Skip to main content

Tentang Perempuan Bernama NK

Pada tanggal 21 Agustus 2024, seorang perempuan, mantan mahasiswi, menjangkau saya via DM Instagram untuk mengucapkan simpati atas hal yang menimpa saya. Singkat cerita, kami berbincang di Whatsapp dan janjian untuk berjumpa tanggal 6 September 2024 di Jalan Braga. Tidak ada hal yang istimewa. Dia sudah punya pacar dan juga memiliki mungkin belasan teman kencan hasil bermain dating apps .  NK baru saja bercerai dengan membawa satu anak lelaki. Dia adalah mahasiswi yang saya ajar pada sekitar tahun 2016 di sebuah kampus swasta. Dulu saya tidak punya perhatian khusus pada NK karena ya saya anggap seperti mahasiswa yang lainnya saja. Namun belakangan memang dia tampak lebih bersinar karena perawatan diri yang sepertinya intensif. Selain itu, bubarnya pernikahan selama sebelas tahun membuatnya lebih bebas dan bahagia. Sejak pertemuan di Jalan Braga itu, saya tertarik pada NK. Tentu saja NK tidak tertarik pada saya, yang di bulan-bulan itu masih tampak berantakan dan tak stabil (fisik, ...

Tangan Kosong


Sebagai orang yang tidak belajar filsafat secara formal di kampus, saya sempat tidak sepenuhnya menganut pandangan bahwa filsafat mesti dipahami secara tekstual. Persentuhan saya awal-awal dengan filsafat berasal dari kuliah Extension Course Filsafat UNPAR yang memang ditujukan untuk publik non filsafat dan diskusi-diskusi, utamanya di komunitas Madrasah Falsafah. Berdasarkan pembelajaran filsafat dari tempat-tempat tersebut, saya tahunya filsafat itu ya berpikir kritis dan reflektif secara bebas. Mencomot pemikiran tentu sering, tetapi tidak perlu ketat mengacu pada teks, apalagi teks primer. 

Saya kemudian mendaftar S3 di STF Driyarkara, salah satu kampus filsafat terbaik di Indonesia, dengan bekal surat rekomendasi dari Bambang Sugiharto, guru besar filsafat UNPAR. Dalam surat rekomendasi tersebut, Pak Bambang menuliskan pernyataan yang isinya kurang lebih menunjukkan bahwa syarif memang kurang tekun dalam membaca. Di STF Driyarkara akhirnya saya tahu bahwa mempelajari filsafat adalah tentang membaca teks secara tekun. Kita tidak bisa sembarangan mengajukan pendapat secara bebas tanpa memiliki acuan formal. Kalaupun dibolehkan, pendapat itu di akhir saja, setelah berhasil mengelaborasi pandangan-pandangan para filsuf.

Bahkan di STF Driyarkara ini, terutama untuk level S3, kami tidak diperbolehkan untuk membaca teks primer dalam bentuk terjemahan. Jika teks aslinya dalam bahasa Prancis atau Jerman, ya kita harus mampu berbahasa Prancis atau Jerman untuk bisa membacanya. Sementara saya tahunya membaca teks itu bebas saja, bahkan dalam bahasa Indonesia pun boleh. Di STF Driyarkara saya belajar bahwa berfilsafat itu harus disiplin, karena filsafat juga sekaligus ilmu yang memiliki kekhasan. Di STF Driyarkara saya belajar bahwa kegiatan berfilsafat belum tentu mampu dilakukan semua orang, seperti halnya tidak semua orang bisa menjadi hakim, tidak semua orang bisa menjadi dokter, dan tidak semua orang bisa menjadi seniman. Tadinya saya pikir sepanjang kita ini rajin berdiskusi, membaca tipis-tipis, dan ikut kuliah, kita juga bisa menjadi "ahli filsafat". 

Namun sependek pengamatan, saya juga menemukan terdapat kelemahan dari cara-cara berfilsafat yang terlampau tekstual tersebut. Di ruang publik, terkadang berfilsafat dengan "tangan kosong" itu perlu, dalam artian bahwa kita harus mampu menganalisis fenomena terkini dengan cara-cara khas filsafat yang mendalam sekaligus "tak terduga" tetapi tanpa harus bertele-tele mencarinya ke teks-teks primer dari berabad-abad silam. Kelemahan pembaca tekstual ketat adalah kelambatannya dalam melakukan deduksi, sehingga agak delay dalam mengenali suatu problem di hadapan, yang mungkin masih asing dalam pembacaan pemikir-pemikir besar di masa lampau. Misalnya dalam membaca fenomena TikTok, kemana mestinya filsuf tekstual ini menyandarkan pemikirannya? Platon? Descartes? Marx? Deleuze? Bisa jadi fenomena TikTok ini sangat khas dan belum ada padanan analisisnya di zaman dulu. 

Berfilsafat dengan landasan teks tentu keren, tetapi menurut saya jangan sampai terjebak terus menerus dalam pendapat-pendapat jadul para filsuf. Mereka juga belum tentu mengantisipasi hal-hal seperti keributan di Twitter/ X, peristiwa pandemi COVID-19, atau woke culture yang saat ini tengah naik daun. Umumnya orang-orang terlampau tekstual ini jatuhnya menjadi reduksionis, "Ah ini cuma neo-sofis", "Ah ini mengulangi pandangan raja filsuf-nya Platon", "Ah ini sudah pernah dikatakan oleh Rousseau". Ada benarnya, tetapi tidakkah ada perbedaan antara pandangan-pandangan tersebut dengan fenomena sebenarnya yang terjadi hari ini? Bukankah sejarah memang merepetisi, tetapi dengan cara yang dinamis, yang membawa sekaligus meninggalkan unsur-unsur yang sudah lama? Terkadang, atau bahkan seringnya, berfilsafat dengan tangan kosong alias tanpa senjata teks ini amat diperlukan demi membuat terang apa yang jadi problem di masa sekarang.

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...