Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Tentang Penyuntingan



Sejak beberapa bulan terakhir, saya mendapatkan pekerjaan untuk mengedit naskah teman kuliah yang mengangkat tema tentang mental health. Ini bukan pekerjaan menyunting saya yang pertama, tetapi pekerjaan ini cukup berkesan karena saya merasa benar-benar menjalankan tugas sebagai editor. Maksudnya, saya tidak hanya melakukan editing secara teknis, melainkan juga bisa menjadi rekan diskusi bagi gagasan di dalamnya. Bagaimanapun, penyunting adalah "pembaca pertama". Dengan demikian, penyunting harus mampu memposisikan diri sebagai penulis (untuk mencoba memahami gagasan keseluruhannya) dan memposisikan diri sebagai pembaca (yang ingin "dimanja" dengan keterbacaan yang enak dan alur yang mudah dipahami). 

Dalam beberapa bagian, saya bahkan bisa mengungkapkan keberatan terhadap gagasan-gagasan di dalamnya, sehingga kami kemudian berdiskusi untuk mencari jalan keluar. Dalam hal ini, saya berusaha untuk berpendapat tidak atas dasar ideologi pribadi, tetapi kemungkinan persepsi teks ini di mata pembaca kelak. Hal-hal yang bertentangan dengan ideologi pribadi saya coba kemukakan tetapi tidak perlu sampai "dipaksakan" untuk dituruti. Kadang saya mengedit sambil dongkol karena hal-hal tertentu dalam teks yang cukup bertentangan dengan prinsip saya. Namun tidak apa-apa, sekalian belajar menerima perbedaan. Tidak semua hal mesti sejalan dengan apa yang saya pikirkan. 

Bapak mengatakan, menulis bukanlah mengedit. Menulis adalah tentang menuangkan gagasan lewat tulisan, tetapi bukan artinya harus sempurna sampai ke urusan titik koma. Dalam konteks tertentu, ada tugas editor yang merapikan semuanya hingga gagasan via teks tersebut bisa layak untuk sampai ke tangan pembaca. Tentu saja bukan artinya semua yang memiliki gagasan bisa menjadi penulis, tetapi sekurang-kurangnya, seseorang sudah bisa disebut penulis jika mampu menuliskan gagasannya dengan pesan yang clear dan alur yang jelas, tanpa mesti memikirkan kaidah penulisan secara ketat seperti EYD, PUEBI, atau kata-katanya ada di KBBI atau tidak. Penulis yang bisa memerhatikan hal-hal itu semua tentu baik, tetapi sekali lagi, tidak wajib seratus persen. 

Pendapat bapak ada benarnya, tetapi agak sulit dalam konteks misalnya penulisan ilmiah yang memposisikan penulis seolah-olah sebagai sentral dalam kekaryaan. Karya tulis ilmiah adalah produk si penulis/ si peneliti seorang diri (terkadang bersama penulis-penulis lain yang diposisikan "setara") dan tidak boleh terlihat sebagai kerja kolektif (informan tidak dihitung). Padahal, masih ide bapak, karya tulis ilmiah juga bisa melibatkan kerja kolektif: ada editor, penata letak, penyusun daftar isi, pembuat sistem mendeley, dan sebagainya. Semuanya itu, meski pada kenyataannya bisa jadi dibayar profesional, tetapi setidaknya diaku sebagai bagian dari proses pengerjaan naskah. Iya, nama-nama mereka dituliskan, seperti kredit dalam film. 

Gagasan ini boleh dicoba, karena selama ini penulis karya ilmiah seringkali diposisikan sebagai "manusia super" yang seolah mengerjakan segala. Padahal bisa jadi mereka hanya punya kemampuan analisis yang tajam, sementara kemampuan menulisnya amatlah payah. Alhasil, urusan pengerjaan karya tulis ilmiah seringkali disibukkan oleh urusan teknis. Pembimbing capek melihat EYD yang berantakan, hubungan antar kalimat yang tidak nyambung, atau deduksi - induksi yang tidak jelas. Disinilah editor mestinya bertugas, supaya penulis karya ilmiah cukup fokus pada hasil penelitian yang bagus dan berdampak. Editor di sini bukan sekadar editor bayaran yang dipekerjakan seolah-olah "di luar" sistem, tetapi masuk ke dalam sistem, diakui sebagai penyunting karya ilmiah. 

Jika penyunting semacam ini diterima sebagai bagian dari kerja-kerja penulisan karya ilmiah, mungkin peneliti kita tidak usah lagi bekerja keras menjadi penulis yang baik. Atau sebaliknya, mereka hanya tinggal mengakui bahwa mereka memang penulis yang buruk. Eh.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me