Sebagai orang yang tidak belajar filsafat secara formal di kampus, saya sempat tidak sepenuhnya menganut pandangan bahwa filsafat mesti dipahami secara tekstual. Persentuhan saya awal-awal dengan filsafat berasal dari kuliah Extension Course Filsafat UNPAR yang memang ditujukan untuk publik non filsafat dan diskusi-diskusi, utamanya di komunitas Madrasah Falsafah. Berdasarkan pembelajaran filsafat dari tempat-tempat tersebut, saya tahunya filsafat itu ya berpikir kritis dan reflektif secara bebas. Mencomot pemikiran tentu sering, tetapi tidak perlu ketat mengacu pada teks, apalagi teks primer.
Saya kemudian mendaftar S3 di STF Driyarkara, salah satu kampus filsafat terbaik di Indonesia, dengan bekal surat rekomendasi dari Bambang Sugiharto, guru besar filsafat UNPAR. Dalam surat rekomendasi tersebut, Pak Bambang menuliskan pernyataan yang isinya kurang lebih menunjukkan bahwa syarif memang kurang tekun dalam membaca. Di STF Driyarkara akhirnya saya tahu bahwa mempelajari filsafat adalah tentang membaca teks secara tekun. Kita tidak bisa sembarangan mengajukan pendapat secara bebas tanpa memiliki acuan formal. Kalaupun dibolehkan, pendapat itu di akhir saja, setelah berhasil mengelaborasi pandangan-pandangan para filsuf.
Bahkan di STF Driyarkara ini, terutama untuk level S3, kami tidak diperbolehkan untuk membaca teks primer dalam bentuk terjemahan. Jika teks aslinya dalam bahasa Prancis atau Jerman, ya kita harus mampu berbahasa Prancis atau Jerman untuk bisa membacanya. Sementara saya tahunya membaca teks itu bebas saja, bahkan dalam bahasa Indonesia pun boleh. Di STF Driyarkara saya belajar bahwa berfilsafat itu harus disiplin, karena filsafat juga sekaligus ilmu yang memiliki kekhasan. Di STF Driyarkara saya belajar bahwa kegiatan berfilsafat belum tentu mampu dilakukan semua orang, seperti halnya tidak semua orang bisa menjadi hakim, tidak semua orang bisa menjadi dokter, dan tidak semua orang bisa menjadi seniman. Tadinya saya pikir sepanjang kita ini rajin berdiskusi, membaca tipis-tipis, dan ikut kuliah, kita juga bisa menjadi "ahli filsafat".
Namun sependek pengamatan, saya juga menemukan terdapat kelemahan dari cara-cara berfilsafat yang terlampau tekstual tersebut. Di ruang publik, terkadang berfilsafat dengan "tangan kosong" itu perlu, dalam artian bahwa kita harus mampu menganalisis fenomena terkini dengan cara-cara khas filsafat yang mendalam sekaligus "tak terduga" tetapi tanpa harus bertele-tele mencarinya ke teks-teks primer dari berabad-abad silam. Kelemahan pembaca tekstual ketat adalah kelambatannya dalam melakukan deduksi, sehingga agak delay dalam mengenali suatu problem di hadapan, yang mungkin masih asing dalam pembacaan pemikir-pemikir besar di masa lampau. Misalnya dalam membaca fenomena TikTok, kemana mestinya filsuf tekstual ini menyandarkan pemikirannya? Platon? Descartes? Marx? Deleuze? Bisa jadi fenomena TikTok ini sangat khas dan belum ada padanan analisisnya di zaman dulu.
Berfilsafat dengan landasan teks tentu keren, tetapi menurut saya jangan sampai terjebak terus menerus dalam pendapat-pendapat jadul para filsuf. Mereka juga belum tentu mengantisipasi hal-hal seperti keributan di Twitter/ X, peristiwa pandemi COVID-19, atau woke culture yang saat ini tengah naik daun. Umumnya orang-orang terlampau tekstual ini jatuhnya menjadi reduksionis, "Ah ini cuma neo-sofis", "Ah ini mengulangi pandangan raja filsuf-nya Platon", "Ah ini sudah pernah dikatakan oleh Rousseau". Ada benarnya, tetapi tidakkah ada perbedaan antara pandangan-pandangan tersebut dengan fenomena sebenarnya yang terjadi hari ini? Bukankah sejarah memang merepetisi, tetapi dengan cara yang dinamis, yang membawa sekaligus meninggalkan unsur-unsur yang sudah lama? Terkadang, atau bahkan seringnya, berfilsafat dengan tangan kosong alias tanpa senjata teks ini amat diperlukan demi membuat terang apa yang jadi problem di masa sekarang.
Comments
Post a Comment