keren, tetapi menurut saya jangan sampai terjebak terus menerus dalam pendapat-pendapat jadul para filsuf. Mereka juga belum tentu mengantisipasi hal-hal seperti keributan di Twitter/ X, peristiwa pandemi COVID-19, atau woke culture yang saat ini tengah naik daun. Umumnya orang-orang terlampau tekstual ini jatuhnya menjadi reduksionis, "Ah ini cuma neo-sofis", "Ah ini mengulangi pandangan raja filsuf-nya Platon", "Ah ini sudah pernah dikatakan oleh Rousseau". Ada benarnya, tetapi tidakkah ada perbedaan antara pandangan-pandangan tersebut dengan fenomena sebenarnya yang terjadi hari ini? Bukankah sejarah memang merepetisi, tetapi dengan cara yang dinamis, yang membawa sekaligus meninggalkan unsur-unsur yang sudah lama? Terkadang, atau bahkan seringnya, berfilsafat dengan tangan kosong alias tanpa senjata teks ini amat diperlukan demi membuat terang apa yang jadi problem di masa sekarang.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me